Yogya Trip Di Tengah Covid (bagian 2)

Tetap, Semarang lebih menarik buat saya dibanding Yogyakarta. Namun, mari kita nikmati dulu keberadaan kami di kota ini. Siapa tahu, saya bisa berubah pikiran. Ah, tapi agak susah sih. Salah satunya, karena variasi makanannya yang kurang ‘berwarna’ dibandingkan Semarang. Sekarang, momen untuk Yogyakarta dan segala pesonanya.

Enjoy Yogyakarta!

Minggu pagi di Titik Nol Malioboro

Kami masih punya waktu dua hari di kota cantik ini. So, let’s make it count. Hari Minggu praktis jadi hari untuk istirahat, disamping kami yang masih punya beberapa rencana jalan-jalan. Pantai bukan pilihan kami untuk #JogjaTrip kali ini, karena mungkin masih banyak yang tutup, perjalanan dari pusat kota ke arah pantai, baik di Kulonprogo maupun di Gunung Kidul cukup jauh. Jadinya ya, kota-kota saja deh.

Diawali dengan jelajah Malioboro. Padahal pagi harinya sudah, dan mampir lagi beli nasi Gudeg Mbak Lindu di tempat yang sama, searah kembali ke hotel. Saya masuk ke toko Hamzah Batik, dan berakhir menghabiskan siang hingga sore ngadem di Ambarukmo Plaza. Ampun deh, jauh-jauh ke Yogyakarta kok ujungnya malah ke mall ya? 🙂

Pilihan makanan yang ‘kurang berwarna’ di mall membuat kami mencari tempat makan enak, di luar mall tentunya. Pilihan makan sore jatuh pada Rumah Makan 88 Cabang Bhayangkara. Istri saya mencari dengan kata kunci spesifik, mengantarkan kami ke rumah makan yang menyediakan kuliner non-halal. Lokasinya tepat di seberang Cordella Kartika Dewi Hotel, lokasi kami menginap. Kalau pesan masing-masing, pasti kebanyakan. Jadilah kami pesan 2 menu saja, Nasi Campur Jumbo (cukup buat 2 orang nasi dan lauknya) dan Bakut Sawi Asin.

Tampilan Nasi Campur 88-nya sungguh menggoda. Ditata rapi sedemikian rupa. Jadi sayang saat mau menikmatinya, karena pasti harus dibongkar-bongkar untuk dibagi dua di piring yang berbeda. Isiannya cukup komplit; babi asap (bacon), babi panggang, babi kecap, cah sawi asin, dan telor masak kecap setengah, plus irisan mentimun. Porsi Bakut Sawi Asinnya juga banyak, hanya saja dagingnya masih agak alot. Karena memang tidak suka membuang-buang makanan, kami habiskan makan sore ini hingga licin tandas! Kenyang.

Sego Cumi Asin Prasodjo dan Kopi Filosofi

Malam menjelang, dan rasanya sayang kalau melewatkan malam terakhir sebelum kami beranjak pulang ke Bekasi keesokan hari, kalau tidak dinikmati dengan ngopi dan mencoba kuliner lokal Yogyakarta. Pilihan sih sudah ada. Untuk makan malam, saya mengincar Nasi Cumi Hitam a la Warung Sego Cumi Asin Prasodjo, yanag lokasinya tepat di depan supermarket Superindo Seturan. Saya tahu dari rekomendasi seorang warga Yogyakarta di twitter, plus lagi lagi rekomendasi youtuber asal Yogyakarta; @dyodoran. Matur nuwun mas, buat rekomendasinya!

Sego Cumi Prasodjo

Saya penggemar berat cumi-cumi, dari kecil, yang spesifik dimasak hitam bersama dengan tintanya. Warung kaki lima ini pasti harga makanannya murah dan meriah, saat masuk (dan harus antre tempat duduk ternyata) terlihat pengunjung yang tengah makan dari kalangan mahasiswa. Dan memang murah meriah (mohon maaf saya lupa mencatat harga tiap makanan yang saya dan istri nikmati), untuk seporsi Nasi Cumi Hitam Pedas, plus sambal tomat-lalapan-orek tempe-tahu dan tempe tidak sampai Rp20.000,- seingat saya. Kami hanya pesan 1 porsi untuk dinikmati berdua. Karena jujur saja, jejak Nasi Campur Jumbo dan Bakut Sawi Asin masih kuat membekas di perut. Alias perut kami masih kenyang 🙂

Sego Cumi Prasodjo

Cumi hitam memang tidak pernah salah. Ciamik!

