Ting!
Ada notifikasi masuk ke WhatsApp saya, tanggal 7 April yang lalu. Sebuah pesan dari rekan lama, adik tingkat saya di kampus FEB Universitas Brawijaya, yang saat ini sudah mengenyam pendidikan post-doctoral. Saya mengenal beliau dengan nama Desi Tri Kurniawati, seorang dosen S1, S2, dan S3 di Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Salah satu orang hebat yang saya kenal.
Beliau menghubungi saya untuk mengajar tentang business experience perusahaan tempat saya bekerja, teori dan praktek pemasaran ke mahasiswa/i S2-nya. “Wow, saya mengajar mahasiswa S2? Beneran nih?”, tanya saya ke Desi. “Mahasiswa/i sekelas hanya 8 orang, mas. Masih muda-muda, santuy lah”, jawabnya menenangkan saya. Terus terang saya merasa kurang percaya diri mengajar mahasiswa S2 ini, jarang mendapat pengalaman lebih tepatnya.
Kelas online diadakan tanggal 15 April 2022, yang bertepatan dengan Hari Jumat Agung. Kebetulan tanggal merah, tidak akan mengganggu pekerjaan sehari-hari, saya iyakan saja. Saya punya komitmen, jika kampus membutuhkan saya untuk kembali berbagi, luring ataupun daring, saya pasti sediakan waktu dan tenaga saya. This alumni is always ready to give back.

Awalnya, saya sempat bingung ingin menyajikan materi apa ke para mahasiswa ini. Kemudian saya teringat kalau saya sedang belajar lagi dengan banyak explore materi Integrated Marketing Communications di sejumlah media daring, salah satunya dari Youtube. Dan salah satu akun yang saya jadikan acuan adalah: LAB\ID. Berikut salah satu contoh video IMC-nya:
Cara penyampaiannya yang jelas, banyak membantu saya dalam memahami IMC dengan lebih baik. Pun beberapa teori yang saya bawakan di kelas IMC Komunikasi FISIP UI, hierarchy effect theory misalnya, turut ditampilkan di video-videonya. Teori hierarchy effect yang ditemukan oleh Steiner & Lavidge di tahun 1961 menjadi salah satu teori yang menjadi dasar aktivitas Advertising, salah satu tools IMC, bersama dengan Means End Chain theory. Teori hierarchy effect menjelaskan tentang 6 tahapan yang dilalui oleh pelanggan dalam membuat keputusan pembelian.
Keenam tahapan tersebut adalah:
- Awareness (membuat konsumen aware akan produk, merek, dan layanan)
- Knowledge (membuat informasi tentang produk mudah untuk ditemukan)
- Liking (memastikan konsumen suka dengan produk anda, jika tidak suka, harus ditemukan alasan dan solusinya)
- Preference (membuat konsumen fokus hanya dengan produk kita)
- Conviction (menciptakan dorongan untuk melakukan pembelian)
- Purchase/prescribe (konsumen melakukan pembelian)
Dari keenam langkah tersebut, dipersingkat menjadi tiga langkah saja, yaitu:
- Cognitive (awareness-knowledge), konsumen memikirkan, paham akan produk dan merek, dan cukup mengingat.
- Affective (liking-preference), konsumen merasakan dan mendapatkan pengalaman dengan produk.
- Conative (conviction-purchase), konsumen memutuskan untuk membeli.
Namun apakah pola consumer journey ini harus linear, dari cognitive-affective-conative? Tidak. Tergantung pada tingkat keterlibatan konsumen terhadap pembelian, apakah nominal dan resiko dari pembelian ini tinggi atau tidak (high or low invovement), dan juga alasan pembelian ini, apakah masuk ke ranah feel, atau hanya di ranah logic saja?
Saya ambil dua contoh yang berseberangan; kategori high involvement-logic, yang punya value informative dan kategori low involvement-feel, yang punya value satisfaction (kepuasan).
Kategori pertama bisa mengambil contoh konsumen yang hendak membeli rumah. Tentunya butuh pertimbangan panjang, sangat hati-hati mengingat nomimalnya yang tidak kecil, dan resikonya yang besar. Pola consumer journey-nya cenderung linear: cognitive-affective-conative.
Cognitive: mempelajari semua hal; lokasi perumahan, reputasi pengembang, KPR dari bank apa, berapa persen rata-rata kenaikan bunga cicilan, berapa tahun masa cicilan, desain rumah, fasilitas perumahan, lingkungan sekitar, dan sebagainya.
