Hujan!
Kota Tanjung Pandan hujan pagi itu, dan sepertinya akan hujan seharian. Hari Selasa, 15 Mei 2018. Rencana kami untuk pergi menyeberang ke Pulau Lengkuas, Pulau Kepayang, Pulau Batu Garuda, Pulau Kelayang, dan pulau-pulau cantik lain di gugusan kepulauan provinsi Bangka-Belitung harus diubah, diganti dengan jadwal lainnya. Putar jadwal. Alhasil, jadwal selama 3 hari berubah menjadi:
- Hari 1: Belitung Timur; Museum Kata Andrea Hirata, Kampoeng Ahok, Replika SD Muhammadiyah Gantong, Rumah Keong Gantong, makan siang di RM Seafood Fega, dan Pantai Tanjung Pendam.
- Hari 2: Pulau Pasir Leebong, dan Pulau Leebong.
- Hari 3: Pantai-Pelabuhan Tanjung Kelayang, Pulau Batu Belayar, Pulau Lengkuas, Pulau Kepayang, Pulau Batu Garuda, Pantai Tanjung Tinggi/Pantai Laskar Pelangi, dan langsung ke Bandara Tanjung Pandan.
Sesuai jadwal, tour guide merangkap driver kami, mas Yordan sudah stand by di lobby hotel pukul 08.00 WIB. Di tengah hujan gerimis yang sepertinya rata mengguyur Pulau Belitung, kami berangkat menuju Belitung Timur. Melintasi jalan raya yang sudah sangat mulus, dengan pemandangan unik di kanan-kiri kami. Bekas tambang timah dan kaolin ada dimana-mana, meninggalkan warna hijau tosca untuk bekas tambang kaolin dan warna bening kecoklatan seperti layaknya danau kecil atau rawa-rawa untuk bekas tambang timah. Kadangkala, jika hujan turun cukup deras, air di bekas tambang timah meluber hingga ke jalanan. Selain bekas tambang juga banyak kami temukan kebun-kebun kelapa sawit dan pemukiman penduduk di sepanjang perjalanan.
Museum Kata Andrea Hirata, pukul 09.16 WIB.

Setelah kurang lebih 1 jam 15 menit berkendara, sampai juga kami di tujuan pertama, Museum Kata Andrea Hirata. Buat penggemar cerita Laskar Pelangi, yang mendorong industri pariwisata di Belitung tumbuh sedemikian pesat, mengangkat setiap jengkal potensi alam dan budayanya, pasti tak asing dengan nama ini. Penduduk asli Belitung Timur yang karyanya sudah mendunia, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa ini membuka sebuah museum yang mengkurasi karya-karyanya. Untuk masuk ke museum ini, setiap pengunjung dikenakan biaya Rp50.000,- per orang. Sebagai gantinya, selain kita bisa berkeliling melihat-lihat dan berfoto di setiap ruangan museum, saat kita pulang, kita akan diberikan buku saku Laskar Pelangi sebagai oleh-oleh. Yuk, kita masuk dan lihat ada apa saja di dalamnya!




Di bangunan bagian luar, bangunan yang terbuka banyak kita temukan instalasi-instalasi unik seperti pintu dan jendela bekas yang dipasang di atap rumah, dan di dinding-dinding dengan tempelan karya-karya Andrea Hirata. Saat kita masuk ke bangunan utama lewat pintu belakang, kita akan menemukan warung kopi “Kupi Kuli” yang haru itu buka, namun sayang hanya bisa menyajikan kopi atau teh saja, tidak ada makanan kecil hangat seperti pisang atau singkong goreng yang cocok untuk menemani ngobrol di tengah hujan gerimis. “Kami tidak buat makanan kalau hari biasa, pak. Kalau Sabtu-Minggu pasti ada”, terang salah satu penjaga warung kopi menjawab pertanyaan saya.

Di bagian dalam bangunan utama pun tak kalah menariknya. Deretan karya-karya Andrea Hirata dan poster-poster berukuran besar tampak terpampang di salah satu sudut ruangan. Salah satunya adalah poster Maya Angelou, penulis yang beberapa kata-katanya sangat bermakna buat saya; “I’ve learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel”. Nyes banget kan? Or try this one: Ïf you don’t like something, change it. If you can’t change it, change your attitude”.




