Perkuliahan Pemasaran Digital Terpadu saya nyatakan sudah selesai, saat saya submit nilai-nilai untuk dua kelas, beserta daftar absensi selama satu semester, tanggal 18 Januari yang lalu. Satu semester yang cukup berat sebenarnya, baik dari sisi saya selaku pengampu, dan dari sisi mereka selaku pembelajar. Belajar dengan sistem perkuliahan jarak jauh (PJJ), mengandalkan Google Meet dan Google Forms (untuk 4 mini quiz) punya sisi kesulitan dan keasyikan tersendiri.
Sulit karena sangat tergantung pada koneksi internet. Mahasiswa saya mengikuti perkuliahan dari rumah masing-masing, yang tersebar di kota-kota di Pulau Jawa dan diluar Pulau Jawa. Tak jarang mereka ‘terlempar keluar’ dari kelas karena putus koneksi internet, dan sesekali saya pun mengalaminya. Di tengah sesi presentasi, tiba-tiba saya keluar sendiri dari Google Meet. Well, it happened. Keterbatasan dan kendala pasti ada.
Asiknya? Banyak banget!
Salah satunya saat mendengarkan paparan-paparan ide-ide brilian dari mereka secara berkelompok, dalam 2 project yang saya rancang untuk experience-learning by doing mereka. Mengimplementasikan apa yang mereka pelajari secara langsung, menerapkan idealisme mereka dalam role play pitching project (beban nilai 30%), dan menjadi digital marketing agency untuk brand UMKM plihan mereka sendiri, untuk UAS project mereka. Selalu, di setiap saya mengampu mata kuliah ini, dari angkatan satu ke angkatan lainnya, saya terpesona dengan kemampuan mereka menganalisa situasi, menangkap kecenderungan dan kendala sebagai permasalahan yang bisa dipecahkan, sekaligus merancang strategi dengan opsi-opsi solusi untuk permasalahan yang dihadapi. There’s content, and there’s delivery. Dan mereka cemerlang di keduanya!

Di tulisan sebelumnya, saya sudah bercerita tentang kelima kelompok digital agency vs brand UMKM yang mereka kelola di kelas hari Senin, dan berikut ini cerita tentang kelima kelompok berikutnya dari hari Selasa:
Team pertama yang memaparkan final deck-nya adalah Analog. Team ini menganalisa strategi komunikasi sebuah warung kopi kekinian yang Instagrammable di Perumahan Galaxy-Bekasi. Kini, warung kopi keren banyak bermunculan di kompleks perumahan ini, dari yang kecil sampai yang berskala sedang. Warung kopi yang mereka teliti ini boleh dibilang berskala sedang, menempati sebuah ruko 3 lantai, dimana 3 lantai tersebut dirancang dengan ambiance yang berbeda-beda di tiap lantai, A2 House Coffee.

Masalah pertama yang mereka temukan adalah brand awareness, tentunya. Untuk bersaing dengan sejumlah warung kopi kekinian di sekitar perumahan saja, mereka harus punya sesuatu yang beda. Rules-nya tetap: content dan delivery harus berjalan beriringan. Percuma kalau punya konten yang bagus, misalnya: kualitas minuman dan makanan yang enak, ambiance, dan daya tarik warung kopi lainnya yang asik, namun tidak tersampaikan dengan baik, karena satu dan lain hal. Tugas team Analog adalah memberikan opsi-opsi agar tampilan brand asset di social media, website, dan e-commerce lebih baik dan menarik di mata target audience-nya.
Team yang kedua adalah Clio, yang mengangkat brand Faveur, sebuah florist di Jakarta yang juga bergelut dengan persaingan di bisnis bunga. Dengan mengangkat tagline, “Handpicked Happiness”, mereka berusaha memberikan solusi akan apa yang brand florist ini hadapi, dalam tiga strategi untuk meningkatkan awareness, meningkatkan transaksi atau pesanan bunga, dan meningkatkan jumlah followers di social media.

