Hari terakhir di Ambarawa, hari Minggu, 19 Desember 2021.
Kami sempatkan pagi-pagi hari untuk berkeliling kota sejenak, mampir ke Pasar Warung Lanang Ambarawa, yang letaknya tepat di seberang Museum Kereta Api, dan Pasar Projo Ambarawa, tentunya. Mampir kembali ke Bubur Koyor yang sehari sebelumnya kami sempat kunjungi. Pasar Projo, dan mungkin pasar-pasar tradisional lainnya jadi salah satu tempat yang memberikan kesenangan tersendiri buat saya.
Saya bisa melihat interaksi canda tawa antar sesama penjual, dan para penjual yang dengan semangat menawarkan barang dagangannya ke setiap pengunjung yang lewat dan beradu pandang. Di dalam pasar tradisional, pasti ada warung makan sederhana yang menyajikan masakan, masih serba hangat mengepul di pagi hari. Tempat para penjual dan pengunjung pasar mengisi tenaga sebelum menjalani hari yang panjang.
Dan warung kopi! Yang menyajikan aneka jajanan pasar dan kopi hitam, dari bubuk kopi yang dicampur dengan tumbukan jagung sangrai, membuat ‘lethek’ yang mengapung di atas kopi punya ‘tekstur’ tertentu. Selain kopi hitam tradisional ‘bertekstur’ tadi, masih ada pilihan kopi sachet, kalau ingin kopi lainnya.
Kopi punya tekstur? Coba saja sendiri.

Meskipun tidak berada di kawasan pantai utara, namun masakan dari ikan asap mudah ditemukan disini, demikian juga dengan bahan-bahan mentahnya. Ikan manyung, ikan pari, dan sejenisnya. Ibu saya sempatkan membeli beberapa kepala ikan manyung, untuk dimasak dengan bumbu mangut sesampainya di Kota Malang nanti.
Bersama dengan adik perempuan saya, beliau memilih milah mana kepala ikan manyung yang bagus dan tidak. Sembari mereka memilih bahan makanan, saya sempatkan masuk ke dalam pasar untuk mencari kedai makan atau kedai kopi yang saya ceritakan di atas. Dan ketemu (maaf, tidak sempat saya foto).

Hmm… Saya sudah membayangkan kuah mangut yang pedas bersantan, dengan warna kuning sedikit oranye, dengan kepala ikan manyung yang mengeluarkan aroma khas!
Pulang ke Malang juga akhirnya.
Langsung ke Malang? Tidak. Dari Kota Semarang, selepas mampir ke rumah kerabat, kami mampir ke Kota Solo sejenak, ingin memanjakan lidah dan perut kami dengan hidangan khasnya, Babi Kuah! Kuliner berbasis daging bagian kepala, daging, dan jerohan babi yang dimasak manis dengan kecap ini pernah kami coba sebelumnya, saat kami mampir di homecoming trip sebelumnya. Membuat kami ingin mencobanya lagi, terlebih karena harganya yang fantastis! Murah pakai meriah, hanya Rp12.000,- hingga Rp15.000,- per porsi.
Perjalanan pulang kami dari Ambarawa via Semarang tidak hanya berdua, namun bertambah dengan kedua keponakan saya, Derryl dan Dirta, yang ingin leluasa mengabadikan pemandangan sepanjang jalan Tol Bawen sampai Tol Singosari. “Kalau naik Hi-Ace gak leluasa foto-foto truk sama bus, pakdhe”, ujar salah satu dari mereka, alasan mereka memisahkan diri dari rombongan Hi-Ace, dan memilih bareng saya dan istri di Toyota Veloz.

