“Seneng banget jalan-jalan ke Ambarawa, mas?”
Mungkin pertanyaan itu sempat muncul di benak anda, mengingat sudah beberapa kali dalam beberapa tahun sekali saya berkunjung ke kota kecil, yang khas dengan kemacetan di seputaran Terminal Bawen dan Pasar Projo ini.
“Bisa juga macet parah gini ya, kota kecil Bawen-Ambarawa ini?”, demikian tanya saya saat awal-awal berkunjung untuk pertama kali, tentu saja dengan tujuan berziarah ke Goa Maria Kerep Ambarawa. Setelah beberapa kali berkunjung-menginap, sudah menjadi hal yang biasa. Sudah tahu rute mana yang haris diambil jika tidak mau kena macet di Pasar Projo. Terakhir saya berkunjung di bulan Desember 2021 yang lalu, bertemu dengan keluarga dari Malang. Mereka berangkat dari Malang, saya dan istri dari Bekasi, bertemu di Ambarawa, jalan-jalan sejenak ke Semarang, Bandungan, Salatiga, dan kota-kota sekitarnya, sebelum bersama-sama bertolak merayakan Natal di Kota Malang.
Tahun ini, bertepatan dengan Bulan Maria, dimana umat Katolik mendaraskan doa dan devosi kepada Bunda Maria, ibu Yesus Kristus, kami pun kembali ke Ambarawa. Tentu saja dimotori oleh ibu saya, yang selalu bersemangat untuk kembali ke kota penuh kenangan di masa kecilnya ini. Dan tanggal 13 Mei 2022 pagi, kami berangkat sama-sama dari lokasi masing-masing. Saya dari Kota Bekasi, dan keluarga berangkat dari Kota Malang. Tidak hanya berdua, saya dan istri berangkat bersama tante saya, sepupu dari ibu saya yang tinggal di Kebayoran Baru, Jaksel. Setelah menjemput beliau, kami langsung melaju lagi di Tol Trans Jawa.

Perjalanan cukup lancar, semenjak kami masuk Tol JORR dari GT Fatmawati (pukul 07.12 WIB) hingga turun dari layang tol MBZ di KM 47. Setelah itu, ada beberapa titik kemacetan yang tidak terlalu berasa sebenarnya, hingga selepas GT Cikampek Utama. Cuaca cerah sedikit berawan, membuat saya tidak lepas dari sunglasses favorit sepanjang perjalanan hingga Pit Stop 1: Nasi Grombyang H. Warso, Pemalang.



Nasi Grombyang disajikan dalam mangkok kecil, seukuran mangkok Soto Kudus. Terlihat sedikit di permukaan, tapi mantap di kedalaman. Gak seberapa mantap sih, sebenarnya. Buat saya 1 porsi saja pasti kurang. Nasi Grombyang disajikan dengan satu piring sate daging dan jerohan sapi, dengan siraman melimpah kuah manis gurih. Bumbu manis gurih pun disiramkan diatas nasi, potongan besar daging sapi, dan kuah, menyebabkan cita rasa gurih manis.
Masakan lebih cenderung ke manis a la masakan Jawa Tengah, untuk anda yang kurang suka dengan rasa masakan yang manis, mungkin akan kurang cocok. 1 porsi dibandrol harga Rp18.000,- dan 1 tusuk sate dihargai Rp6.000,- Untuk kami, ini adalah kali kedua kami menikmati hidangan ini, namun untuk tante saya, ini adalah kali pertama beliau.
Sebelum masuk GT Pemalang, kami menyempatkan membeli 5 porsi Nanas Madu khas Belik (@ Rp10.000,-) , yang banyak dijajakan sepanjang jalan menuju Kota Pemalang, kiri dan kanan jalan menuju/dari gerbang tol. “Le, ibu belikan nanas madu kalau pas lewat Pemalang ya?”, demikian request ibu saya saat hendak berangkat dari Malang. Siap!

Pemandangan di kanan kiri jalan Tol Trans Jawa, terutama saat melintasi ruas Pemalang, Batang, dan Pekalongan masih cantik seperti biasanya. Hamparan pantai dan laut di sebelah kiri jalan, PLTU Batang, Jembatan Kalikuto, hingga GT Kalikangkung, pintu masuk Kota Semarang. Memang cuaca yang cerah dan sedikit berawan membuat hawa di dalam mobil sedikit gerah. Kalau hujan, rawan aquaplanning, jalanan licin, dan sebagainya. Mungkin memang harus rajin-rajin mampir ke Rest Area yang sudah disediakan ya, untuk sekedar istirahat, toilet break, mendinginkan mesin, dan ban.

