Sok-sokan rhyming di judul. Tapi gapapa kan ya? 🙂
Memang perjalanan ke Yogyakarta di bulan Juli yang lalu hampir tanpa persiapan, berangkat seada-adanya (baca: budget seadanya). Tujuan utama perjalanan ini adalah untuk menghadiri akad dan resepsi pernikahan sepupu dari istri, Edo Anugerah, yang berhasil menikahi pacar masa sekolah-kuliahnya, Hernita Diah Ayu, tanggal 18 Juli 2020 yang lalu, di Ayola Tasneem Convention.

Acara yang berlangsung khidmat dan syahdu itu dilangsungkan dengan format pesta kebun. Akad nikah berlangsung sekitar pukul 16.00 WIB, disaat matahari sore Yogyakarta yang sedang terang-terangnya, alias ‘nyentrong’, kalau orang Jawa bilang. Love in the times of Corona, saya bilang. Resepsi pernikahan pertama yang saya kunjungi di masa pandemi Covid-19 ‘bedebah’ ini. Kemudian disambung dengan resepsi sederhana di tengah kebun. Saat senja mulai beranjak, dan lampu-lampu hias mulai dinyalakan, saat itulah suasana romantis bisa dirasakan segenap tamu dan undangan.

Nah, itu tadi ultimate destination and event untuk #JogjaTrip bulan Juli yang lalu. Dan pasti ada yang kurang kalau pergi ke Yogyakarta tanpa jalan-jalan mengunjungi spot-spot kuliner dan wisata alamnya yang luar biasa ya? Kami ada di Yogyakarta selama 3 hari, mulai tanggal 17 Juli hingga 20 Juli (saya sengaja ambil cuti di tanggal 17 dan 20 Juli 2020, hari Jumat dan Senin), dan perjalanan dari Bekasi, selama di Yogyakarta, hingga kembali ke Bekasi lagi buat saya sungguh menyenangkan. It’s like recharging our souls.
Oh Lord, how I missed road tripping!
Saya kangen berkendara jauh, melintasi tol Trans Jawa, keluar sejenak di gerbang-gerbang tol untuk singgah beristirahat sambil berburu kuliner lokal lezat dengan harga yang pasti terjangkau!



Saat berangkat ke arah Yogyakarta, masuk dari gerbang tol (GT) JORR Kalimalang hingga keluar di GT Boyolali, kami sempatkan keluar di GT Plumbon-Cirebon sejenak untuk sarapan pagi di Nasi Jamblang Mang Dul-Cirebon, dan makan siang di Warung Pecel Keong Mbak Toen, Muncul-Salatiga. Kami ‘keracunan’ rekomendasi dari food vlogger asal Yogyakarta, @dyodoran yang gemar travelling mencoba banyak tempat kuliner asik di Jawa Tengah-Yogyakarta-Jawa Timur. Berikut ini salah satu rekomendasi Mas Dio, yang membawa kami jauh-jauh dari GT Bawen sampai ke Warung Pecel Keong Mbak Toen ini:
Kuliner lagi dan lagi!
Terhitung 3 kali kami berhenti di pit stop untuk mencoba kuliner lokal. Setelah Cirebon dan Salatiga, kini kami pun mencoba kuliner di Yogyakarta, Sate Kambing Sor Talok, yang konon menjadi lokasi jujugan Pak William Wongso, dan salah satu favorit almarhum Pak Bondan ‘Mak Nyus’ Winarno, saat mereka sedang berada di Yogyakarta. Talok adalah sebutan warga Yogyakarta untuk tanaman kersen, yang buahnya manis saat sudah matang-berwarna merah. Dan lokasi sate kambing yang sudah terkenal kelezatannya ini pun mudah untuk ditemukan. Memang benar, berada tepat dibawah pohon Kersen/Talok.



