Kita sudah terbiasa mendengarkan istilah baru yang muncul di masa karantina pandemi Covid-19 ini. The old normal, the new normal, the next normal, dan yang paling seram, herd imunity. The next normal alias keterbiasaan kita yang baru, diartikan sebagai suatu tahapan yang terjadi, dimana vaksin untuk virus Covid-19 sudah tersedia luas, diperjualbelikan secara bebas, dan Covid-19 sudah dianggap biasa, seperti halnya flu biasa. Jadi biasa, karena sudah ada obatnya.
Bagaimana dengan the new normal? Buat saya pribadi, the new normal adalah yang kita lihat sekarang ini. Dimana-mana kita lihat orang keluar rumah sudah jarang yang tidak menggunakan masker wajah. Para penjual, terutama penjual makanan kini tidak hanya menggunakan sarung tangan dan masker wajah saja, tapi sudah menggunakan face shield. Kita dulu sudah terbiasa saat melihat shop attendant sebuah bakery shop menggunakan mouth cover, yang salah satunya menjaga agar jika ada cipratan ludah tidak menyembur dan mengenai makanan-minuman yang dijual, dengan tidak disengaja tentunya. Kini, kita terbiasa melihat para shop attendant menggunakan working attire lengkap, sebagai bagian dari SOP perusahaannya, demi keselamatan bersama. Mengindahkan nilai higienitas.
Kita sudah mulai terbiasa dengan para petugas keamanan yang demikian ekstra hati-hati dengan para pengunjung, mengukur suhu tubuh tiap pengunjung, dan mengharuskan mereka menuangkan hand sanitizer di tangan sebelum beranjak masuk. Di tiap gedung perkantoran pun sama, karena saat tulisan ini dibuat, mall dan pusat perbelanjaan belum buka secara normal, masih dalam masa PSBB (pembatasan sosial berskala besar), semua yang datang, termasuk karyawan wajib dicek suhu tubuhnya.
Kita pun sudah mulai terbiasa dengan melakukan segala aktivitas dari rumah, termasuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan dari rumah, meeting dan semua aktivitas produktif pun dilakukan dari rumah. Working attire kita pun mengalami perubahan. Tampil rapi dengan kemeja atau apapun yang pantas dan nyaman di badan kita, dan celana pendek casual. Siap dengan panggilan conference call dari bos yang bisa datang kapan saja. Via aplikasi Zoom, Microsoft Team, Google Meet, Google Hangout, dan lain-lainnya. Atau bahkan hanya dengan conference video call via WhatsApp.

Kita pun mulai terbiasa dengan cara belanja online. Tinggal ketak ketik di smartphone, pilih barang, bayar, dan barang yang kita inginkan langsung datang di depan rumah kita. Tidak perlu menunggu lama sampai berhari-hari, dalam satu hingga dua jam pun, barang yang baru saja kita lihat iklannya bersliweran di timeline Instagram kita, sudah ada di depan mata kita.

Dan keterbiasaan ini pun termasuk makanan, atau minuman yang kita pesan untuk menemani aktivitas work from home kita. Karena faktor tekanan PSBB, atau entah karena kesadaran kita sendiri, kita sangat mengurangi kegiatan di luar rumah. Mulai enggan keluar rumah, hanya untuk sekedar ke minimarket di depan komplek perumahan hanya untuk membeli snack dan minuman dingin, alih-alih kita pesan via online di marketplace atau layanan e-hailing (ojek online).

Kita sudah mulai terbiasa. Meskipun pemerintah saat ini terkesan kikuk, bingung, serba salah dalam membuat kebijakan hingga menggalakkan peraturan (yang ternyata ‘nggak galak dan gak tegas-tegas amat’), kita pun sudah terbiasa. At least, saya lah yang harus membiasakan diri. Karena bagaimanapun juga, pemerintah dan kondisi di luar sana adalah faktor eksternal. Hal yang terpenting adalah menjaga keselamatan kita sendiri, lalu bergerak keluar ke lingkaran sosial kita yang paling dekat, keluarga kecil kita. Kita pasti tidak mau ada anggota keluarga kita, terlebih kita sendiri, terkena virus Covid-19 ini, yang saat ini benar-benar menjadi momok manusia penghuni planet Bumi.

