Semenjak masa pandemi dinyatakan di awal bulan Maret 2019 (saya ingat masih sempat menghadiri Java Jazz Festival 2019, event terakhir sebelum PSBB), mungkin saya termasuk yang agak paranoid, takut tertular tentunya. Rajin menjaga kondisi badan, menjaga jarak, mulai membiasakan diri menggunakan masker. Mulai dari masker tipis yang ternyata tidak punya efek sama sekali, masker medis yang sempat langka karena ditumbun para spekulan, dan masker kain estetik tiga lapis yang tetap menjaga penampilan tetap keren.
Untuk vaksin Covid-19, saya tergolong penerima awal. Dua dosis suntikan vaksin Sinovac mendarat di badan saya di bulan Maret-April 2020 yang lalu. Membuat saya merasa semakin terlindungi akan virus ini.
Aturan PSBB, lalu menjadi PPKM, yang secara bertahap berkurang level pengetatannya, membuat mal dan pusat keramaian lainnya mulai dibuka secara terbatas untuk umum, tentu saja dengan pengawasan ketat. Kalau angka penderita mulai naik, level PPKM dinaikkan lagi. Dan sebaliknya, level turun setelah terpantau angka penderita menurun, demikian seterusnya. Salah satu hal yang membuat saya cukup senang adalah, kembali dibukanya fasilitas gym, pusat kebugaran, yang membuat saya bisa kembali menjaga kebugaran dan juga kesehatan tubuh saya.
Adanya membership fee senilai ratusan ribu per bulannya, yang buat saya merasa wajib untuk terus datang. “Sayang duitnya, kalau cuman bayar-bayar doang, tapi jarang datang latihan”, ujar saya selalu. Kalau bentuk badan lebih bagus, itu mah bonus. Endorphine rush, dan perasaan bahagia setelah lelah latihan, itu yang saya cari. Demikian juga dengan basket, hobby lama saya yang susah sekali untuk saya tinggalkan. Meskipun sudah jauh lebih lamba dan berat, tetap saja basket adalah momen dimana saya merasa sungguh hidup!
Basket hidup saya, motto kami penggemar basket di masa mudanya. Nggak takut tertular juga? Nah, kalau ini saya setengah berserah sebenarnya. Masing-masing dari member komunitas yang datang pasti datang dari circle yang berbeda-beda, kantor, lingkungan, keluarga, dan lain-lain. Dan kemungkinan bersinggungan di lapangan, dengan jarak antar muka sangat dekat pun sangat tinggi. Karena basket olah raga team yang sangat tinggi kemungkinan terjadinya body contact. “Kalau gak mau tabrak-tabrakan badan, ya main badminton saja”, kelakar saya dengan teman-teman dulu, saat ada yang mengeluh badannya sakit semua selepas bermain basket.
“Sering-sering tes antigen lah, kalau sering gabung main basket di komunitas-komunitas”, ujar salah satu rekan basket, yang hampir setiap malam selepas kerja masih aktif main basket di sana-sini. Sebut saja namanya, Mas Budi.

Nggak takut tertular kalau latihan di gym?
Well, saya juga gak bisa menjamin dengan adanya hand sanitizer di beberapa sudut gym, dan botol-botol desinfektan untuk disemprotkan sebelum dan setelah menggunakan alat-alat, dan sesekali mengenakan masker saat latihan bakal menjaga saya dari terjangkit. Namun, kebiasaan ini tetap berjalan selama fasilitas gym ini dibuka tutup, setidaknya di saya pribadi. Mengambil waktu di pagi hari saat masih belum banyak member berdatangan, terutama pagi hari di hari kerja. Seperti latihan di gym pribadi rasanya. Kalau datang latihan malam? Jangan tanya. Kebanyakan member yang pekerja kantoran kebanyakan hanya punya waktu luang selepas jam kerja.
Kalaupun datang latihan malam, saya cenderung latihan cardio saja di treadmil, atau sepeda statis saja. Kalau mau latihan beban, yang harus mau menunggu sampai jumlah member sedikit berkurang. Intinya, lihat-lihat situasi dan kondisi.

Semua ini saya lakukan untuk menjaga kebugaran tubuh saya. Karena saya sadar, kalau tubuh saya sehat dan bugar, saya bisa mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya dengan baik. Kesehatan itu berkat yang harus selalu dijaga, karena sangat mahal. Makan teratur, tidur cukup, mengurangi pikiran-pikiran negatif agar bukan hanya tubuh yang sehat, namun hati dan pikiran pun terjaga.
Sampai berita-berita tentang varian Covid-19 Omicron muncul ke permukaan. Varian yang sebenarnya tidak terlalu ganas (seperti halnya varian Delta), dengan gejala yang cukup ringan. Namun, dari beberapa sumber, vaksin yang saya sudah terima, Sinovac, punya efikasi yang cukup rendah saat terpapar dengan varian Omicron ini. Makin was-was jadinya.
Saya merasa sudah cukup berusaha menjaga kondisi, berusaha untuk taat protokol kesehatan, namun apalah daya, jika sudah waktunya, pasti kena juga. Dan akhirnya, saya terpapar juga.

