Sejak mengajar Pemasaran Digital Terpadu di Prodi Periklanan, Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia di semester ganjil tahun 2014 yang lalu, baru kali ini kinerja saya dinilai, bukan oleh rekan-rekan di Departemen Komunikasi (ketua departemen, dan teamnya), melainkan oleh para mahasiswa-mahasiswi saya sendiri.
How exciting!
Memang, secara rutin FISIP UI di departemen-departemennya selalu melakukan evaluasi tentang hasil kerja para tenaga pendidiknya. Pernah sekali, Ketua Departemen Komunikasi saat itu, Mbak Titut, menyapa saya seusai sesi kuliah, dan menyapa saya sambil mengatakan; “Eh, selamat ya, mas. Menurut mahasiswa cara mengajar mas menyenangkan dan penyampaian materinya bagus”. Saya agak kaget, campur senang sebenarnya, mendengarkan evaluasi word of mouth dari anak-anak didik saya. “Wah, terima kasih, mbak Titut”, balas saya bahagia.
Bahagia?
Tentu saja. Itu terjadi di awal-awal masa saya mengajar, pengalaman saya pertama mengajar-membawakan materi selama 1 semester penuh, di tahun 2013.
But also, I was so very insecure at the time.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah dengan cara penyampaian saya, materi yang disampaikan bisa diterima dengan baik?”, atau “Anak-anak ini benar-benar mengerti atau malah bingung dengan materi saya?”, atau “Materi yang saya bawakan cukup up to date atau malah sudah obsolete ya?” Sungguh pertanyaan-pertanyaan insecure yang sering membuat saya resah.
It’s all about keeping up with expectations. Ekspektasi saya, mereka (para mahasiswa/i), dan rekan-rekan di Departemen Komunikasi tentunya.
Namun, di semester ganjil tahun ajar 2020/2021 ini, ada yang berbeda. Rekan-rekan di Departemen Komunikasi punya sejumlah alat ukur untuk melihat kualitas para dosen ini, baik dosen tetap maupun dosen tidak tetap seperti saya ini, dalam menularkan ilmu, pengetahuan, wawasan, hal-hal teknis dalam mengajar. Dasar pemikiran saya selalu ada di kisaran ide: There’s content, and there’s delivery, there’s substance and there’s style. Ada konten, dan ada cara penyampaian konten. Saya percaya, keduanya harus dibuat sangat menarik.
Misalnya, saat saya berbagi tentang content marketing, tentunya saya akan merancang sedemikian rupa materi, dengan menggabungkan images, videos, meme, dan lain-lainnya untuk menunjang penyampaian saya. Contoh kasus, images, videos, dan meme pun harus yang terbaru. Menghindari kesan kalau kita, generasi yang sudah menua ini, malas mencari informasi yang up to date. Pun demikian dengan cara penyampaian saya. Perbedaan dalam intonasi untuk penegasan makna kata dan kalimat, gesture tubuh, dan sebagainya akan membantu para audience muda saya ini menangkap ide dan maksud saya.
Satu arah? Tentu tidak.
Saya selalu melibatkan mereka dalam proses belajar dan mengajar. Bukan, saya tidak meminta mereka untuk mempelajari suatu bab lalu membuat ringkasan dan mempresentasikannya di depan kelas. Cara saya adalah, mencoba memperkenalkan dunia mereka nantinya, pada saat mereka sudah lulus kuliah atau saat sedang menjalani program magang, di dunia periklanan dan komunikasi, pada umumnya. Saya kenalkan mereka ke proses pembuatan brief, pitch deck, mempresentasikannya di depan calon klien (teman-teman mereka sendiri), dan akhirnya memilih satu dari beberapa digital agency team yang layak untuk dijadikan partner kerja. Pitching role play, salah satu cara saya melibatkan mereka secara langsung. Dan cara-cara lainnya untuk memancing kreativitas, kerja sama team, potensi mereka masing-masing.

Bagaimana cara saya tahu apa yang saya lakukan bermanfaat bagi mereka? Bagaimana cara saya tahu cara mengajar saya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka? Bagaimana cara saya tahu apa-apa saja yang harus saya benahi, tambahkan, dan kurangi dari cara mengajar saya? Nah, di setiap saya bagikan soal online quiz, saya sisipkan pertanyaan-pertanyaan untuk menarik feedback mereka. Salah satunya, agar adik-adik mereka, di semester ganjil tahun depan, bisa mendapatkan materi sekaligus penyampaian materi yang lebih meaningful. Insights dari mereka ini, di setiap tahun, yang selalu saya dengar, simak, dan jadikan perbaikan untuk cara mengajar saya, materi yang saya bagikan, agar lebih baik, applicable, dan meaningful. Perbaikan yang terus menerus, seperti The Toyota Way ya?

Dan EDOM atau Evaluasi Dosen oleh Mahasiswa ini saya anggap sebagai reward atas semua yang saya lakukan, dari semenjak merencanakan konten perkuliahan, baik secara online maupun dulu secara tatap muka sebelum Covid-19 menyerang, hingga menyampaikannya dari awal perkuliahan hingga saling mengucap pisah ke para audience muda saya. And here’s the reward:

Ada empat kriteria penilaian; materi pembelajaran, proses pembelajaran, pengelolaan kelas, dan evaluasi pembelajaran. Seiring dengan kriteria tersebut, ada interval penilaian; dibawah 4 artinya CUKUP, nilai antara 4-5: BAIK, dan nilai diatas 5: SANGAT BAIK. Dan untuk keempat kriteria tersebut, saya dinilai sangat baik oleh para audience muda saya. Puji Tuhan, God is good!
Dan terima kasih untuk para audience muda saya, para mahasiswa/i yang saya kasihi, you’re surely generous in heart!
One Comment Add yours