Seperti halnya homecoming trip sebelum-sebelumnya, kami tidak pernah punya rencana khusus, harus ke tempat ini, itu, dan lain-lainnya. Semuanya tergantung ‘mekanisme pasar’ saja, alias terserah keluarga di Malang mau jalan-jalan kemana. Atau jika ada inspirasi tempat wisata atau kuliner lewat Instagram apa saja yang bisa dikunjungi. Intinya, kemanapun menuju sekeluarga pasti menyambut setuju.
“Asal bisa jalan-jalan sama pakdhe, kemana aja kita-kita ngikut aja wis”, demikian ujar Adelia, salah satu keponakan saya, suatu ketika.
Hari pertama di Malang, kedua keponakan saya, Dirta dan Adelia masih harus sekolah offline. Jadinya, jalan-jalan acak kami dimulai setelah menjemput mereka pulang dari sekolah. Tujuan kami, karena hari sudah menjelang siang adalah; tempat kuliner. Kami memilih lokasi wisata kuliner yang masih tergolong baru, Kopi Pemain Lama nama tempatnya, sebagai spot makan siang kami.
Referensi saya dapat dari kakak angkatan saya semasa kuliah, yang gemar menjelajahi tempat wisata dan kuliner bersama keluarganya, Mbak Pipin Maharani.

Ambiance dan suasana warung kopi yang mengangkat bangunan joglo khas Jawa, dengan pernak-pernik djadoel (djaman dahoeloe) ini sangat familiar untuk kami. Karena di edisi MalangTrip sebelumnya, kami bersama-sama mencoba Warung Kopi Sontoloyo cabang Merjosari, yang cukup dekat dengan rumah saya. Bedanya, Kopi Pemain Lama ini terletak di lokasi yang lebih tinggi, dengan udara yang lebih sejuk dan pemandangan yang lebih cantik. Selain bisa menikmati makanan dan minuman khas di bangunan joglo utama, kita pun bisa menggunakan saung-saung di sebelah kanan dan kiri, dan juga tampat-tempat duduk outdoor di bagian depan dan samping.

Details are everything. Saya suka bagaimana pemilik-pengelola warung menempatkan bekas gerobak sapi, lengkap dengan kelontongan sapi di bagian depan, dan pernak pernik lama di sudut-sudut warung. Warung ini terletak di tengah kebun jeruk, dimana di sisi kanan dan belakang area warung, menghampar luas kebun jeruk dengan beberapa buahnya menggantung menunggu dipetik.

Tipikal makanan dan minumannya pun khas, menawarkan menu-menu klasik, masakan khas Jawa, dengan pilihan minuman djadoel, antara lain; Es Carica, Es Sarsaparila, Es Coffee Beer, dan masih banyak lagi. Demikian juga dengan pilihan makanan khas; Sego Paru, Sego Koyor, Nasi Goreng Jowo, Rawon Blonceng, dan Sego Cumi Pete. Semua makan dan minuman di lokasi ini halal, dan enak! Silahkan cek akun Instagram mereka: @kopi_pemainlama untuk sekedar kepo, reservasi, dan lain-lain.

Dan sepertinya, ibu saya menemukan Kopi Pemain Lama sebagai lokasi makan favoritnya. Dan juga minuman favoritnya, Es Sarsaparila. Mengingatkan jaman-jaman masa kecil, kata beliau. Selepas kunjungan pertama ini, terhitung beliau sudah dua kali mengunjungi tempat ini, mengajak anak-anak serta cucu-cucunya. Cocok sepertinya!


Hari kedua, saya berencana membawa mereka jalan-jalan agak jauh, membawa keponakan-keponakan saya melintasi jalan tol Malang-Surabaya, lanjut Jembatan Suramadu. Yes, saya berencana makan siang dengan menu Bebek Goreng Sinjay, yang kelezatan dan level pedas sambal mangga mudanya sudah kesohor kemana-mana.
Namun, sebelum kami beranjak ke Pulau Madura, kami sempatkan mampir sejenak ke Museum Singhasari, ikon wisata sejarah di Kota Singosari, salah satu pintu gerbang menuju Kota Malang. Alasannya, kami ingin melihat keseharian adik saya, yang kini menjabat sebagai Kepala Museum Singhasari ini. Demikian juga dengan keponakan-keponakan saya, Adelia dan Giovanni yang tentu senang sekali bertemu dengan ayahnya di sela-sela kesibukan kerjanya.


