Seringkali saya katakan, level energi saat hendak pulang kampung itu pasti tinggi-tingginya. Mata betah melek, konsentrasi melihat ke arah jalan-termasuk menengok spion belakang dan kanan-kiri sedang tinggi-tingginya. Dan tidak mudah capek. Ini yang saya rasakan saat perjalanan dari Kota Solo ke Kota Malang melintasi Tol Trans Jawa dari GT Kartasura-Solo, hingga keluar di GT Singosari-Malang, hanya butuh waktu 3 jam saja dengan kecepatan sedang. Kota Malang, at last!
I have the promise to keep. Adelia, keponakan saya berulang tahun tanggal 10 Juli 2022, yang jatuh pada hari Minggu. Karena masih harus menginap di Kota Solo, saya sampaikan kalau kami tidak bisa hadir tepat saat ia ulang tahun, kami baru tiba di Malang hari Senin, tanggal 11 Juli. She’s a nice and kind kid, whom soon entering her teenage years.
Ulang tahunnya dirayakan sederhana, cukup keluarga inti saja, yang sedikit lebih ramai karena ada saya dan istri yang turut meramaikan. Kami berdua sudah mempersiapkan kado, yaitu dress berwarna putih dengan kombinasi biru muda, yang bisa ia pakai ke gereja. Bukan saja untuk Adelia, adiknya Giovani dan kedua saudara sepupunya pun kebagian hadiah kecil dari kami.

Kalau ke Malang, wisata alam kalau gak ke Batu, ya jalan ke pantai-pantai di selatan Kota Malang. Jadilah kami memilih Pantai Ngliyep, salah satu pantai dengan ombak besar yang terkenal. Saat kami tiba, waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, dan laut sedang surut. Alhasil karena memang tidak bisa mandi di laut (tidak boleh juga), kami hanya bermain-main air saja. But in a nutshell, Pantai Ngliyep ini cukup bersih dan cantik.
Lautan pasirnya pun bersih, dengan warna putih!

Giovani, keponakan saya yang paling kecil, tentunya susah untuk dilarang mandi di laut. Masih dengan pakaian lengkap, ia langsung saja masuk ke dalam air, yang saat surut hanya sebatas lutut hingga mata kaki saja. Keponakan-keponakan yang lain hanya explore area pantai saja, mencari kerang, ikan kecil, kelomang, dan hewan-hewan lain yang tidak sempat terbawa kembali ke lautan.


Lalu kemana lagi kita?
“Yog, ayo ke rumahnya Pak Asmuni di Kediri…”, demikian ajak ibu saya sepulang dari Pantai Ngliyep untuk jalan-jalan ke Kota Kediri. Wah, perjalanan cukup panjang nih! Mengingat kalau melaju ke Kota Kediri via jalan tol Trans Jawa terlalu jauh, harus melaju dahulu hingga Sidoarjo lalu belok kiri ke arah Tol Surabaya-Mojokerto hingga exit GT Kediri, kami memutuskan untuk melewati trayek Batu-Pujon-Kandangan-Pare hingga sampai ke Kota Kediri, dengan Simpang Lima Gumulnya.

Lalu, siapa Pak Asmuni ini? Beliau ini tetangga kami dulu, saat keluarga kami masih tinggal di Kelurahan Oro-Oro Dowo di Kota Malang, sebelum pindah ke Kelurahan Tlogomas, masih di Kota Malang. Beliau sekeluarga sangat baik, bahkan bapak dan ibu saya menganggap Pak Asmuni sekeluarga seperti saudara sendiri. Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih dengan beberapa kali rehat, kami tiba juga di kediaman beliau.
Keluarga Pak Asmuni menyambut dengan sangat baik kedatangan kami, bahkan sudah mempersiapkan makan siang yang sangat istimewa. Boleh pilih, Cwie Mie Malang atau Sop Buntut yang super lezat! Saya tidak pilih, saya ambil keduanya. Belum lagi buah tangan telor asin produksi sendiri, yang kini menjadi salah satu pemasukan untuk keluarga. Matur nuwun sanget, pak!