Hand sanitizer, sabun cair, masker wajah, face shield, dan sarung tangan kini sudah menjadi perlengkapan sehari-hari. Kita usahakan selalu ada di tas kita, di bawah jok sepeda motor, di mobil kita. Kebersihan tangan menjadi hal yang sangat penting, kita jadi ‘parno’ sendiri saat kita habis menyentuh sesuatu, ingin buru-buru mengoleskan hand sanitizer berulang kali ke tangan kita. Atau kita jadi suka cuci tangan dengan sabun hingga lama, menggosokkan tangan yang sudah diolesi sabun, hingga yakin semua bagian tangan hingga pergelangan tangan tercuci sempurna.
Kita membiasakan diri, karena ingin tetap bertahan hidup. Kita ingin tetap bisa melanjutkan hidup, tetap punya motivasi dalam bekerja, dimana salah satunya pasti menjaga eksistensi kita di perusahaan tempat kita bekerja, dan melanjutan hidup kita, diantaranya melanjutkan membayar cicilan-cicilan yang menjadi tanggungan kita hingga lunas; rumah, mobil, apartemen, hingga hal remeh-temeh seperti handphone dan aneka gadget untuk aktualisasi diri.
Merek pun demikian. Sama saja.
Saya yakin tidak ada pengelola merek yang ingin menyerah terhadap keadaan, membiarkan merek dan perusahaan yang sudah bertahan sedemikian lama, harus tutup karena virus Covid-19 ini. Yang ternyata, dampak dari pandemi ini sangat luas. Masyarakat mengurangi aktivitas belanjanya di luar rumah, membuat toko-toko yang menjual produk dari merek tersebut jadi sepi pengunjung, akibatnya produk yang sudah ada di toko-toko tidak mengalir keluar, alias ‘ngendon’ saja di rak-rak display. Salesman tidak bisa refill/restock, karena stok masih teramat banyak, sementara produksi harus jalan terus, mengejar target produksi dan target penjualan yang sudah ditetapkan menjelang akhir tahun sebelumnya. Mungkin, insting pertama yang muncul adalah flush out program. Membuat program turun harga selama satu periode tertentu sedemikian rupa, membuat konsumen yang tidak butuh, terprovokasi untuk membeli, menyimpan stok di rumahnya. Membuat stok produk yang melimpah di toko mengalir keluar, sehingga ruang kembali tercipta untuk stok baru dari gudang dikirim ke toko.

Solusi jangka pendek yang instant. Namun tidak menjawab masalah besar. Apakah pengelola merek mau terus-terusan membuat program turun harga? Sampai kapan mereka mau profit tergerus karena flush out promotion ini? Tentunya tidak mau terus menerus. Insting kedua adalah mengurangi biaya tetap, salah satunya biaya karyawan. Karena produksi tidak lagi banyak, maka jumlah karyawan yang terlibat produksi akan dikurangi sedikit demi sedikit. Dari 5 shift menjadi 4 shift, lalu turun menjadi 3 shift saja. 2 shift hilang, bisa berarti ratusan bahkan ribuan pekerja, dan puluhan ribu lainnya akan merasakan dampaknya, yaitu keluarga dari si karyawan. Mungkin bukan saja terjadi pada team produksi, namun juga terjadi ke team penjualan, dan team lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan penjualan dan pemasaran, human resource dan general affair contohnya.
Sehingga tidak jarang, kini work load dua orang di-handle satu orang saja. Langkah-langkah penghematan untuk tetap bertahan harus diambil. Demikian seterusnya hingga mungkin sang pengelola merek sudah kehabisan akal untuk mempertahankan eksistensi merek dan perusahaannya. Yang saya sebutkan mungkin adalah langkah-langkah bertahan, yang diambil perusahaan dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Ini mungkin sudut pandang yang sangat sederhana, dimana saya yakin kenyataan di luar sana sangatlah kompleks.
Namun, tidak adakah langkah buat perusahaan untuk tetap bisa bangkit keluar dan menyerang? Tidak hanya bertahan saja di bunker-bunker pertahanan? Menunggu musuh datang, dan adu tembak satu per satu, hingga akhirnya nanti kehabisa peluru dan tenaga, lalu mengibarkan bendera putih.

Tentunya ada. Offense is the best defense. Menyerang adalah pertahanan yang terbaik.
Terima kasih sudah membaca tulisan pembuka ini. Tulisan berikutnya akan mengupas sedikit lebih dalam tentang the new normal, keadaan yang sangat berubah sejak adanya masa karantina untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 ini, dan tulisan ketiga tentang contoh praktek ‘offense is the best defense’ yang dilakukan oleh pengelola sebuah merek.
3 Comments Add yours