Saya pernah beberapa kali mencoba sate klathak ini, yaitu sate yang dibakar dengan bumbu tipis, ditusuk bukan dengan tusukan bambu yang lazim kita temui. Daging-daging kambing yang dipotong besar-besar itu ditusuk jeruji besai bekas sepeda, dibakar sebentar diatas bara api. Kenapa sebentar? Karena daging diambil dari kambing muda. Satu porsi sate dibanderol Rp45.000,-, isi 2 tusuk besar, disajikan bersama dengan potongan tomat, cabai rawit, dan bawang merah, sedikit kecap, dan taburan merica yang cenderung digerus kasar. Sempurna, kata saya!
Daging yang empuk seperti tidak melawan saat saya gigit. Kecapnya entah pakai kecap merek apa, yang pasti kecap manis produksi lokal, yang menambah kenikmatan makan sate. Side dish-nya rajangan kol mentah dan mentimun. Karena masih kenyang setelah makan Pecel Keong dan Belut Goreng di Salatiga tadi, kami hanya pesan 1 porsi sate klathak saja dan segelas es teh manis, untuk dinikmati berdua. Saya berani bilang, Sate Sor Talok ini adalah sate klathak yang paling enak yang pernah saya makan. Titik.
Sabtu pagi, di Titik Nol Yogyakarta.




Mandatory pic untuk fans kota Yogyakarta adalah berpose di bawah ‘plang’ papan Jalan Malioboro, yang karena saking banyaknya antrean untuk foto di spot legendaris, dibuatlah beberapa papan jalan di sepanjang Malioboro. Saya dan istri pun mangambil momen ini, hari Sabtu pagi, saat tidak ada antrean sama sekali. Kami olah raga jalan kaki, berangkat dari hotel kami menginap, Cordella Kartika Dewi Hotel, yang letaknya sangat dekat dengan pusat kota Yogyakarta, dan rumah keluarga. Kalau ada apa-apa ‘tinggal lari saja’, ibaratnya demikian, alasan kami memilih menginap di hotel ini. Selain harganya yang sangat bersahabat, dimana menginap per malamnya tidak sampai Rp150.000,-, harga yang sangat murah untuk hotel bintang tiga. Tentu saja, harga ini khusus applied saat pandemi Covid-19 ini berlangsung. Sedihnya, banyak hotel yang masih tutup saat #JogjaTrip ini.
Rute jalan Sabtu pagi; keluar hotel ke arah Stasiun Tugu, belok kanan masuk Jalan Malioboro, dan berhenti istirahat sejenak di Titik Nol, kawasan yang merupakan pusat, titik tengah kota Yogyakarta. Seperti halnya Titik Nol di Kota Bandung, ada bangunan kantor pos besar disana. Masih lengangnya jalanan, membuat kami leluasa menyeberang jalan, menyusuri jalanan di depan Pasar Beringharjo, melihat para penjaja makanan menawarkan dagangannya, mulai dari depan Malioboro Mall hingga menjelang Musium Benteng Vredeburg, yang masih tutup saat itu. Kami mencoba jalan terus hingga berkeliling Alun Alun Utara, yang langsung berbatasan dengan area Keraton Yogyakarta.

Saat kembali dari arah Alun Alun Utara, kembali ke Titik Nol, kami melihat ada bangunan baru, yang tepat berada di samping Museum Sonobudoyo, sebuah warung kopi kecil, Nol Kilometer Coffee and Tea Yogyakarta, yang baru buka pukul 07.00 WIB. Saat itu, jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 06.55 WIB, saat saya bertanya ke mbak-mbak waiter, yang tengah beberes kursi dan meja luar. “Lima menit lagi dong bukanya, mbak?”, tanya saya. “Iya, mas. Hehehe, monggo duduk dulu”, balasnya ramah.

Nol Kilometer tea & Coffee ini terlihat kecil, namun setelah masuk, ruangan cafe ini luas juga. Ruangan di dalamnya langsung menyambung ke lingkungan Museum Sonobudoyo yang ada di sampingnya. Pun demikian dengan toiletnya, masih jadi satu dengan bangunan museum. “Cantik juga ini cafe”, batin saya.



Ah, hari pertama di Yogyakarta sudah dapat lokasi untuk berbagi hestek #cobakopiJogja, dan kopi dari Nol Kilometer ini lumayan enak. Nothing special, but good. Bakalan datang lagi pagi-pagi kesini? Pasti!
Kota Yogyakarta dan Gudeg Mbak Lindu.
Saya terus terang jarang mendengar tentang Mbah Lindu, seorang ‘seniman’ dengan masterpiece masakan gudeg-nya, yang sudah berusia seratus tahun lebih. Beliau baru saja wafat beberapa saat sebelum kami beranjak masuk ke Kota Gudeg ini. Dan sudah jadi rencana saya dan istri, mau sarapan pake Gudeg Mbah Lindu, yang biasa ditemui di Jalan Sosrowijayan, diakses dari arah Jalan Malioboro. Namun sayangnya masih tutup. Mungkin masih berkabung, batin saya. Untungnya, kami menemukan cabang dari gudeg ini di Jalan Jogonegaran, masih dekat dengan Sosrowijayan, searah dengan arah kami kembali ke hotel. Jadilah, kami beli 1 bungkus nasi gudeg lauk telor untuk dinikmati berdua.


