Weiji. Istilah dalam bahasa Cina, diambil dari kata wei dan ji, diterjemahkan menjadi bahaya dan peluang. Atau bisa diartikan, selalu ada peluang untuk berkembang dan bertumbuh, meskipun kita sedang dalam krisis/bahaya.
Setiap bidang usaha pasti punya keunikan tersendiri. Jangankan di consumer goods, arena bermain saya sehari-hari, di industri frozen foods-pun, sangat beragam. Dikerucutkan lagi, di industri es krim sendiri juga cukup beragam. Setiap merek es krim punya keunikan tersendiri untuk dijual. Untuk merek-merek es krim lama, yang paling tidak sudah beredar di Indonesia lebih dari sepuluh tahun, untuk pengembangan channel penjualan cenderung lebih mudah, salah satunya karena mereknya yang sudah dikenal baik.
Misalnya, saat Campina, perusahaan es krim yang sudah hadir sejak tahun 1972 ini hendak membuka layanan pesan antar es krim, dahulu di tahun 2006, tentunya entry barrier-nya cenderung kecil. Tahap pertama sudah bisa dilalui dengan baik, mereknya sudah dikenal oleh lintas generasi. Mungkin yang jadi pekerjaan besar dan terus-menerus adalah bagaimana membuat merek es krim yang tahun 2020 genap berusia 48 tahun ini tetap dikenal dan relevan dengan anak-anak muda, dengan generasi Z terutama, generasi yang sejak kecil sudah terbiasa dengan dunia yang saling terkoneksi dengan internet.
Dan bagaimana dengan salah satu merek es krim baru dari Jepang, dan beberapa es krim baru lainnya dari China yang sudah ada, dan beberapa lagi yang konon kabarnya akan segera masuk ke pasar Indonesia? Menurut saya, tentu perlu waktu, dan keunikan produk yang luar biasa, yang membuat konsumen, para penggemar es krim mau secara kontinyu pesan produk es krim dari merek yang baru, untuk dikirimkan ke rumah mereka lewat layanan pesan antar.
Namun, bukan berarti kalau merek-merek es krim baru terjun di dunia layanan pesan antar, mendekatkan diri mereka ke para penggemar es krim, sebagaimana dilakukan oleh Campina dan pemain es krim yang lain, akan mengalami kegagalan, atau bahkan waktu yang teramat panjang untuk menemukan keberhasilan. Seperti saya bilang tadi diatas, semua merek es krim punya keunikan tersendiri.
Campina, adalah salah satu produsen es krim asli Indonesia yang cukup tangguh. Ditengah gempuran merek-merek lokal dan regional-internasional, merek ini masih sanggup bertahan, hingga saat ini. Dan tentunya tidak mudah mengelola ekspektasi dari stakeholder, dimana pelanggan tetap perusahaan ini termasuk di dalamnya. Di industri consumer goods, pelanggan biasa diartikan sebagai perantara penjualan, toko, atau peritel-modern, tradisional, dan channel penjualan lainnya. Sedangkan consumer/konsumen adalah pengguna akhir, mereka yang mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Singkatnya demikian. Jadi kalau saya menyebut pelanggan dan konsumen di paragraf-paragraf selanjutnya, itu punya arti yang berbeda.

Itu tadi sedikit tentang bagaimana consumer goods, frozen food beroperasi di old normal. Bagaimana di dunia new normal? Di bulan Maret, di awal-awal pemerintah menganggap Covid-19 sebagai sesuatu yang sangat serius, penurunan penjualan di industri ritel mulai terasa. Salah satunya karena kita mulai mengurangi secara drastis frekuensi keluar rumah untuk hal-hal yang non-essentials, hanya keluar rumah kalau tergolong urgent saja. Anak-anak mulai banyak beraktivitas di rumah, school from home dalam jangka panjang menjadi opsi yang sangat masuk akal, demikian juga work from home. Kita terpaksa dan dipaksa untuk mengalami sesuatu yang tidak pernah kita alami sebelumnya. Menghabiskan waktu kita di rumah.