Bangunan museum ini terletak di dalam area perumahan, menjadikannya agak menjorok ke dalam dari jalan raya Malang-Pandaan. Bangunan tidak terlalu besar, dengan benda-benda bersejarah, artifak-artifak peninggalan Kerajaan Tumapel, Kerajaan Singhasari, dan dari masa-masa sebelum dan setelahnya. Banyaknya ruang kosong, salah satunya tembok-tembok di sisi kanan museum dipergunakan dengan apik untuk menampilkan infografis, tentunya masih terkait dengan sejarah kerajaan.

Tentunya banyak ide-ide yang bermunculan di benak saya, yang salah satunya bertujuan membuat museum inklusif ke berbagai kalangan. Tidak berkesan spooky atau seram, namun friendly dan terbuka. Kesan inklusif pasti membuat anak-anak muda mau datang ke tempat ini, bukan saja untuk belajar sejarah, namun juga melakukan hal-hal yang dekat dengan mereka. Berbagi konten di media sosial, misalnya.

Saya berimajinasi, kalau di salah satu bagian di museum ini bisa digunakan untuk media video mapping, menampilkan potongan-potongan sejarah film bertema sejarah, dokumenter yang dikemas apik, yang menjadi salah satu interest dari museum.
Bukan saja melihat benda-benda bersejarah saja, namun mengundang minat untuk menggali informasi tentang benda-benda dan cerita-cerita, lewat mobile apps khusus, dengan scan QR codes untuk masuk ke landing page keterangan tiap artefak, yang terhubung ke social media, untuk menambah exposure museum sendiri dari sisi user generated content (UGC), atau konten digital yang dibuat oleh user, yang diwadahi pengelola.
Satu lagi. Mungkin akan lebih ‘cool’ kalau salah satu bangunan museum ini bisa juga dipergunakan untuk warung kopi kekinian, menyediakan space untuk berkreasi-produktif, dan tempat berkumpulnya anak-anak muda, as a melting pot. Tentu saja dengan tetap mengindahkan tata krama, sopan santun, dan respek terhadap hal-hal bersejarah dan bernilai luhur di tempat ini.
Semoga bisa semakin lengkap koleksinya, dan semakin interaktif sebagai sebuah wahana belajar.

Now, off to Madura Island!

Saat melewati jembatan penghubung antar Pulau Jawa dan Pulau Madura, kami disambut dengan hujan yang cukup deras, membuat pemandangan di kiri dan kanan tidak terlihat terlalu jelas. Ini adalah kali kedua saya melintasi jembatan ini, setelah pengalaman pertama saya bertahun-tahun yang lalu, di circa tahun 2010. Jembatan Suramadu ini dibuka di tahun 2009 oleh Presiden SBY, dan dinyatakan tidak berbayar, bisa dilalui gratis oleh Presiden Jokowi, di tahun 2018.
Makan di tempat aslinya sungguh memberikan kenikmatan tersendiri, terlebih karena perjalanan kami dari Malang hingga Bangkalan, Madura yang cukup menyita waktu. Alamat lengkap Bebek ada di: Jl. Raya Ketengan No.45, Junok, Tunjung, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur 69121. Cukup mudah menemukan lokasinya, cukup ketik di kolom search Google Maps. Buat saya, wajib mampir sih, kalau ke Pulau Madura.
Bayangkan, nasi putih hangat melimpah (anda bisa pesan nasinya 1/2 porsi jika daya tampung perut terbatas-agar tidak membuang-buang nasi), potongan besar daging bebek goreng berlemak (1 ekor bebek ukuran sedang dipotong menjadi 4 bagian) plus 2 potong ampela bebek, lalapan mentimun-daun kemangi, dan best part: sambal mangga muda (pencit), yang terlihat biasa-biasa saja, namun seketika menyengat begitu menyentuh lidah. Pedas membuat berselera! A culinary legend for sure!
Kira-kita penampakannya seperti ini:

Ini adalah salah satu bebek goreng terbaik yang pernah saya makan. Fix!
Di samping Bebek Goreng, RM Sinjay juga menyediakan makanan khas Madura lainnya; Rujak Cingur, Rujak Petis Madura, Soto Kikil, Soto Babat, Sop Buntut, dan aneka masakan seafood. Saya pun menemukan kopi ala-ala kekinian di bagian depan rumah makan, yang dijual mulai Rp10.000,- saja.

Demikian cerita di hari pertama dan kedua kami di Kota Malang (dan Pulau Madura). Tulisan singkat selanjutnya akan berkisah tentang hari ketiga di kampung halaman, sebelum kami beranjak kembali ke Bekasi, lewat Bogor, untuk merayakan Natal. Agak sedikit aneh memang, pulang ke kampung halaman di masa Natal, namun malah merayakan Hari Natalnya di kampung orang.
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menyimak cerita perjalanan ini.
2 Comments Add yours