“Ke Filosofi Kopi, yuk?”, ajak istri saya selepas menikmati Nasi Cumi Hitam. “Lah, hayuk!”, balas saya. Doyan ngopi, kok ditantang ngopi. Kami ambil arah Monumen Jogja Kembali (Monjali) dari arah Seturan, lalu belok kanan lurus terus. Kira-kira 15 menit kemudian, kami pun sampai di Filosofi Kopi Yogyakarta. Warung kopi yang menyajikan suasana akrab dan dekat, dengan sisi estetika menyatu dengan alam ini menyajikan kopi (dan makanan ringan) tanpa wi-fi.

Sehingga tamu yang datang bisa lebih fokus ke kopi yang dipesannya, dan obrolan dengan teman-temannya. Good coffee, great ambiance, perfect companion. What can you ask for more? Dan nampaknya, ini spot terakhir untuk #cobakopiJogja sebelum kami pulang dengan perasaan bahagia.

Hutan Pinus Mangunan Dlingo dan Ayam Goreng Mbah Cemplung

Harin Senin pagi buta, pukul 05.15 WIB kami sudah beranjak keluar hotel, ke arah Hutan Pinus Mangunan Dlingo. Ekspektasi kami, sampai di lokasi sebelum pukul 06.00 WIB, dan masih kebagian matahari terbit. Oh iya, siang ini juga kami harus beranjak pulang, kembali lagi ke Bekasi. So, clock is ticking, and many bucket list must be ticked! FYI, seluruh lokasi wisata di Mangunan Dlingo ini masih ditutup untuk umum saat kami berkunjung.

Watu Mabur Mangunan
Watu Mabur Mangunan
Watu Mabur Mangunan
Watu Mabur Mangunan

Lokasi pertama yang secara acak kami pilih adalah Watu Mabur Mangunan. Tebing dengan deretan batu-batu alam disulap oleh pengelola jadi spot foto yang luar biasa cantik saat pagi hari. Salah satunya adalah rumah pohon yang dibuat dari batu-batu yang ditata sedemikian rupa, dengan sulur-sulur, membuat cantik spot foto di lokasi ini.

Watu Mabur Mangunan

Lokasi kedua yang kami pilih, yang sempat kami lewati saat menuju ke Watu Mabur Mangunan adalah Jurang Tembel Kanigoro. Karena sebenarnya masih tutup, kami coba-coba minta ijin ke bapak-bapak yang kami temui (beliau pengelola warung makan di lokasi), yang dengan baik hati mempersilahkan kami masuk. “Sebenarnya masih tutup, mas. Tapi kalau mau masuk sebentar buat lihat-lihat ya monggo”, ujarnya ramah. Jadilah kami masuk, dan diarahkan untuk melalui semacam teras dengan warung makan-minum di kanan kiri sebelum masuk ke area tebing yang sudah dibangun beberapa instalasi, dengan spot utama instalasi perahu yang dibuat menjorok ke arah tebing jurang. Sebenarnya ada retribusi Rp2.500,- per orang pengunjung, yang dibayarkan saat masuk ke teras makan-minum, namun karena masih tutup, kami bisa melenggang masuk.

Rejeki, hujan gerimis, dan pelangi!

Baru saja kami masuk ke instalasi untuk foto, mendadak kami dengar ada kehebohan. “Woy, ada pelangi, ada pelangi!”, teriak bapak-bapak yang tadi mempersilahkan kami untuk masuk. Dan benar saja, ada pelangi di dasar jurang. Memang, beberapa saat sebelumnya sempat hujan gerimis tipis. Kami pun ikutan heboh mengabadikan momen adanya pelangi tersebut.

Jurang Tembel Kanigoro
Jurang Tembel Kanigoro
Jurang Tembel Kanigoro

Bapak-bapak penjaga tadi baik banget, saat kami hendak pamitan dan ingin memberikan sedikit uang tanda terima kasih sudah diperbolehkan masuk (dan memang seharusnya berbayar), beliau menolak halus. “Saya tidak bisa terima, mas. Nggak ada gitu-gitu disini. Kalau tadi njenengan lihat pelangi, ya itu rekeni njenengan”, ujarnya. Demikian juga dengan ibu-ibu yang menjaga salah satu warung makan, “Mboten, mas. Njenengan beto kemawon (Tidak perlu mas, mas bawa saja)”, ujar beliau juga menolak halus saat kami mendak menitipkan uang tersebut, setidaknya sebagai tanda terima kasih.

Kuliner Ayam Goreng Jawa Mbah Cemplung, XXL sized fried chicken!

