Omni Channel Marketing di Consumer Goods (bagian 1)

Omni Channel Marketing bukan saja gabungan antara dua hal, online dan offline. Tapi lebih ke total consumer experience, yang ditimbulkan oleh pengalaman berbelanja yang mengesankan dan tanpa kendala (seamless) yang diberikan oleh brand, saat konsumen menghubungi brand lewat touch point yang ada. Untuk sebuah brand menjalankan strategi omni channel ini bukan hal yang mudah, terutama brand dengan produk consumer goods-frozen food.

Omni channel bukan saja berarti sebuah brand memiliki layanan online dan offline (multi channel), namun integrasi antara keduanya. Sehingga konsumen brand tersebut, siapapun, dimanapun, dan kapanpun bisa menjangkaunya untuk membeli produk yang ditawarkan lewat empat skema: 1) search offline buy offline, 2) search offline buy online (show rooming), 3) search online buy offline (web rooming), dan 4) search online buy online.

Tidak menutup kemungkinan konsumen akan melalui beberapa dari skema tersebut, tergantung dengan sifat produk yang akan dibeli. Misalnya, buat konsumen yang sedang mencari sepatu, ia bisa memilih beberapa dari keempat pilihan skema tersebut, yang tergantung pada seberapa dekat ia dengan teknologi. Jika ia cukup digital savvy, tentunya akan melibatkan skema online baik untuk tahapan pencarian maupun pembeliannya. Untuk sepatu misalnya, ia bisa mencarinya secara offline dahulu, karena standar ukuran per merek bisa berbeda-beda, belum lagi fitting yang disesuaikan dengan kaki pemain, jika ia ingin membeli sepatu basket Nike PE Kobe Bryant, misalnya.

Jadi, lebih baik, kalau ia lakukan showrooming (atau bahkan search-buy offline, jika ada promo menggiurkan di toko offline), search di toko offline, mencari ukuran sepatu yang tepat, dan terlihat pantas dipakai di kakinya , dan menyimpan informasinya untuk nanti, saat ada promo di toko online, via social commerce di Instagram, misalnya, atau via marketplace. Lalu bagaimana jika masih ada ketidaksesuaian? Saya akan lakukan tukar sepatu, di marketplace tersebut, setelah membaca refund and return policy-nya. Refund? Ya, jika kaki saya memang tidak cocok dengan sepatunya, refund adalah opsi terbaik. Dan seharusnya, pengalaman konsumen yang seamless juga bisa dihadirkan saat ia ingin refund atau tukar produk serupa dengan ukuran yang berbeda.

Lalu, bagaimana dengan di industri lain?

Lewat perbincangan dengan seorang penggiat omnichannel di industri retail makanan beku, diberikan contoh di industri elektronik. “Sebenarnya yang dinamakan omnichannel adalah jika seorang konsumen membeli sebuah TWS (true wireless sound)/blue tooth ear buds di toko resmi di sebuah bandara, lalu ia menemukan bahwa saat dipakai di perjalanan, alat untuk mendengarkan suara lewat konektivitas blue tooth tersebut ternyata tidak berfungsi”, demikian beliau memulai topik diskusi ini.

“Sesampai di kota tujuan, ia menemukan toko resmi produk tersebut di bandara, dan mengajukan keluhan tentang produknya. Setelah dicek dan diverifikasi laporannya oleh shop attendants, saat itu juga ia mendapatkan produk pengganti, tanpa harus ditanya macam-macam. Itu baru namanya omni“, pungkasnya. Seamless.

Baik, lalu bagaimana praktek omnichannel di industri consumer goods, khususnya untuk produk yang sangat temperature sensitive seperti es krim? Atau frozen food lain, misalnya?

Tidak mudah. Kalau misalnya mudah pasti yang melakukan sudah banyak orang, bukan? Kalau masih dipandang sulit oleh banyak orang, sementara sesudah kita telaah dan lihat, kita tahu kira-kira bagaimana road map-nya, apa-apa saja yang perlu dihubungkan, dan siapa saja yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan kita, yaitu punya layanan omni channel di company tempat kita bekerja, lakukan saja!

Begin with an end in mind.

Saya suka sekali dengan quote tersebut. Tujuan akhirnya, semua penggemar es krim bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Misalnya produk es krim yang baru saja diluncurkan, diunggah oleh akun brand di Instagram, yang juga di-push melalui Instagram Ads dan publikasi lewat key opinion leader (KOL), yang baru ia lihat lewat smartphone-nya, lalu ia klik tombol di bawah gambar yang akan langsung ter-direct ke halaman e-commerce brand (atau bisa juga halaman produk di official store yang dikelola brand), pilih produk, tanggal kirim, alamat kirim, cara pembayaran, dan tentunya cara pengiriman barang yang diinginkan. Agar langsung dapat ia nikmati produk yang baru saja ia lihat iklannya di Instagram, ia pilih opsi instant delivery/instant courier setelah tahu kalau ada pick up point yang cukup dekat dengan rumahnya. Alhasil, kurang dari satu jam setelah ia terekspos unggahan Instagram brand, produk es krim yang baru saja diluncurkan ada di hadapannya, terhantarkan langsung ke alamat rumahnya. Key definitive factor: pick up/delivery point yang tersebar secara luas!

