Self-defense mechanism.
Saya percaya bahwa kita harus punya ini, dalam skala besar untuk tetap waras dalam menghadapi himpitan dan tekanan di masa pandemi ini. Call myself lucky, then. Saya (dan istri) bersyukur, masih punya pekerjaan yang bisa menyokong biaya hidup sehari-hari saya bersama keluarga, dan keperluan lainnya. Saya masih dibekali tubuh yang (puji Tuhan) masih sehat, dan berniat untuk menjaganya dalam jangka panjang, terlebih setelah memasuki gerbang usia 40 tahun. Lebih peduli, setelah sembrono dengan aset yang dipinjami oleh yang punya hidup, di usia 20an dan 30an.
Terkait pandemi, saya beruntung termasuk orang pertama di perusahaan tempat saya bekerja yang mendapatkan dosis lengkap vaksin Covid-19, dari tempat saya bekerja paruh waktu sebagai seorang pengajar. Sehingga, saat rekan-rekan karyawan lain masih bertanya-tanya kapan akan mendapatkan vaksin ini, bahkan mungkin bertanya-tanya apakah perusahaan perlu mengambil kebijakan untuk melakukan vaksin mandiri, saya sudah bisa melenggang bebas. Yes, I’m considerably lucky.

Meskipun sudah mendapatkan double injection vaksin Sinovac di bulan akhir Maret dan awal April 2021 yang lalu tidak membuat saya takabur. Merasa jumawa, punya benteng yang kuat menahan segala macam gempuran virus dan penyakit dari luar tubuh. Tidak, justru saya lebih menjaga diri. Karena dengan melindungi diri dengan masker ganda, hand sanitizer, masih rajin berolah raga sendiri, menjaga pikiran dan mental tetap sehat, menjaga jarak dengan orang lain, dan dengan taat protokol kesehatan lainnya, saya turut melindungi orang-orang yang saya kasihi.
Mari kita kembali ke bahasan kita, self-defense mechanism.
Biasanya, seseorang harus terluka dulu. Merasakan sakit yang luar biasa, merasakan penyesalan yang begitu dalamnya hingga memicu keinginan untuk melindungi diri sendiri ke depannya. Agar tidak merasakan sakit lagi, atau fully aware and prepared towards their next adventure. Keinginan ini bisa tumbuh dari rasa self love, perasaan cinta dan menghargai diri sendiri.
Kita ambil contoh seorang anak muda yang baru pertama kali merasakan patah hati, ditinggal orang yang sangat dikasihinya demi orang lain, misalnya. Pernah mengalami dan merasakan patah hati dan sakit yang begitu dalam akan membuatnya sangat berhati-hati jika hendak menjalin hubungan kembali. Jika ia sudah berhasil move on, ia akan merasakan dirinya sangat berbeda dengan dirinya yang dulu, dirinya versi sebelum patah hati.
Ia merasakan dirinya lebih hati-hati. Tidak mau merasakan sakit lagi. Dan jikalau ia sudah berani untuk menjalin hubungan kembali, ia sudah 100% sadar bahwa selalu ada kemungkinan untuk terluka kembali. But he think that it might worth the risk by committing a new relationship with a different person. Disini pun, ia merasakan dirinya sudah jauh lebih peduli akan dirinya, lebih menyayangi dirinya.
Pain changes people.
Rasa hati-hati ini saya anggap sebagai salah satu self defense mechanism. Pada saat patah hati dulu, anak muda tersebut belum sadar bahwa sebelum menyayangi orang lain, ia harus terlebih dulu sayang dengan dirinya sendiri. Karena jika terjadi sesuatu, tidak ada orang yang bisa menolongnya selain dirinya sendiri. Jaring penyelamatnya adalah dirinya sendiri.
Setelah beranjak dewasa, mekanisme pertahanan diri akan lebih berperan untuk menjaga kesehatan mentalnya. Saya pun merasakan hal ini, percuma kalau fisik saja yang sehat, jika mental atau pikiran kita tidak sehat. Saya mengibaratkan seperti punya filter berlapis di telinga, suara mana yang layak didengarkan dan mana yang tidak. Suara mana yang perlu dipikirkan, diolah oleh otak kita dan mana yang dikeluarkan kembali lewat lubang telinga kiri, setelah masuk dari lubang sebelah kanan. Yang terakhir, suara mana yang perlu dimasukkan ke hati, diolah dengan rasa.
Andai saya bisa mencabut semua pikiran buruk, bahan overthinking dari benak saya, dan membuangnya ke tempat lain. Seperti halnya Profesor Dumbledore yang menarik pikiran buruk dari benaknya, dan memaindahkannya dalam ‘pensieve’, di salah satu adegan Harry Potter and Goblet of Fire berikut:
Tentu saja, kita tidak bisa mengontrol apa yang orang lain katakan kepada kita. Yang bisa kita lakukan hanya menyaring suara mana yang layak kita dengarkan dan mana yang tidak, dari siapapun. Bahkan suara yang datang dari orang terdekat kita sekalipun. Yang kita anggap paling dekat, yang kita anggap tidak akan pernah melontarkan suara yang menyakitkan. Namun faktanya, seseorang yang paling bisa menyakiti kita malah orang yang kita anggap paling dekat.
Bagaimana kalau kita mengijinkan semua suara masuk tanpa disaring hingga sampai diolah dengan rasa? Hancur lebur pastinya.
Self love kini pun dapat tantangannya sendiri, terlebih di masa pandemi ini. Kita menjadi orang yang kuat, atau berpura-pura agar terlihat kuat. Dari ratusan juta penduduk Indonesia, mungkin hanya sekian persen saja yang bisa merasakan mewahnya WFH, sementara yang lain tidak punya pilihan selain keluar rumah dan bertemu dengan banyak orang untuk menjemput rejeki. Hanya segelintir yang merasakan punya akses internet tak terbatas, yang sangat menunjang semua pekerjaan dan kegiatannya dari rumah, dengan peralatan elektronik terbaik.
Jadi, sudahkan cintai diri sendiri lebih, dan temukan kedamaian dari dalam diri anda di masa sulit pandemi ini?

Catatan:
Saya menulis blog ini di tanggal 7 Agustus 2021, setelah menerima kabar adik kedua saya dan putra sulungnya positif Covid-19 di Kota Malang, pukul 18.58 WIB. Mohon doanya, agar penyakit mereka bisa segera terangkat, sehingga keduanya bisa merasakan kembali kesembuhan, dan anggota keluarga lainnya tidak ikut terjangkit.
Semoga Tuhan senantiasa melindungi dan memberkati kita semua.