Sampai di Kota Solo pukul 14.45 WIB, kami langsung mengarahkan diri via Google Maps ke tujuan utama: Babi Kuah Pak Djum. Namun sayang sekali, lagi-lagi kami tidak menjumpai warung babi kuahnya buka. Lagi-lagi kecewa, berlum berjodoh sepertinya. Hahahahaha! Bahkan di hari itu, kami tidak menemukan warung babi kuah buka, setelah cek ke beberapa lokasi.
Sebagai gantinya, kami menemukan sebuah warung bakso dengan tulisan yang sangat menarik: Niki Bakso Babi Pak Gondrong. Seketika itu juga kami memutuskan untuk berhenti, mampir untuk ngiras (makan di tempat). “Baksone tasih wonten, mas?”, tanya saya. “Tasih, mas. Mung kosongan kemawon, mboten nopo-nopo?”, balasnya. Saya bertanya apakah baksonya masih ada, dan si penjual menjawab kalau baksonya masih tersedia, namun sudah kosongan, isian semacam mie, sohun/bihun, jerohan rebus sudah pada habis. “Mboten nopo-nopo, mas”, balas saya.
Harga per porsi sama dengan Babi Kuah, Rp15.000,- saja, dan porsinya cukup banyak, bakso babi dan gorengan kulit pangsit.
Yang juga menarik, mereka menyediakan ‘grabyas’, atau gorengan kering lemak dan jerohan babi, yang dijual hanya Rp5.000,- per bungkus. Juga aneka jerohan babi (jantung, usus, limpa, hati, dll), dipotong besar-besar dimasak kecap, yang per bungkusnya pun dijual hanya Rp5.000,- saja. Murah bener, batin saya. “Niki nglawuhi lho, mas. Njenengan ‘ngkin angeti, oseng pakai kecap, bawang, lombok, sekeca!”, demikian tips dari masnya.



Wangi kaldu babi langsung tercium saat mas penjualnya membuka tutup dandang tempat semua kelezatan tersebut tersimpan. Lumayan juga, hasrat ingin makan babi kuah tergantikan oleh bakso babi dan grabyas-lemak dan jerohan babi goreng kering yang renyah, seketika membuat saya merasa ‘bersalah’. Above all, this pork meatball stall is very recommended!
Sementara kami masih asyik makan bakso babi dan berkeliling Kota Solo, kendaraan Toyota Hi-Ace dari Markipic Trans Malang sudah melaju kencang, langsung menuju Kota Malang.

Setelah beberapa kali berhenti di rest area untuk toilet break dan isi BBM, kami sampai di Kota Malang via GT Singosari, setelah sebelumnya masuk GT Kartasura, pukul 15.57 WIB.
Hello, Malang!
Disambut angin sejuk dan hujan rintik-rintik, hawa kampung halaman ini seketika mengingatkan saya saat masih awal-awal bekerja sebagai salesman surat kabar, circa tahun 2001-2002. Hujan tidak pernah menyurutkan niat saya untuk menuju suatu tempat, tidak pernah meneduh. Dengan jas hujan ponco warna merah, yang selalu tersimpan di bawah jok motor Honda Supra B 5321 CY, hujan seperti apa juga saya libas.
Dan tentunya saat itu pasti punya tempat makan langganan, di kaki lima atau emperan, yang saya tahu persis rasanya enak, dan pasti murah meriah. Cocok dengan kantong saya saat itu dan teman-teman sejawat, rekan-rekan KOMPAS Sirkulasi Daerah Malang. Bless them wherever they are.

Salah satunya adalah Soto Daging Lamongan Pak Said, langganan saya sejak tahun 2002. Salah satu rekan saya mengenalkan rasa soto daging ini ke saya, dengan kuahnya yang bening namun percayalah, itu ‘ngaldu’ banget. Dengan potongan daging sapi yang tidak pelit, dan jangan lupakan ekstra daging dan jerohan sapi yang sudah dibumbui dahulu, untuk dipotong-potong sebagai ekstra lauk di mangkuk soto anda. Tinggal tambahkan kecap manis, jeruk nipis, dan sambal. Ini beneran enak!

Saat ini, mungkin Pak Said sudah pensiun dari aktivitas menuang kuah dan memotong daging di kedai soto yang buka malam hari di daerah Blimbing ini. Kini, putra-putranya yang mengelola kedai soto kakilima tersebut. Cita rasa pun tetap dipertahankan, sama sekali tidak berubah.
Jeruk hangat, seperti biasa jadi teman istimewa makan soto daging malam itu, sepulang kami berempat sampai di Kota Malang, setelah menempuh perjalanan panjang dari Ambarawa, Semarang, dan Solo.

Ingin tahu cerita kami di Kota Malang, simak di unggahan berikutnya ya!
One Comment Add yours