Keren, colorful, dan meaningful. 3 kata yang saya berikan untuk Museum Kata Andrea Hirata ini! 🙂

Lokasi selanjutnya yang tak begitu jauh dari museum tadi adalah Kampung Ahok. Sounds familiar, huh? Yup, that Ahok that I talking about. Kami berkunjung ke rumah beliau di Belitung Timur ini, dimana beliau dulu sempat menjabat sebagai bupati sebelum dipinang oleh Pak Jokowi untuk menjadi wakilnya di Pilkada DKI Jakarta. Di samping bangunan rumah Pak Ahok yang kini terlihat megah, ada Galeri Seni Daun Simpor. Di dalamnya dijual oleh-oleh khas Belitung, termasuk makanan dan minuman khas, kain batik, kaos khas Belitung, dan masih banyak lagi. Dan di seberangnya ada Museum Ahok, bangunan rumah panggung yang didalamnya dijual pernak-pernik Pak Ahok, mulai dari kaos, kemeja kotak kotak khas dirinya, makanan khas (lagi-lagi), dan foto-foto juga karikatur-karikatur beliau. Ah, jadi kangen… 😦

Menjelang jam makan siang, kami berpindah ke lokasi ketiga di Belitung Timur; Replika SD Muhammadiyah Gantong, dimana kita bisa sedikit mendapatkan suasana saat Ibu Muslimah mengajar laskar pelangi. Saat masuk ke dalam ruang kelas yang berlantai pasir pantai, bapak mertua saya yang dulu adalah seorang guru dan kepala sekolah berperan sebagai guru kami, dan kami duduk di bangku, berpura-pura menjadi murid-muridnya.

Guru. Saya dilahirkan dan dibesarkan oleh seorang guru, ibu saya. Dan setelah dewasa pun, saya menikah dengan putri seorang guru. Tante saya dan beberapa kerabat saya pun juga berprofesi menjadi seorang guru. Jadi darah guru mengalir di darah saya, dan sepertinya bakat saya untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman datang secara alami, dari mereka. And I’m the next generation teacher in my family. A teacher amongst teachers.



Tepat di seberang replika gedung sekolah ini, saya lihat ada bangunan dan instalasi yang disebut Rumah Keong (conch house), atau Dermaga Kirana. Dermaga dengan instalasi menyerupai rumah keong dari bahan rotan dan rangka baja ini dibangun diatas semacam danau, yang dulunya bekas tambang timah. Spot yang sangat instagramable, kata mas Yordan, tour guide kami! Ingin lihat? Yuk!




Sudah lewat jam makan siang, ternyata. Dan mas Yordan mereferensikan RM Seafood Fega, yang masih berlokasi di Belitung Timur. Rumah makannya unik, berdiri di tepi pantai yang menjorok jauh ke daratan, sehingga membentuk danau. Mas Yordan sudah mengarahkan kami untuk duduk di tempat dimana kami bisa langsung melihat ikan-ikan laut kecil berenang di bawah pondok tempat kami makan. Dan menunya? Jelas boga laut lah! Hehehehe.. Agak aneh ya, menyebut seafood dengan boga laut? Ini masalah kebiasaan saja kok 🙂 Ikan tenggiri bakar (kami pesan ikan ini karena ikan baronang dan kuwe sedang kosong), udang asam manis, dan cah kangkung terasi (lagi-lagi pesan kangkung karena sayur genjer habis), nasi 2 porsi (karena teringat pengalaman makan di RM Raja Seafood di hari pertama-saya yang menghabiskan nasi putih pesanan kami). Baiklah, mari makan!