Affective: rumah harus nyaman ditempati, tempat berkumpul dan bertumbuhnya keluarga, prioritas hidup, dan alasan menyangkut feel yang lainnya.
Conative: keputusan pembelian dibuat setelah pertimbangan yang sangat panjang.
Untuk aktivitas Advertising yang ditujukan untuk kategori high involvement-feel inipun dirancang dengan tujuan memberikan informasi sejelas dan sedetail mungkin, dan juga semenarik mungkin. Perlu ditambahkan juga testimonial penghuni perumahan akan nyamannya suasana hidup di lingkungan perumahan.

Bagaimana dengan consumer journey dari kategori low involvement-feel? Kita ambil contoh es krim, yang biasanya ditemui dekat check out counter (COC), kalau kita belanja di supermarket atau minimarket. Tipikal pembelian yang impulsif membuat pola jouney-nya menjadi conative/do-affective/feel-cognitive/learn.
Conative: konsumen mengambil es krim pilihannya dari dalam freezer saat menuju kasir, karena dorongan ingin membeli yang timbul seketika
Affective: membayangkan rasa enak, creamy, dan lembutnya tekstur es krim, yang seketika akan menceriakan harinya
Cognitive: setelah mengkonsumsi es krim, konsumen terpikir untuk memilih produk es krim yang lain, yang sama-sama menggoda
Sebagian tentang IMC dan case study di perusahaan es krim tempat saya bekerja, adalah isi dari materi yang saya bagikan hari itu, selama kurang lebih 125 menit. Yup, I’m that talkative when sharing something that I love and passionate about. Any good question? Oh yes, off course. Saya mengharapkan pertanyaan-pertanyaan cerdas dari para audience muda ini. Salah satu yang saya ingat adalah pertanyaan tentang fenomena es krim Vienetta yang sempat muncul beberapa tahun yang lalu, apakah ini pure virality ataukah by design?
Jawaban saya, tentu saja by design. But it so seamlessly designed so most of the audience didi not realize that its a campaign. Bermula dari tweeps (pengguna aplikasi Twitter) yang membagikan tagar #letsconfusekidsnowadays, dengan meme dan gambar dari masa lalu, yang tentunya aneh dan sangat asing untuk anak-anak centennials.
Misalnya: gambar kartu SIM telepon seluler yang masih sebesar kartu ATM, dan bisa langsung masuk seluruhnya, bukan bagian chip-nya saja seperti sekarang. Lalu apa lagi? Wartel, dengan foto-foto kios telepon dan meteran tempat anak-anak kost menghabiskan uangnya menelepon gebetannya di era 90-an, dan satu lagi: Warnet! Dengan layar billing dengan screen lumba-lumbanya yang khas. Apa lagi? Huruf N di bungkus permen karet Yosan? Hahaha… 😀
Setelah heboh ramai-ramai membagikan hal ‘jadoel’, muncullah salah satu tweeps yang membagikan foto es krim Viennetta, yang saat kemunculannya dulu dianggap sebagai ‘es krim sultan’ karena harganya yang tidak terjangkau oleh sebagian besar konsumen. Tentu saja mereka yang generasi X ke atas pasti tahu tentang es krim yang muncul di tahun 2000-an ini, dan seketika terpicu memorinya. Mereka yang saat itu tidak bisa beli karena masih sangat mahal, atau belum punya penghasilan. Anak-anak millennials atau centennials terpicu karena rasa ingin tahunya.
Dan demikianlah bergulir, menjadi global marketing communication execution Wall’s Unilever, saat David Beckham, pesebakbola legendaris membagikan foto Vienneta di feed Instagram-nya. And the rest is history, product shortage di mana-mana, es krim dengan emotional value yang re-emerging tersebut sempat dijual oleh reseller di marketplace dengan harga jauh diatas harge eceran, dan sebagainya. Conclusion: its by design.
Its a lively session, yang sayangnya alokasi waktu untuk tanya jawab di akhir sesi menjadi sangat singkat, karena saya yang keenakan berbagi cerita, dan memang menjelang waktu berbuka puasa. Well, semoga saya bisa memberikan manfaat di waktu ngabuburitnya, Bu Desi dan teman-teman semuanya!
Thank you for having me!
One Comment Add yours