Saat masih menginjak usia 20 tahunan, saya sering bertanya ke diri saya. Saat diri saya ini sudah menginjak usia 40 tahunan, kira-kira rupa saya bagaimana? Sudah membuat pencapaian apa, atau sudah bekerja dimana dan menduduki posisi penting apa? Sudah punya pasangan hidup atau belum, sudah punya anak berapa kira-kira, dan bagaiman rupa anak-anak saya ya? 😉

Di usia 20 tahunan tentunya saya masih duduk di semester 3 kuliah S1, masih jomblo seingat saya. Masih cupu, alias belum banyak tahu tentang banyak hal. Saat kuliah S1, saya jarang sekali mencari informasi tambahan terkait mata kuliah-mata kuliah yang saya tempuh, di semester demi semester. Saya pun tidak pernah melatih kemampuan dalam berbicara di muka umum, menganalisa suatu permasalahan, hingga bagaimana proses creative thinking and ideation. Later did I know, it’s a must have items during my adult.
Ah, tahu gitu kan sudah ambil ancang-ancang kursus public speaking, content writing, atau creative thinking! 🙂
Di kala itu, informasi selain dari dosen di kelas, hanya ada di perpustakaan, dari literatur, skripsi kakak tingkat, dan dari dosen atau hasil ngobrol bersama teman-teman kuliah yang saat itu mau doing extra miles dengan kuliahnya. Rajin baca buku dan sebagainya. Kehidupan saya di kisaran tahun 1998-2002 bisa dibilang sangat sederhana, alias tidak pernah neko-neko. Hanya kuliah, pulang atau di rumah, main basket, nongkrong dengan teman-teman. Sebatas itu saja. Yang akhirnya juga membawa saya ke hidup saya di usia yang sudah masuk gerbang 40 (+1). Life begins at forty! Is it? 🙂
Kalau ditarik garis lurus, dari usia 20 tahun hingga hari ini saya berusia 41 tahun lebih 8 hari, 21 tahun saya habiskan untuk hidup dari hari ke hari. Rancana jangka panjang tentu ada, yang saya pecah ke rencana-rencana yang lebih pendek tentunya. Seperti mengajar mahasiswa S1, saya tahu bahwa saya harus punya gelar S2 untuk bisa melakukannya. Dan mengajar saya pandang sebagai rencana saya selanjutnya, saat masa bekerja profesional sudah selesai. Namun, seperti yang pernah saya tuliskan di unggahan-unggahan blog sebelumnya, kalau sebelum saya lulus kuliah S2, tawaran mengajar sudah datang. So, the lesson is: be always prepared for any opportunities.
Yang kedua adalah, saya tahu betul seberapa kemampuan saya, dan bagaimana mengelolanya. Mungkin di awal-awal karir, saya bisa merasa iri dan sekaligus insecure akan pencapaian rekan-rekan saya. Di usia yang sama, sudah bisa buat banyak pencapaian keren, sudah punya jabatan mentereng di perusahaan ternama. Seiring dengan berjalannya waktu, saya menyadari kami semua menjalani proses yang berbeda-beda, dengan kecepatan masing-masing, dengan permulaan (baca: previlege) yang berbeda-beda, dan mengejar purpose yang berbeda-beda. Hilangnya rasa iri dan insecure buat saya adalah proses berdamai dengan diri sendiri.
Semua sudah ada takarannya masing-masing.
Seorang rekan yang punya banyak kelebihan dan sudah buat banyak pencapaian keren di usia mudanya, kini memimpin sebuah perusahaan rintisan yang sanggup menghidupi ratusan hingga ribuan orang. You owe it to your talent, sebuah quote yang sempat saya tulis bertahun-tahun lalu saat menjalani peran ‘pengajar muda’ dalam kegiatan Kelas Inspirasi, bahwa talenta yang kita punya, wajib bermanfaat untuk orang banyak, bukan untuk kita keep buat diri kita sendiri. Di umur 41 tahun ini, saya pun kian mengerti bagaimana saya harus mengambil peran, dengan segala talenta, kekurangan, dan kelebihan saya, bukan hanya dalam konteks sebagai seorang profesional, seorang omnichannel marketer yang saya tuliskan di bio media sosial saya, namun dalam konteks yang lebih luas. Tentang bagaimana bisa bermanfaat untuk orang banyak.

Jika diberikan umur panjang, tidak lain keinginan saya selain menghabiskannya dengan orang-orang terdekat, dengan istri terutama. Dengan orang-orang terkasih, yang saya sebut keluarga. Melihat senyum di wajah mereka, saat melihat saya pulang kembali ke Kota Malang. Mendengarkan banyak cerita dan celotehan, petualangan mereka, kisah-kisah yang tidak sempat saya saksikan saat saya jauh di perantauan.

“Jadi, kamu mau ngapain lagi di sisa umur kamu, Yoga?”
Menghilangkan kekhawatiran, banyak kekhawatiran. Tentang bagaimana nantinya menjalani hari-hari tua dengan menyenangkan, bagaimana tetap bisa memenuhi semua kebutuhan (dan keinginan) saat sudah purna tugas, dan yang terakhir, bagaimana tetap bisa berkontribusi, masih bisa bermanfaat untuk orang banyak, yang membutuhkan. Salah satu jawaban kekhawatiran ini tentunya adalah kebebasan finansial, suatu kondisi yang saat ini masih jauh dari jangkauan saya. Dan satu lagi, kondisi badan tetap terjaga, terutama nanti saat sudah masuk usia 50 tahun, badan masih sehat dan fit, tidak seperti tipikal badan oom-oom yang membuncit dengan limpahan lemak dimana-mana.

Saya sempat lepas dari kontrol ke kesehatan dan kebugaran badan saya di masa menginjak usia 30 tahunan. Kalau dibahas, yang ada pasti hanya denial semata, dengan alasan kesibukan dan padatnya waktu antara belajar untuk studi S2, mengumpulkan materi kurikulum untuk mengajar Pemasaran Digital Terpadu di FISIP UI, dan bekerja sebagai seorang profesional.
Terlebih untuk asupan makanan yang tidak sehat, minuman manis dan berkarbonasi, dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya. Masuk gerbang usia 40 tahunan membuat saya makin sadar akan manfaat menjaga kesehatan dan kebugaran, layaknya investasi ke diri sendiri. Manfaat dan keuntungannya mungkin tidak dipetik sekarang, mungkin baru di tahun-tahun berikutnya.
Then, let it be my ultimate and permanent goals.
2 Comments Add yours