“Mundur to, Yooog..”, teriak pria tambun dengan polo shirt dengan kancing terbuka dan celana pendek, plus sepatu lari Nike dengan peluit tergantung di leher dari pinggir lapangan kepada saya, sesaat setelah serangan yang dirancang gagal menambah poin. Yup, teriakan itu ditujukan ke saya, yang lelah setelah berlari kencang membantu serangan fast break, memilih untuk berjalan kaki ke daerah pertahanan dalam sebuah pick up game, di sebuah latihan rutin basket di klub basket Bima Sakti Malang. Klub legendaris yang kini hanya tersisa team juniornya saja.
Mungkin karena saya tidak cepat-cepat mundur, rekan-rekan saya yang harus cepat membuat transisi dari menyerang ke bertahan akan kalah orang, menyebabkan team lawan bisa mencetak angka dengan mudah.
‘Mbecak’, istilah dari rekan-rekan saya, untuk pemain basket yang mundur dengan jalan kaki, tidak berlari agar sesegera mungkin sampai ke daerah pertahanan . Karena alasan kelelahan atau apapun.
“Maaati, bukannya lihat temannya dulu gerak masuk ke dalam atau nggak, terima bola langsung turn around shot, gimana yaaaa?”, kata-kata lain dari pelatih untuk saya saat itu, saat saya sedang senang-senangnya bermain di posisi power forward, penyerang bertubuh besar, cenderung versatile–flexible, bisa melakukan shoot, drive ke dalam key area, atau bermain post-up seperti layaknya pemain center.
Memori itu sangat lekat di kepala saya, meskipun kilatan-kilatan memori itu datang dari kisaran tahun 1997-2000. Masih jelas di ingatan saya. Tahun 2000 adalah saat-saat saya terakhir bergabung dalam klub basket Bima Sakti, sebelum saya pamit dan memutuskan untuk hanya main basket di kampus (hingga tahun 2001), fokus menyelesaikan kuliah, dan mengambil kerja part time sebagai salesman surat kabar. Saya memutuskan berhenti dari klub di level Senior B, satu level dibawah pemain Kobatama (Kompetisi Bola Basket Utama), yang sekarang dikenal dengan nama IBL (Indonesian Basketball League), karena sudah merasa tidak mampu berkompetisi di kasta tertinggi basket Indonesia, merasa punya tinggi badan, dan kemampuan yang pas-pasan. Tinggi saya hanya 175cm, tidak terlalu cepat, dan saya bermain di posisi power forward, yang biasanya dihuni oleh pemain -pemain dengan tinggi minimal 185cm keatas.

Saya tidak terlalu ingat apakah saya pernah berpamitan secara proper dengan pelatih yang paling lama melatih saya, Koh Hok Sui, atau dikenal juga dengan nama Eddy Santoso. Yang berpulang hari ini, 23 Mei 2021.
Saya menerima kabar kalau beliau sakit pertama kali dari rekan saya, jagoan basket (ini beneran, beliau sungguh jago, pernah merasakan skill kelas dewanya saat team saya berlaga lawan Basudewo, klub basket asal Kota Blitar di masa junior saya), Denny Sartika a.k.a Iteng, pemilik nomor punggung 10, point guard legendaris Bima Sakti Malang.
“Yo’opo kabare Koh Hok Sui, Teng?”, tanya saya menanyakan kabar pelatih saya ini. “Masih dirawat di ICU, Tang”, balasnya lewat DM Instagram. “Diurusi A Kiat”, lanjutnya. By the way, saya lebih dikenal dengan nama julukan Kentang di masa muda saya, entah kenapa. Mungkin karena bentuk kepala saya yang tidak rata, menonjol sana sini saat saya berpotongan botak licin, mirip kentang. Dan A Kiat atau Oei A Kiat, adalah eks shooting guard Bima Sakti Malang, shooter spesialis tiga angka dengan gaya tembak unik namun sangat efektif. Beliau sempat menjadi pelatih Bima Sakti Malang saat masih berlaga di IBL, entah season berapa.
Obrolan singkat saya di tanggal 11 Mei 2021 itu hanya terhenti di situ saja, saya tidak melanjutkan lagi pertanyaan saya. Hanya saja, setiap hari selalu teringat kalau pelatih basket saya sedang dirawat di Rumah Sakit Persada Malang. Dan berdoa, berharap mudah-mudahan beliau diberikan pepulih. Hingga pagi ini, saya melihat berita tentang berpulangnya beliau, yang saya unggah di IG Stories pribadi saya.
Pria murah senyum yang dulu bertubuh tambun itu, seiring berjalannya waktu terlihat berubah. Terlihat lebih kurus. Saya sempat bertemu dengan beliau di sela-sela laga NBL (sebelum berubah nama menjadi IBL), di Hall Basket Senayan Jakarta. Setelah laga yang ia pimpin selesai, saya bergegas meninggalkan tempat duduk saya, dan berusaha mendekat di jalur yang dilewati para pemain dan para official. “Koh Hok Sui!”, panggil saya dari jarak agak jauh.
“Eh, Yoga ya?”, balasnya. “Gimana kabarmu?”, balasnya ramah. Sangat ramah. Kami pun berbincang sebentar, karena saya tahu beliau sedang tergesa, harus bergegas ke ruang ganti pemain untuk team talk dan sebagainya. “Sudah ya, saya jalan dulu. Sukses ya, Yoga!”, ujarnya yang saya balas dengan senyuman dan ibu jari terangkat. Itu terakhir kali saya bertemu dengan beliau, menjabat tangan dan berbincang sejenak. Sekitar tahun 2007 kalau tidak salah.
“Yog, kamu masuk. Gantiin Stevanus, bantu rebound. Main yang bagus ya!”, salah satu team talk dari beliau yang saya ingat, di sebuah pertandingan. Saya masuk sebagai pemain pengganti, menggantikan rekan saya yang bermain di posisi yang sama. “Ok, Koh. Thank you!”, ujar saya berterima kasih, karena sudah dipercaya untuk bermain, masuk ke lapangan.
Hubungan pelatih pemain, saya rasakan seperti halnya guru dan murid. Tidak ada mantan guru, hanya guru sepanjang jalan. Sampai kapanpun, bahkan hingga saat di murid bisa mengalahkan gurunya, dengan terus belajar mengikuti perkembangan jaman, ia tetap seorang guru. Guru mengajarkan si murid kemampuan A-C, dan kemudian si murid mampu mengembangkan ilmu yang diajarkan tersebut hingga punya kemampuan A-F. Namun, tanpa ilmu A-B-C yang diajarkan sang guru, saat si murid masih anak muda yang polos tidak tahu banyak, dan nir pengalaman, D-F tidak akan ada. Respect your teacher whatsoever.
And I’m proud to say, that Koh Hok Sui, is one of my finest teacher. He taught me a lot, not just basketball, but also about life. How to handle ourselves in such condition. Good or bad, and stay positive no matter what.
Selamat jalan, orang baik. Anda akan selalu ada di ingatan kami.
Matur nuwun.