That’s how I picture the end in a beginning in my mind.

Mudah. Tentu tidak. Sulit? Ya. Layak dicoba? Tentu saja. Bukan untuk sekedar mencari personal glory, bahwa kita berhasil lakukan ini itu, lalu diundang untuk membagikan success story kita dimana-mana agar bisa menginspirasi lebih banyak orang lagi.

Namun buat saya lebih kepada bagaimana konsumen yang sudah sangat pintar dan ingin mendapatkan apapun yang ia inginkan saat ini juga, sangat canggih (digital savvy) dengan smartphone/gadget di tangannya, dan punya daya beli yang cukup, sehingga bisa mendapatkan produk atau layanan yang ia inginkan kapan saja, dan dimana saja ia mau. Bisa terpuaskan keinginan atau bahkan kebutuhannya. A seamless experience with the brand, and that’s a good company branding.

Anyway, untuk gambaran tentang konsumen yang bisa mendapatkan produk yang baru saja diiklankan dan langsung bisa ia dapatkan dalam waktu kurang dari satu jam tadi saat ini sudah terwujud di company tempat saya bekerja saat ini.

Thank God Almighty!

Bisa karena kami sudah terbiasa berkolaborasi dengan banyak pihak, menggandeng pihak-pihak yang menawarkan solusi atas permasalahan-permasalahan yang berbeda. Untuk instant delivery, kami berkolaborasi dengan decacorn GO-JEK, yang lewat sejumlah layanannnya, memungkinkan proses value chain ini bisa berjalan lebih mudah; GO-SEND, GO-FOOD (GO-BIZ), GO-PAY (integrasi dalam payment gateway e-commerce website sebagai salah satu opsi pembayaran online). Untuk e-commerce website milik perusahaan, kami berpartner dengan team web developer yang selalu siaga kapanpun kami perlu bantuan. Dan di marketplace partner, kami membuka Official Store agar lebih mudah untuk para pelanggan masing-masing marketplace menemukan produk dan layanan kami, yang tentunya juga membuka opsi instant courier. Terakhir, tentunya team internal yang solid dan supportive.

Namun challenge terbesar sebenarnya belum teratasi. Kemudahan yang saya gambarkan diatas hanya bisa dinikmati oleh konsumen yang tinggal di kota-kota besar, atau setidaknya ibu kota propinsi atau ibu kota negara (dan kota-kota penunjang di sekitarnya). Lalu bagaimana dengan konsumen yang tinggal di kota-kota kecil? Bisakah mereka menikmati ‘kemewahan’ yang dirasakan oleh konsumen yang tinggal di kota-kota besar tersebut? Well, pemikiran ini kembali ke keterbatasan yang dipunyai produk. Saya membantu mengelola merek es krim, dimana produknya sangat sensitif terhadap suhu. Lain halnya kalau kita bicara kategori consumer goods yang lain, susu UHT misalnya. Tantangannya tentunya tidak seberat mengembangkan strategi omni channel untuk produk es krim. Bagaimana cold chain tetap terjaga, dari gudang-gudang di kantor perwakilan, lalu ke delivery man perusahaan/food delivery dari e-hailing partner, dalam waktu dan jarak yang sudah ditentukan, untuk sampai ke tangan konsumen dengan kualitas yang sama, itulah tantangan sebenarnya!

Kuncinya, yang akan jadi ‘Begin with An End in Mind‘ saya bagian 2 adalah menambah distribution chain di kota-kota kecil, yang bisa berperan sebagai pick up point, dan delivery point. Menambah, bukan membangun, lewat kolaborasi dengan chain store yang tepat.

Sumber: Campina E-commerce slide, presentasi Markplus

Bila melihat slide presentasi diatas, yang pernah saya bawakan untuk Markplus Inc. di salah satu online course-nya, sudah barang tentu e-commerce tidak bisa berdiri dan berjalan sendiri. Melainkan menjadi salah satu elemen yang tidak terpisahkan, bersama dengan elemen-elemen lainnya yang saling mendukung. Sepenuhnya terserah kepada konsumen, mereka ingin mengakses brand kami lewat touch point yang mana, online maupun offline, dan tergantung ke konsumen juga, mereka ingin mendapatkan produk kami lewat offline (nomor telepon call center), atau lewat online (nomor WhatsApp, e-commerce website, marketplace, e-hailing, atau bahkan via social media), tentunya akan dilayani dengan baik. Informasi-informasi dari eksternal bisa disampaikan lewat saluran komunikasi apapun sesuai keinginan mereka, dan adalah tugas call center team, customer care, dan social media yang harus menanggapinya. For the sake of total consumer experience.

Silahkan ikuti tulisan bagian kedua tentang Omnichannel Marketing di industri consumer goods-frozen food di unggahan blog saya selanjutnya.

2 Comments Add yours

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s