Saya paling tidak suka, dan tidak tahan kalau ada orang makan tidak habis. Terlebih menyisakan banyak sekali lauk dan nasi di piring mereka. Atau sebatas tidak menghabiskan makanan yang mereka pesan, meninggalkannya begitu saja di meja setelah mereka selesai makan. Dan ada kejadian lucu di RM Fega ini. Tepat di sebelah kami, ada 2 orang wanita (yang kebetulan saya ingat juga menginap di hotel yang sama dengan kami) yang makan berdua saja dengan lauk yang lumayan banyak. Nah! Pada saat mereka berdua sudah beranjak pergi, terlihat dong kepiting asam manis masih ada beberapa potong di piring lauk mereka, dan 1 plastik amplang yang hanya termakan beberapa saja.
Timbul keinginan saya buat mengambil dan menghabiskan saja, mumpung lagi sepi batin saya. Namun ternyata saya kalah cepat dengan 2 orang pramusaji (2 orang pria paruh baya) yang datang untuk membereskan meja tersebut. “Pak, kalau kepitingnya gak habis gitu, mau diapain? Dibuang ya?” tanya saya. “Iya pak, dibuang kalau gak dikasih ke ikan (maksudnya dibuang ke laut mungkin)”, jawab salah seorang dari mereka. “Wah, sayang banget dong! Sini, daripada dibuang saya habisin aja. Sayang banget kalau makanan enak-enak dibuang”, balas saya.
“Enggak pak, kamek (kami dalam bahasa Indonesia) makan”, balas si bapak sambil tersenyum. Dan ternyata benar. Kemudian saya lihat lauk-lauk yang tidak habis tadi disisihkan oleh si bapak berdua di salah satu pondok makan yang kosong beserta nasi dan kerupuk yang tidak habis tadi. Mungkin mereka akan makan agak sore nanti, atau dibungkus untuk dibawa pulang ke rumah. Saya lega, karena setidaknya tidak ada makanan yang terbuang. Untuk urusan ini saya tidak malu. Saya malah punya perasaan sangat tidak nyaman kalau melihat orang buang-buang makanan.
RM Seafood Fega ini juga menyediakan spot-spot berfoto yang asik. Para tamu restoran bisa berfoto di dermaga yang menjorok ke lautan, atau di bagian belakang restoran yang menghadap ke laut, mereka buatkan replika bagian depan kapal laut, sehingga kita bisa berfoto seolah-olah sedang berada di atas kapal. Boleh juga kok bergaya ala Rose dan Jack di film Titanic (apaan sih?)



Sore hari sudah menjelang. Dan kami masih punya 1 lokasi lagi untuk didatangi. Lokasi ini seharusnya kami datangi kemarin, tapi karena pesawat Sriwijaya Air (SJ 052) kami delay, jadinya tertunda sehari kedatangan kami kesini, ke Pantai Tanjung Pendam. We will be watching the sun goes down. Yes, sunset! Perjalanan dari Belitung Timur kembali ke Kota Tanjung Pandan kami tempuh dalam waktu kurang dari satu jam, dan langsung merapat ke pinggir pantai. Tiket masuk cukup Rp2.000,- per orang (sudah termasuk tiket parkir mobil karena mas Yordan kenal baik dengan si penjaga loket/gerbang). It’s 05.30 PM, so the sun will set at 05.46 PM. Better be hurry!
Pantai Tanjung Pendam-Tanjung Pandan, pukul 17.30 WIB

Pantai Tanjung Pendam ini seperti kebanyakan pantai di Belitung, merupakan pantai landai atau lagoon, dimana bagian pasir jauh menjorok ke lautan dengan kedalaman kurang lebih 30 cm. Jadi kita bisa berjalan jauh ke arah laut, tanpa takut celana pendek kita basah. Dan pemandangannya? Lumayan cantik! Kok hanya lumayan? Ya karena kita belum melihat pemandangan di pulau-pulau dan pantai-pantai lainnya di hari ke-2 dan ke-3 #BelitungTrip kali ini.



Selepas Maghrib, kami pun beranjak meninggalkan Pantai Tanjung Pendam ini, yang ternyata sangat dekat dengan Kong Djie Coffee di Jalan Siburik, tempat nongkrong kami malam sebelumnya. No wonder, Tanjung Pandan ini kota kecil yang cantik, kalau menurut saya. Mengingat kota kecil ini terletak hanya di Pulau Belitung yang mungkin hanya dihuni oleh ratusan ribu jiwa saja. Mungkin karena sifat kehidupan di kota kecil ini kebanyakan bergantung di pariwisata, bertani, dan nelayan, maka kehidupan masyarakat kota tergolong santai. Saya dengar dari Mas Yordan kalau warga kota punya kebiasaan ‘JJS’ alias jalan-jalan sore di setiap Sabtu sore, yaitu berkumpul dan kemudian berkeliling kota dengan sepeda atau motor bersama-sama. Lucu juga, hari berkunjung ke rumah pacar/gebetan jatuh 2 kali dalam satu minggu, yaitu malam Selasa dan malam Minggu. Unik!
Let’s call it a day. Let’s go home and have a rest. Since tomorrow, we will go cross the straits to Leebong Island! Yeay!

2 Comments Add yours