Ada satu hal yang harus saya note dari team Clio ini, yaitu salah satu anggota team, Chaca yang saat UAS dilaksanakan belum pulih dari paparan virus Covid-19. Kondisi tersebut mengharuskan dia melakukan isolasi mandiri di rumah, tidak harus mengikuti jadwal UAS hari itu, namun tetap bersemangat untuk hadir secara virtual mendampingi teman-temannya. Pihak kampus pun sudah memberikan keringanan untuk UAS susulan, namun dia tetap bersedia ‘datang’, on camera bersama dengan teman-temannya.
Berikutnya, team Sabtu Minggu, yang mengangkat brand aksesoris dengan harga terjangkau, Alsa. Brand aksesoris ini menjangkau target market kaum perempuan, usia 18-30 tahun, dan dari SES B ke C. Sama dengan brand UMKM yang dibahas sebelumnya, challenge yang diberikan oleh brand adalah untuk: 1) meningkatkan online purchase, 2) meningkatkan awareness, 3) meningkatkan brand presence di digital media termasuk e-commerce site, dan 4) meningkatkan jumlah Instagram followers mereka.

Slide yang ditampilkan oleh team Sabtu Minggu ini merupakan slide favorit saya. Karena di usia mereka yang masih sangat muda, mereka sudah menunjukkan apa-apa saja yang harus dilakukan oleh sebuah brand yang hadir di marketplace Shopee, untuk memaksimalkan brand presence-nya, yang pada akhirnya bisa meningkatkan peluang untuk mendapatkan konsumen baru, dan sekaligus mempertahankan konsumen yang sudah ada. Lewat strategi content marketing, konten yang sudah dibuat untuk unggahan media sosial brand tersebut, dapat diunggah juga di feed dan stories Shopee. Karena sebagai marketplace pun, Shopee (dan marketplace lainnya) menganggap universe-nya (lingkungan didalamnya) sebagaimana mesin pencari dan media sosial. Para pengguna Shopee melakukan pencarian produk disitu, dan menemukan opsi-opsi menarik di halaman hasil pencarian, dan juga bisa mendapatkan update dari akun brand yang di-follow, di halaman feed dan stories.
Ditambah lagi, brand juga bisa berinteraksi langsung dengan para followers-nya, para penggunanya, lewat fitur Shopee Live, dimana perwakilan brand bisa berperan sebagai pemandu acara, memperkenalkan produk, feature dan benefit-nya, dan layanan-layanan yang melekat di dalamnya. Kenapa? Karena saat menonton tayangan live streaming di Shopee Live, si pengguna bisa langsung memesan produk yang sedang ditayangkan. Lewat opsi pengiriman instant delivery, memungkinkan produk sampai di tangan pelanggan sebelum tayangan live streaming selesai. Keren sekali, ya?
Kadangkala saluran penjualan online menjadi saluran penjualan utama sebuah brand UMKM, terlebih di masa pendemi seperti ini. Lokasi offline store yang jauh dari perkotaan, misalnya, tidak menyebabkan pelanggan surut untuk menghubungi. Dengan catatan, brand UMKM sudah punya brand awareness dan brand image yang baik, dari segi kualitas produk dan layanan. Bahkan jika offline store tutup untuk sementara. Hal ini terjadi dengan brand GunaGoni, sebuah creative workshop di Yogyakarta yang menyediakan barang-barang kerajinan dari karung goni bekas.

Upcycle, istilah yang sangat saya suka. Sebab dari barang-barang bekas, dengan semangat kreativitas yang tinggi, nilai dari produk jadi pun bisa naik berkali-kali lipat. Seonggok karung goni bekas yang mungkin tidak ada nilainya, ditangan Mas Bimo, sang empunya GunaGoni bisa menjadi sangat berharga. Tak heran, harga pernak-pernik hasil kreasinya bisa bernilai ratusan ribu rupiah per itemnya. Tag line campaign yang team, Wrap! ajukan adalah: “Membekas Berkelas”, dan saya suka dengan ide-ide mereka untuk meningkatkan online presence dari GunaGoni, baik di media sosial maupun di e-commerce.
Brand UMKM terakhir yang dibahas dalam UAS Project ini adalah Mentaialik, produsen salmon mentai dan brulee dari Cibubur, Jakarta Timur. Adalah team Porti.Co (yup, namanya mirip dengan salah satu kedai di GF Senayan City) yang menemukan brand ini, yang digawangi oleh Alika, yang masih duduk di bangku sekolah, yang sudah jago membuat salmon mentai (sudah punya pelanggan-pelanggan tetap). Namun tentunya clueless tentang bagaimana meningkatkan online presence lewat strategi content marketing dan content distribution yang baik. Dan hal ini menjadi salah satu permasalahan yang coba dipecahkan team Porti.Co.