Lagi-lagi, atas rekomendasi seorang teman, kami menuju warung makan yang menyediakan ayam goreng berukuran super besar. Ayam Goreng Jawa Mbah Cemplung. Istri saya pun, saya cari informasi dan menemukan kalau harga per potongnya Rp38.000,- mendadak enggan mampir. “Mahal, ah. Masa sepotong tiga delapan ribu?”, tanyanya. “Coba aja dulu, pasti ada alasan kenapa sepotong ayam di warung pelosok dibanderol harga segitu”, balas saya. Saya pernah dengar kalau saat high season, warung makan ini penuh dengan pengunjung. Hmm.. I’m getting more curious!

Ayam Goreng Jawa Mbah Cemplung
Ayam Goreng Jawa Mbah Cemplung

Lihat kedua ukuran ayam goreng yang disajikan, kami agak kaget. “Edan, gede banget!”, kata istri saya. Dan sepotong ayam goreng bagian paha pun kami makan berdua, sepotong ayam goreng bagian dada (dan nasi putih yang tidak habis dimakan) pun kami simpan untuk makan malam perjalanan pulang ke Bekasi nanti. Hehe.. Ngirit ya? Biarin! Ayam Goreng Mbah Cemplung disajikan dengan nasi satu bakul (kami pesan untuk 2 orang), lalapan segar, dan 2 jenis sambal-sambal merah (sambal tomat sepertinya) dan sambal bawang (sambal yang biasa kita dapatkan saat makan di Bebek Goreng Pak Slamet). Puas banget!

Oh iya, sebelum sarapan di Mbah Cemplung, saya sempatkan mampir ke rumah sepupu, yang kebetulan tinggal tidak jauh dari situ. Terima kasih, Dasa, Niel, dan Marsha buat teh manis dan jajanannya. Kalau Marsha tidak datang tiba-tiba, memberitahukan kalau ban kanan mobil saya kempes (kena paku ternyata), kita bisa ngobrol lebih lama 🙂

Pulang, mampir belok ke Klaten. Makan sate kambing.

Siang itu juga, kami bertolak kembali ke Bekasi, dengan satu misi lagi yang harus diselesaikan. Kami harus coba kuliner Sate Kambing Tali Roso Pak Tri, di daerah Wedi-Klaten, yang lagi-lagi kami tahu dari rekomendasi food vlogger Dyodoran. Matur nuwun lagi-lagi atas rekomendasinya, mas. Buat visualisasi awal, boleh nonton Youtube video beliau berikut:

Warung sate kambing ini praktis hanya menyediakan sate, gule, dan tengkleng (seperti halnya dengan gule, hanya saja diambilkan bagian tulang-tulangnya saja). Tidak seperti sate klathak Sor Talok di tulisan bagian 1, potongan-potongan besar daging yang sudah ditusuk di jeruji sepeda, dimarinasi sejenak dalam bumbu, sebelum dibakar diatas bara arang. Bara api yang tertiup blower terbang kemana-mana, sampai-sampai kaos seragam warna merah mas-mas asisten Pak Tri pun ‘bolong-bolong’ terkena bara.

Sate Kambing Tali Roso Pak Tri-Klaten
Sate Kambing Tali Roso Pak Tri-Klaten
Sate Kambing Tali Roso Pak Tri-Klaten

Saya tahu, hidangan yang sudah tersaji di dua piring diatas terlihat sangat seksi, bukan? Namun juga agak berbahaya. Tahu lah kenapa. “Tapi enak, je. Piye maneh?”, kata saya dalam hati saat hendak makan sesuatu yang ‘berbahaya’. 1 porsi sate kambing isinya 1 tusuk besar sate klathak, dihargai Rp45.000,- (saya lupa harga 1 porsi gule tengklengnya, dimana masih ditemui potongan-potongan besar jerohan kambing). Hadeeh… Enak!

Malioboro-Titik Nol Yogyakarta

Dan selepas kami makan siang-sore di warung sate ini, yang letaknya kira-kira 30 menit dari jalan utama Yogya-Solo, dengan sampainya kami di GT Colomadu (entah kenapa Google Maps selalu mengarahkan kami ke GT ini, padahal kami ketik jelas GT Boyolali), selesai sudah #JogjaTrip edisi Juli 2020 ini. Terima kasih, buat kota Yogyakarta yang selalu istimewa di mata kami. Sampai jumpa lagi kapan-kapan!

2 Comments Add yours

  1. Avant Garde says:

    Wah, sate kambingnya menggoda mas 😀 Pengen mampir ke filosofi kopi di jogja, sama ndak dengan filosofi kopi di jakarta apa semarang. Terimakasih sharingnya mas …..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s