Kediri, untuk kami umat Katholik sangat identik dengan Gua Maria Pohsarang. Sama halnya dengan Gua Maria Kerep Ambarawa yang sangat sering kami kunjungi, tempat ini adalah tempat berdevosi, mengucap syukur atas karunia, rahmat, dan berkat perlindungan atas kami semua, dengan perantaraan Bunda Maria. Tempat yang sangat tenang, damai, dan jauh dari hiruk pikuk.



Goa Maria Pohsarang ini sempat sering saya datangi saat masih menganggur dulu, selepas lulus dari kuliah circa 2003-2004. Saya berdoa untuk sebuah pekerjaan yang bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan saya dan keluarga, namun juga membuat saya terus berkembang dari waktu ke waktu. Doa yang mengantarkan saya bekerja di perusahaan ini hingga saat ini.

Saya teringat masa-masa dimana saya menempuh perjalanan pulang-pergi Malang-Kediri hanya untuk ‘curhat’ kepada yang punya hidup. Doa dan pengharapan saya (dan istri) tentunya berganti, namun rasa syukur kami yang tetap kami jaga. Rasa syukur atas doa yang terkabulkan, dan rasa syukur atas doa yang belum atau bahkan tidak terkabul, karena Tuhan sudah mempersiapkan sesuatu yang lebih besar sebagai gantinya. Have faith!
Perjalanan kami pulang kampung ke Kota Malang sebenarnya cukup singkat saja. Waktu cuti sudah termakan 1 hari khusus untuk perjalanan Bekasi-Malang lewat Semarang dan Solo, dan 1 hari lainnya khusus untuk menginap selama perjalanan kami kembali ke Bekasi, via Semarang. Perjalanan kami ke Malang ditemani bapak, Deryl, dan Dirta. Perjalanan kami dari Malang ke Bekasi ditemani oleh bapak dan ibu saya. Mereka akan pulang kembali ke Malang via kereta api.

Malam terakhir di kampung halaman. Biasanya kami makan bersama sekeluarga, tak jarang juga tidak dihadiri lengkap semua anggota keluarga. Lokasi yang kami pilih adalah Warung Kopi Pemain Lama, yang ada di Kota Batu, dimana kami datang hanye bersembilan saja.
Itu pun dengan Antok, adik bungsu saya boncengan motor dengan Bryan, keponakan dari istrinya yang tinggal di Kupang, NTT, yang kebetulan sedang berlibur di Kota Malang. Mobil kami tentunya tidak muat jika semua anggota keluarga ikut. Acara malam itu pun tidak dihadiri oleh Dian, adik nomor dua saya, bersama suaminya dan juga Deryl yang jatuh sakit.

Warung Kopi Pemain Lama ini salah satu tempat yang sering kami kunjungi, kali ini adalah kesempatan kedua saya datang, setelah mendapatkan kesan yang baik di kedatangan yang pertama. Untuk keluarga saya, entah ini kedatangan yang keberapa, karena cocok dengan makanan, minuman, ambiance, dan segala sesuatu yang ditawarkan.
Nah, bicara tentang minuman, Warung Kopi Pemain Lama menyediakan beberapa pilihan minuman berkarbonasi dengan rasa yang saya kenal sejak kecil; Coffee Cola, Sarsaparilla, Temulawak, dan masih banyak lagi, yang diproduksi oleh Linggardjati48.

Salah satu signature dish mereka yang saya pesan malam itu adalah Sego Cumi. Harusnya dilengkapi dengan pete, namun sayang sekali malam itu kami kehabisan petenya. Untungnya, cumi hitam masih aman tersedia. Boleh dibilang, ini adalah top list masakan favorit saya, cumi-cumi yang dimasak dengan bumbu sederhana saja, lengkap dengan tinta hitamnya.
Malam yang dingin di Kota Batu terasa hangat dengan obrolan-obrolan kami, sambil ditemani minuman hangat dan makanan-makanan kecil yang dengan sekejab habis ludes oleh keponakan-keponakan saya.

Setelah selesai makan malam, kami beristirahat untuk mempersiapkan diri, menempuh perjalanan jauh di keesokan harinya, menuju Kota Bekasi dengan transit semalam di Kota Semarang. Kita lanjutkan ceritanya di unggahan berikutnya ya!
One Comment Add yours