Karena lebih banyak di rumah, kita jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga. Kita kembali menonton TV, baik yang berbayar maupun yang free air time. Waktu yang lebih banyak membuat kita ingin memasak untuk dimakan sendiri, setelah menyadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pesan makanan via layanan ojol, GRAB FOOD maupun GO-FOOD, dan layanan pesan antar restoran ternyata lumayan tinggi. Memasak sendiri konon lebih bersih dan higienis, dan lebih hemat tentunya. Namun efek lain dari stay at home ini adalah tagihan listrik yang meningkat, karena waktu pemakaian barang-barang elektronik yang lebih panjang, terutama AC dan TV untuk hiburan kita. Dengan kata lain, kita ingin tetap dan bahkan lebih nyaman dari sebelumnya saat menjalankan semua aktivitas kita dari rumah.
Stay at home economy. An anti-thesis for leisure economy.
Sebelum masa pandemi Covid-19, pertumbuhan perekonomian kita salah satunya didorong oleh konsumsi gaya hidup. Travelling ke destinasi wisata eksotis, staycation di hotel berbintang, menonton konser musisi lokal maupun mancanegara, baik di Indonesia, bahkan rela terbang ke luar negeri hanya untuk menonton musisi yang diidolakan. Semuanya untuk keperluan konten media sosial. It’s likely a social media driven economy. Di masa pandemi Covid-19, semuanya berbalik 1800. Semuanya tiba-tiba berpusat di rumah masing-masing. Kita cenderung takut keluar rumah, kita takut bersentuhan dengan orang lain, kemudian kita rajin menjaga jarak dengan orang lain, dan semakin sering mengenakan hand sanitizer dan tak pernah lepas dari masker, bahkan face shield dan sarung tangan saat keluar rumah. Semua kebutuhannya dipenuhi dari rumah, dan akibatnya kebutuhan akan layanan pesan antar ke rumah-direct to consumer-yang mengindahkan nilai higienitas meningkat drastis, hingga saat ini.
Transformasi secara masif pun dilakukan oleh hampir semua pengelola merek.
Meskipun sempat gagap di awal, pengelola merek consumer goods mulai menghadirkan layanan pesan antar untuk produk-produknya. Baik lewat owned channel, membuka jalur pemesanan sendiri produk via online, atau membuka official account di e-commerce terkemuka. Demikian juga dengan retailer, karena jumlah pengunjung yang datang ke gerai mereka turun drastis, maka mau tidak mau retailer pun harus bertransformasi. Retailer membuka layanan pesan antar, online grocery, yang somehow bisa dimanfaatkan oleh pengelola merek yang memasok produk ke gerai-gerai mereka, lewat strategi delivery hub channel, atau dimana gerai retailer dimaksimalkan perannya sebagai delivery point. Buat pengelola merek consumer goods yang cenderung berhatri-hati dalam pengembangan bisnis online-nya, atau dengan kata lain hanya punya budget cekak, bisa mencoba untuk berkolaborasi.
Ide dasarnya adalah pengembangan strategi direct to consumer (DTC). Konsumen pesan produk lewat ‘pintu masuk’ yang disediakan oleh si pengelola merek, via offline (telepon) ataupun online (Whatsapp, website e-commerce, dan pesan langsung via media sosial). Untuk strategi direct to consumer channel ini saya fokuskan bahasannya untuk pemesanan di hari yang sama, 1-2 jam sampai, atau hingga menjaga ekspektasi pengiriman es krim sampai dibawah 60 menit. Untuk saat ini, komunikasi via chat WhatsApp menjadi hal yang sangat umum, dan bahkan hampir semua merek kini menyediakan layanan pelanggan via WhatsApp. Kenapa? Balik ke habit konsumen dan target user/market/audience-nya dalam berkomunikasi, platform apa yang paling banyak dipakai.