Kami sempat ngobrol sebentar dengan ibu-ibu penjual Gudeg Mbah Lindu ini, dan menurut beliau, Gudeg Mbah Lindu di Jalan Sosrowijayan dijalankan oleh putrinya. Dan cabang Jalan Jogonegaran dijalankan oleh cucu menantunya. Memang, cabangnya tidak sebanyak Gudeg Yu Djum, namun Gudeg Mbah Lindu ini tetap punya penggemar yang saya lihat cukup setia. Kalau ditanya mana yang paling enak antara Gudeg Mbah Lindu dengan Gudeg Yu Djum, Gudeg Wijilan Bu Widodo, atau gudeg yang lainnya? Menurut saya yang lidahnya Jawa Timuran, yang lebih terbiasa dengan rasa asin dibanding rasa dominan manis, seperti yang ditemui di aneka masakan di Yogyakarta, semua punya ciri khas tersendiri.
Hari Sabtu ini praktis hanya untuk istirahat dan menghadiri resepsi Diah dan Edo. Namun selepas itu, kami masih punya me time, our time. Mencari spot ngopi berdua, hasil rekomendasi keponakan saya yang kuliah di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Laurent (Olen), merekomendasikan kedai kopi punya Hamzah a.k.a Raminten, seorang pengusaha yang seluruh orang Yogyakarta pasti tahu. Tengah Coffee and Drinks, nama kedai kopinya. Kedai kopi ini terletak di depan bangunan Raminten Kitchen, yang menyajikan pilihan kopi dan non-kopi. Dibandingkan dengan kopi racikan Nol Kilometer, yang kami nikmati di hari yang sama, tentunya dari sisi rasa, racikan nol Kilometer lebih ‘nendang’. Tentunya juga karena harga yang dibandrol, ada harga ada rasa. Setelah kami masuk, ambiance Kedai Raminten ini seperti tempat angkringan, dilihat dari menu-menu yang disediakan, yang harganya cukup terjangkau kalau menurut saya.


Kedai Raminten ini buka 24 jam. Menjadikannya ramai akan mahasiswa/i yang ‘ngariung’ mengerjakan tugas, atau sekedar makan di tempat bernuansa kental Jawa, yang cukup keren untuk konten Instagram, dengan harga yang bersahabat untuk mereka. Ngariung in times of Corona.
Yogyakarta yang mulai menggeliat kembali.
Dari hasil jalan-jalan di hari pertama-kedua di Yogyakarta ini, saya mulai melihat geliat pariwisata di kota ini. Yang tentunya sempat suffering karena efek PSBB, untuk membatasi laju penyebaran virus Covid-19. Hotel-hotel banyak yang sudah buka, dengan tarif menginap yang sangat ‘seksi’ dari sisi pelancong. Tempat-tempat makan sudah dibuka, dan diperbolehkan dine-in, dengan protokol kesehatan. Masuk dan berjalan di sepanjang Jalan Malioboro pun, kita wajib melewati beberapa check point, dicek suhu tubuhnya di setiap check point, cuci tangan dengan sabun di banyak titik, dan banyaknya petugas yang mengawal.

Tren bersepeda pun ikut terlihat. Tren ‘pit-pitan’ ikut menjamur di Yogyakarta. Dimana-mana terlihat pesepeda, baik di jalanan, maupun yang tengah berkumpul dengan komunitasnya. Yogyakarta mulai ramai kembali, para pelancong pun mulai berdatangan kembali.
18 Juli 2020.
Ya ampun, salah deh buka ini tengah malem,jadi mendadak laper hehehe… Enak-enak semua mas, udah lama banget gak makan pecel keong padahal deket dr rumah mertua di salatiga. Salam 🙂
Hai, mas! Gak salah kemarin jauh-jauh dari GT Bawen sampai ke warung pecel keongnya, nak tenan! 🙂
Legend itu mas, disamping enak tur murah hehehe…. 😀 Kalo sate klatak saya belum pernah nih, pengen cobain habis nonton film ada apa dengan cinta 2