Akhirnya, touch down di Kota Ambarawa pukul 15.20 WIB. Artinya, perjalanan dari GT Fatmawati hingga GT Bawen (plus istirahat) memakan waktu 8 jam. Cukup lama ya? Hehehehehehe.. banyak mampir dan jalan-jalan jajan kulineran sih. Puji Tuhan, sudah dijaga dan diberkati sepanjang perjalanan. Biaya tol dari GT Kalimalang hingga GT Bawen: Rp427.500 (GT Kalimalang, Fatmawati, Cikampek Utama, Pemalang, Kalikangkung, dan Bawen). BBM? Berangkat full tank dari Bekasi, kami hanya isi BBM satu kali di Rest Area KM379A, Rp250.000,- (32,67 liter). Jadi, total biaya perjalanan kami dari Bekasi-Jakarta-Bawen: Rp677.500,-

Lalu, apa acaranya setengah hari ini?
Istirahat sejenak, wajib dilakukan di Griya LD, homestay yang menjadi rumah kami selama di Ambarawa. Di kunjungan kami yang kedua kali ini, suasana homestay masih tetap sejuk dan asri. Kami check in di hari Jumat, dimana masih sepi, pengunjung lainnya belum datang. “Besok datang rombongan, mas. dan sepertinya full kamar-kamar penginapannya hari Sabtu-Minggu besok”, dijelaskan istri Mas Wito, penjaga homestay saat kami sempat berbincang-bincang di sore hari. “Di Lapangan Panglima Besar Jendral Sudirman ada pasar malam, mas. Dekat sini saja, dari Pasar Warung Lanang tinggal lurus. Barangkali mau ngajak keluarga jalan-jalan”, demikian tambah si mbak. “Baik, matur nuwun informasinya, nanti malam kayaknya mau jalan-jalan kesana”, balas saya sambil mengucapkan terima kasih atas keramahannya.

Tak lama kemudian, keempat keponakan saya menyerbu saya dengan pertanyaan, “Pakde, kita malam ini jalan-jalan kemana?” Ajakan standar a la mereka, sama seperti saat saya pulang ke Kota Malang. Selalu ada ajakan untuk ‘jalan-jalan jajan’ dadakan di sore hingga malam hari. “Ke alun-alun Ambarawa yuk!”, ajak saya yang disambut dengan tawa gembira. Beberapa waktu sebelumnya, saya sempatkan browsing sejenak, mencari informasi tempat-tempat keramaian yang bisa dikunjungi dan buka hingga malam hari di Kota Ambarawa ini. Ditambah dengan pasar malam di Lapangan Jendral Sudirman, ada 2 destinasi malam ini. Kami pun berangkat berdelapan dengan Toyota Avanza Veloz saya.

Saya tidak menyangka, keponakan-keponakan saya akan mendapatkan keasyikan luar biasa di Alun-Alun Ambarawa ini. Di tengah alun-alun, dibuatkan lintasan lari-jogging yang dilapisi tegel keramik, yang dipakai sebagai lintasan untuk motor mini yang disewakan untuk anak-anak. Motor trail mini, motor matic mini, dan motor bertenaga listrik disewakan untuk dikendarai anak-anak dengan tarif Rp10.000,- untuk 6 kali putaran. Suasana lintasan lari pun riuh dengan anak-anak yang mengendarai motor matic ini. Termasuk diantaranya, keponakan-keponakan saya.

Untuk Deryl, keponakan saya yang paling tua, mungkin belajar motor sudah pernah ia lakukan, meskipun sebatas di halaman rumah. Namun untuk dua keponakan yang lain, Adelia dan Dirta, ini adalah keli pertama mereka naik sepeda motor. Dirta dan Deryl memilih motor trail mini bertenaga mesin, sementara Adelia memilih motor matic mini. Tentunya untuk orang tua yang melihat akan muncul perasaan was-was. Takut nanti jatuh saat naik motor, terluka, dan sebagainya. Namun ternyata, saat pertama kali mencoba, mereka langsung bisa menjalankan motornya.

Cara masing-masing dari mereka squeeze gas membuat saya sedikit tenang. Kenop gas di-squeeze perlahan hingga mereka mendapatkan roda motor berjalan perlahan, dan menahan laju kendaraan di kecepatan tertentu secara konsisten. Memang, sebelum naik motor masing-masing anak akan di-brief tentang penggunaan kenop gas, dan tuas rem di kanan dan kiri. Jadi kontrol semanya dilakukan dari tangan, kaki hanya berpijak saja, dan sesekali turun untuik menjaga keseimbangan. Setelah habis 6 putaran, mereka belum juga puas. Alhasil, masing-masing dari mereka tambah 6 putaran lagi. Melihat senyum di wajah mereka, membuat saya juga ikut senang.
Menurut saya, kalau anak-anak sudah bisa naik sepeda, pasti bisa naik motor mini ini, asal sudah bisa punya kontrol atas gas dan tuas remnya.
Setelah puas berkeliling dengan motor mini di malam itu (mereka minta untuk mampir ke Alun-Alun Ambarawa lagi di malam terakhir sebelum pulang di tanggal 16 Mei), kami melanjutkan perjalanan sejenak ke pasar malam. Suasana sangat riuh, karena mungkin keramaian seperti ini baru bisa digelar selepas masa pandemi ya? Masyarakat tumpah ruah di pasar malam, yang terkadang tidak mengindahkan protokol kesehatan (tidak pakai masker, dan berdekat-dekatan).
Benar-benar pasar rakyat. Tanpa tiket masuk, semuanya bebas masuk ke lokasi, hanya perlu membayar saat naik wahana saja. Jajanan dan makanan khas yang biasa sahya temui saat kecil dulu di Malang, saat pasar malam serupa masih sering diadakan di lapangan luas dekat rumah, saya temukan kembali. Demikian juga dengan wahana Tong Setan, Komidi Putar, Bianglala dan masih banyak lagi. Sebuah obat rindu akan kenangan masa kecil.
Cukup untuk hari ini, saatnya istirahat, dan melanjutkan perjalanan besok, 14 Mei 2022. Terima kasih sudah membaca artikel ini.
3 Comments Add yours