Misalnya, ada pesanan masuk via layanan WhatsApp yang diterima oleh call center agent. Pesanan es krim untuk dikirimkan hari ini (karena konsumen memilih opsi instant delivery, 1-2 jam sampai), ke sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Parakan-Temanggung, yang letaknya 46 km dari Kota Ambarawa. Letak titik pengiriman 76 km dari Kota Yogyakarta, letak pick up point terdekat, yaitu kantor perwakilan Campina. Tidak mungkin kalau pengiriman instant delivery dilakukan dari Yogyakarta, karena jarak yang terlalu jauh, waktu tempuh yang sangat lama, dan tentunya biaya yang terlalu mahal. Lalu, solusinya apa? Bagaimana masyarakat yang tinggal di third tier cities, seperti di Parakan-Temanggung, bisa merasakan kemewahan yang kita rasakan, kita yang tinggal di kota-kota besar di Pulau Jawa?
Kolaborasi adalah kunci.
Asalkan di kota/kabupaten, kecamatan, kelurahan tersebut ada gerai Alfamart dan Indomaret, ada layanan GO-JEK (ditandai dengan banyak driver GO-JEK stand by dan berlalu-lalang), layanan pesan antar es krim sampai ke kota-kota kecil pun possible untuk dilakukan. Demikian gambaran besarnya, demikian saya selalu mulai suatu langkah atau ide. Begin with the end mind. Dari sekian banyak layanan GO-JEK, kita bisa maksimalkan layanan GO-MART untuk memudahkan pengiriman tersebut sampai ke tangan pelanggan. GO-MART, yang secara sistem mirroring dengan Alfacart ini tentunya jadi salah satu solusi yang cukup jitu. Pengelola merek yang sudah bekerjasama dengan Alfamart, ditandai dengan tersedianya produknya di rak-rak atau freezer-nya terpasang di gerai, secara otomatis akan mendapatkan SKU (stock keeping unit) produk-produk yang dipasok ke gerai Alfamart, akan otomatis aktif di Alfacart. Artinya, selain datang langsung ke toko, konsumen bisa membeli produk Campina secara online lewat aplikasi atau web Alfacart, untuk dihantarkan ke rumah oleh crew toko, dari gerai Alfamart terdekat dalam radius 3-5 km. Konsep channel/logistic development ini disebut delivery hub channel.
Bagaimana dengan GO-MART? Sama saja dengan pola belanja di Alfacart, hanya beda interface saja. Bedanya lagi, pengiriman barang belanja dilakukan oleh driver GO-JEK, yang ditugaskan oleh sistem GO-MART. Driver GO-JEK membayar dahulu produk pesanan konsumen di gerai Alfamart terdekat, setelah crew toko mengambilkan semua produk yang dipesan dalam daftar belanja. Driver GO-JEK yang menerima pesanan GO-MART akan diarahkan ke gerai Alfamart yang ditunjuk, dimana produk dan stok produk yang dipesan konsumen tersedia. Ini sangat praktis dan membantu dari sisi pengelola merek, dan juga good experience dari sisi konsumen tentunya. Dibawah satu jam, atau bahkan dalam hitungan menit, pesanan konsumen sudah sampai di tangan, dihantarkan baik oleh driver GO-JEK atau crew Alfamart.

Lalu, bagaimana dengan peranan Indomaret? Saya bilang peranannya dalam pengembangan direct to consumer channel dan delivery hub channel ini sama besarnya. Indomaret punya KLIK Indomaret, portal belanja online yang menyediakan berbagai barang kebutuhan pokok, baik yang tersedia di gerai-gerai Indomaret ataupun yang tidak tersedia. Ketidaktersediaan ini dikarenakan banyak hal, salah satunya adalah keterbatasan display di gerai. Tentunya tidak bisa semua SKU yang dimiliki oleh sebuah merek bisa tampil semuanya, meskipun merek punya budget lebih untuk space rental di rak display untuk visibility dan availability (2 crucial points from Trade Marketing as we all know), rasanya hanya buang-buang peluru saja. Yang terbaik tentunya fokus pada produk-produk yang fast moving saja, dengan demikian, biaya yang dikeluarkan lebih efisien.