Creating impact. Hal ini yang benar-benar mereka (dan team digital marketing lainnya) deliver dalam UAS Project di perkuliahan ini. Impactful, di awareness-engagement-acquisition. Lewat strategi konten yang jitu, image dan video, yang disebarkan lewat Tik Tok dan Instagram, sanggup meraih reach dan engagement yang cukup tinggi. Untuk urusan berbagi konten di Instagram, tentunya mereka semua sudah handal. Nah, khusus untuk TikTok, salah satu anggota team Porti.co adalah seleb TikTok. Anda yang aktif di TikTok bisa cari via account handle-nya: @ojilleef. Adanya team member yang sudah jago membuat konten di TikTok, membuat aktivitas berbagi konten tentang Mentaialik di platform ini lebih mudah untuk dijalani.
Satu hal lagi yang harus saya note. Di team Porti.Co ini ada satu orang yang saat sebelum UAS sudah terinfeksi virus Covid-19, Monica namanya. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, dengan selang infus di tangan dan selang oksigen di hidung, dia mengerjakan quiz keempat-terakhir dari saya, dan amazingly tetap showing up di saat UAS (dengan selang oksigen di hidung, sementara selang infus sudah dicabut), mendampingi rekan-rekan satu team untuk pesentasi final deck Mentaialik, yang hampir semua ide yang ditawarkan mendapat approval dari brand owner, dan sekaligus sudah dieksekusi juga. Sama dengan Chaca, sebenarnya mereka berdua sudah mendapatkan keringanan dari Departemen Komunikasi FISIP UI, untuk menjalani ujian susulan, tapi mereka bersikeras untuk tetap hadir, Chaca presentasi dari rumah, sedangkan Monica presentasi dari ruangan rumah sakit. Hats off untuk semangat mereka.
Result? Team effort yang sangat baik! Untuk kesepuluh team yang sudah berjuang selama setengah semester untuk UAS Project ini, saya sangat bangga dengan kalian. Di masa yang tidak mudah, dimana semua koordinasi pengerjaan tugas hingga presentasi dilakukan via online, namun feel dan spirit yang saya rasakan tidak beda jauh saat dulu mengampu mata kuliah ini secara tatap muka. Pantulan energi benar-benar saya rasakan, dari saya ke mereka, dan mereka ke kami semuanya.
Sebagai penutup tulisan berseri ini, saya menyampaikan kalau saya hanya merancang sistem belajar mengajar secara virtual dengan 2 project learning by doing ini di awal-awal semester. Tentunya dengan beberapa adjustment di sana-sini, agar penyampaian materi berjalan secara berurutan, termasuk infusing materi dari dosen-dosen tamu SEO-SEM-Web Analytics dan Alumni Gives Back, terkait timing dan lain-lain. Namun saat eksekusi perkuliahan, dituntut peran serta dari kedua belah pihak, dari dosen pengampu dan para mahasiswa. Dosen pengampu harus bisa membuat ‘rumah belajar’ yang nyaman untuk semua mahasiswa mau dengan senang hati datang secara rutin, menyerap semua materi yang diberikan, dan mempraktekkannya langsung lewat project-project yang menantang. Punya beberapa alat ukur untuk menguji daya serap mahasiswa tentang materi yang kita ajarkan, dan jangan lupa meminta feednback mereka, agar sistem belajar mengajar di semester-semester berikutnya bisa lebih meaningful, challenging, dan applicable.
Ilmu digital marketing sendiri sangat fluid. Sangat dinamis. Hal ini juga membuat sistem perkuliahan harus dinamis juga, tidak bisa searah dari dosen ke mahasiswa. Ibarat perkuliahan tanpa excitement. Mahasiswa yang notabene datang dari generasi Z, akan cenderung bosan.

Saya percaya, kita bisa menilai diri kita paham akan sebuah disiplin ilmu, kalau kita bisa menjelaskan dengan sederhana ke siapa saja, sehingga dapat dimengerti oleh siapapun audience kita. Kita mengajarkan sesuatu bukan berarti ilmu kita hilang, bahkan makin bertambah. Karena dalam sesi berbagi ilmu, ada feedback, ada tanya jawab, yang bahkan bisa memperkaya si pembagi ilmu. Dan terakhir, karena ilmu digital marketing ini sangat dinamis, jangan lelah untuk terus belajar, stay hungry stay foolish!. Wawas tentang trend dan segala kecenderungan yang terjadi di luar sana, bagaimana user atau pelanggan kita merespon, sehingga seperti saya yang ada di belakang sebuah brand, saya bisa memberikan saran pencerahan tentang apa yang seharusnya brand lakukan, dan later on saya bisa bagikan sebagai sebuah success story.
Terima kasih sudah menyimak, semoga bermanfaat š
One Comment Add yours