Berawal dari badan yang mulai terasa kurang fit di hari Kamis sore (17/2), selepas istirahat yang kurang akibat begadang nonton tayangan langsung babak penyisihan Liga Champions antara Inter Milan vs Liverpool di dini harinya, yang dilanjut dengan meeting jangka panjang, mulai pukul 13.00 s/d 19.00 WIB di hari yang sama. Sepulang kantor, langsung merasa ada yang tidak beres, karena sudah lama tidak merasa demikian. Kecapekan yang berujung flu, meriang, dan teman-temannya.
Batuk yang saya alami sudah cukup lama, hampir dua bulan lamanya, ditambah pilek, hidung tersumbat di kedua lubang, badan menghangat hingga meriang, kaki terasa sangat dingin di malam hari. Gejala-gejala awal ini mulai sangat terasa di hari Jumat pagi (18/2), yang untungnya saya tidak perlu ke kantor, karena hari Jumat adalah jadwal WFH saya. Di tanggal 19 Februari (hari Sabtu), saya dan istri memutuskan untuk tes antigen, dengan hasil saya positif dan istri masih negatif. Padahal, hari itu saya berencana ke rumah sakit untuk mengobati baruk berkepanjangan (yang mudah-mudahan bukan TBC), dan influenza saya. Karena hasil tes positif, rencana ke rumah sakit pun gagal, kami kembali pulang ke rumah.
Nah, yang membuat pelik adalah selain saya, di rumah masih ada istri, dan kedua mertua yang sudah lanjut usia di rumah. Otomatis, kalau saya terjangkit Omicron, antara saya yang harus menyingkir sementara untuk isolasi mandiri, atau kedua orang tua saya ini yang harus diungsikan. Ternyata opsi kedua yang diambil, kedua orang tua saya diungsikan sementara ke Bogor, ke kediaman saudara ipar. Istri saya? Well, karena sehari-hari dekat dengan saya, dia memilih untuk juga isolasi mandiri, di kamar yang terpisah untuk sementara waktu.

Di tanggal 23 Februari (hari Rabu), di hari isoman saya yang ke-4, kami memutuskan untuk tes antigen sekali lagi, karena istri sudah merasakan gejala yang sama. Pusing, meriang, pilek, batuk, dan tenggorokan sakit. Alhasil, kami berdua positif Covid 19. Isoman saya dimulai tanggal 20 Februari, dan istri dimulai tanggal 24 Februari. Jika mengambil 10 hari waktu isoman, maka jika semuanya lancar, isoman saya akan selesai 2 Maret. Namun, sebelum saya masuk kantor kembali, saya harus pastikan hasil tes antigen kami sama-sama negatif dulu.
Obat-obatan? Nah, ada hal yang cukup krusial untuk yang hasil antigennya positif, kepada petugas tes antigen/PCR, minta untuk di-connect-kan hasil tes antigennya dengan aplikasi Peduli Lindungi. Seketika, warna banner halaman utama di aplikasi Peduli Lindungi (PL) saya yang semulka hijau menjadi hitam, dengan keterangan positif Covid 19, artinya saya harus diam di rumah dan tidak kemana-mana, untuk mengurangi resiko penyebaran. Karena akun PL saya sudah terhubung ke data base Kemenkes RI, keesokan harinya saya menerima pesan WhatsApp dari Kemenkes, tentang apa-apa saja yang harus saya lakukan selama isoman dan bagaimana proses mendapatkan obat-obatannya.
Pengarahannya sangat jelas, dimulai dengan konsultasi secara virtual dengan dokter dari aplikasi e-medicine (saya pilih Halodoc), mengisi beberapa format berbasis Google Forms, untuk mendapatkan obat-obatan Covid-19 yang semuanya bisa didapatkan secara GRATIS dengan kode e-voucher: ISOMAN. Prosesnya sangat mudah, dan di keesokan harinya, obat-obatan saya sampai di rumah, dihantarkan ke rumah, diambil dari Apotek Kimia Farma terdekat.


Ada tiga macam obat; Parasetamol, Favipiravir, dan mutivitamin. Khusus untuk obat Covid, Favipiravir, di hari pertama harus diminum langsung 8 tablet sekaligus, 2 kali sehari (sisanya diminum 3 tablet sehari-2 kali sehari sampai habis). Untuk Parasetamol, meskipun saya sudah tidak demam di hari kedua isoman, tetap saya habiskan, diminum 3 kali dalam sehari. Vitamin saya konsumsi 1 kali dalam sehari.
Dan entah mengapa, saya merasa spirit saya tetap tinggi di saat saya dinyatakan positif Covid 19 ini, demikian juga dengan kadar oksigen dalam darah, yang selalu ada diatas angka 94 setiap saya cek dengan Oximeter. Mungkin, meskipun efikasi tergolong rendah saat terpapar Omicron, imun saya sudah tercetak sempuna, karena jarak antara saya selesai vaksinasi kedua hingga terjangkit cukup panjang, sudah 10 bulan. Dan tentunya, perlindungan Tuhan, dan dukungan teman-teman dan lingkungan sekitar.
Lingkungan sekitar tempat tinggal saya sangat suportif, aktif menjaga dan merawat warga yang terkena Covid 19. Menawarkan membelikan belanjaan (sayur, buah, bahan makanan lainnya-apapun), dan juga mengirimkan makanan. Warga lingkungan yang baik ini menamakan dirinya Laskar Isoman. Saya namakan mereka malaikat. Bapak-ibu yang tanpa pamrih bekerja di ladang Tuhan ini pantas dapat rekognisi dan apresiasi setinggi langit.


Hari ini, tanggal 28 Februari 2022, di hari isoman saya yang ke-9, kami berdua mendapatkan indulgensi berupa kiriman lauk dan sayur, yang cukup dimakan berdua, makan siang dan malam, dan bahkan cukup untuk keesokan harinya. Bubur Ayam dengan insertion jahe, sayur bening, tahu-tempe-ayam goreng, telor balado, dan 3 buah jeruk. Terharu saya!
Hal-hal seperti ini yang terus bisa mengangkat semangat kami menuju full recovery. Semoga dilancarkan, dan kami berdua segera lepas dari Covid 19 ini, dan bisa menjalani hidup secara normal kembali. Amin.