Campina, dan pemasok es krim lainnya, tentunya hanya punya ruang di dalam freezer untuk dimaksimalkan (belum lagi ruang simpan yang harus dibagi dengan pemasok es krim lain). Karena tidak semua produk bisa dipajang, maka berlaku ukuran sales per day/SPD (rata-rata kemampuan sebuah produk terjual dalam satu hari) untuk mengetahui produk mana yang fast moving dan tidak. Jika SPD rendah, retailer pun bisa menyarakan produk untuk dihapus, digantikan dengan produk yang baru. Dengan demikian, pemasok frozen food pun harus pintar-pintar menentukan produk apa yang dijual, agar product turn over tinggi, proses stock replenishment bisa sering terjadi, sehingga konsumen akan selalu mendapatkan produk yang fresh.
Nah, kembali ke contoh pesanan pelanggan di Parakan-Temanggung tadi.
Petugas call center yang menerima pesanan via Whatsapp tentunya akan memilah-milah dahulu, apakah produk yang dipesan konsumen tersebut tersedia di gerai-gerai Alfamart maupun Indomaret. Perlu diingat, hanya produk in home/impulse (stick-cup-cone) dan mini pack (350ml) yang disediakan. Sedangkan untuk produk take home (700ml hingga 8 Liter) dan Es Krim Potong, tentunya tidak tersedia di freezer karena keterbatasan space. Jika tidak tersedia di freezer, maka si petugas akan menyarankan pengiriman dilakukan di keesokan harinya, mengingat jarak antara kantor pengiriman terdekat ke alamat pengiriman cukup jauh. Namun, jika produk tersedia di freezer, maka petugas call center bisa memastikan pemesanan hingga pengiriman bisa dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam, tergantung jarak gerai Alfamart/Indomaret terdekat dengan titik pengiriman. Nominal pembelian seharusnya dibatasi (Rp50.000,- misalnya) dan dilakukan non-tunai (transfer antar bank, OVO, GO-PAY, credit card, dan layanan e-wallet lainnya), selain agar lebih higienis juga meminimalisir potensi pesanan palsu. Demikian juga dengan radius pengiriman, dibatasi di 3-5 km saja, untuk menjaga kesegaran produk es krim yang dipesan. Lalu. bagaimana cara pembayaran non-tunai jika pemesanan berlangsung di chat Whatsapp? Apakah tidak merepotkan kalau konsumen berpindah layar? Lagi-lagi, solusi muncul dari kolaborasi. Perusahaan payment gateway Midtrans (anak perusahaan GO-JEK), menawarkan fitur payment link. Dengan payment link ini, petugas call center tinggal copy-paste tautan ke chat Whatsapp, dan konsumen pun bebas untuk memilih cara pembayaran yang diinginkan. Praktis!
Jika diurutkan, paparan diatas menjelaskan secara singkat bagaimana pemenuhan pesanan dari sebuah kota kecil dapat dipenuhi oleh pengelola merek, tanpa banyak mengeluarkan biaya, lewat kolaborasi dan pengembangan strategi channel direct to consumer dan delivery hub channel. Namun bukan berarti implementasi direct to consumer dan delivery hub channel ini tidak ada kendala. Masih ada beberapa kendala yang harus ditemukan solusinya. Salah satunya adalah larangan penggunaan kantong plastik dari pemerintah daerah. Nah, lalu driver GO-JEK, crew Alfamart, dan Indomaret menghantarkan pesanan es krim dengan wadah apa?
Simak paparan solusinya di tulisan keempat. Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ketiga yang lebih panjang dibanding dua tulisan sebelumya, di serial post ini.
4 Comments Add yours