Perkuliahan Jarak Jauh (PJJ) di mata kuliah yang saya ampu, Pemasaran Digital Terpadu di Komunikasi FISIP-UI tidak terasa sudah memasuki minggu ke sebelas. Tinggal enam minggu perkuliahan lagi yang harus dilalui bersama-sama, sebelum masuk ke masa ujian akhir semester (UAS). Kami sudah melewati masa awal kuliah hingga masa ujian tengah semester (UTS), dimana sudah 4 tahun terakhir, selalu saya adakan dalam format creative project.

Tidak terasa.
Padahal, di awal-awal masa kuliah di semester ganjil 2020/2021 ini, saya merasakan kegelisahan yang luar biasa, karena belum pernah menjalankan perkuliahan selama satu semester dengan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ), dengan memaksimalkan penggunaan Google Meet. Pertanyaan seputar apakah bisa menjaga mood dan excitement para mahasiswa selama full satu semester perlahan bisa terjawab. Kuncinya ternyata bukan hanya ada di saya selaku pengampu mata kuliah, melainkan juga para mahasiswa yang aktif ikut serta membuat lingkungan/ekosistem belajar-mengajar yang asik. Learning has to be enjoyable. It’s not always about the element of fun, but how we give challenging environment, a place to showcasing the students’ abilities, and how we measure them. How good they receive and absorb all of our teaching materials, through four small quizzes.

Perkuliahan saya bagi menjadi beberapa bagian. Masa sebelum UTS saya isi dengan materi tentang Digital Marketing Overview (apa-apa saja menu perkuliahan selama satu semester ini), Content Marketing (2 sesi), Social Media Management (2 sesi), dan role play pitching–Digital Agency side vs. Client side, yang menghabiskan 3 sesi perkuliahan. Sesi role play pitching ini sudah saya lakukan sejak tahun 2015 yang lalu, salah satunya untuk menunjukkan bagaimana hubungan antara brand, yang menjadi klien, dengan digital agency. Brand datang dengan client brief, menyampaikan apa yang menjadi keresahan dan problem yang mereka hadapi, yang perlu dibantu oleh digital agency untuk diselesaikan. Empat kelompok yang menjadi digital agency akan datang membawa proposal deck, bersaing ‘memikat’ team brand, dengan ide-ide kreatifnya. Solusi-solusi yang bisa diberikan untuk menjawab keresahan dan permasalahan tersebut, dalam komunikasi di media digital. Pembahasan cukup sampai pada offline channel, masuk ke ranah integrated marketing communications? Tidak, cukup di digital media, lebih ke social media presence dan activity saja.






Praktisnya, inilah pemandangan kami di tiap minggunya. Karena pandemi Covid-19, saya dan rekan-rekan mahasiswa pun memaksa diri untuk keluar dari zona nyaman masing-masing. Dari yang nyaman terbiasa bertatap muka, bisa melihat dan membaca mimik wajah masing-masing, kini tergantikan dengan layar monitor, speaker, dan kamera laptop, dan bahkan terkadang layar smartphone. Belum termasuk keterbatasan-keterbatasan lainnya, seperti sinyal internet yang kadang timbul tenggelam, naik turun dan bisa hilang sama sekali, dan tak jarang mahasiswa dan kadang saya, masuk-keluar ruangan Google Meet.

Saya pun harus terbiasa kalau hampir seisi kelas tidak on camera, karena keterbatasan bandwith internet. “Saya mohon ijin tidak bisa on camera ya, mas. Sinyal internet tidak stabil, lumayan bisa hemat kuota juga”, ujar salah satu mahasiswa yang pada suatu kesempatan mengakses Google Meet dari smartphone-nya. Saya percaya dengan mereka, yang tidak selalu bisa on camera. Karena tanpa on camera pun, saya masih punya tools untuk mengukur seberapa bisa menangkap materi yang saya berikan, dan memberikan feedback dalam format quiz, dan projects yang semoga cukup menantang.
UTS yang saya ganti dengan project pitching role play ini pun berjalan dengan lancar. Team brand dari masing-masing kelas yang memilih Opatan Coffee (kedai kopi di Bogor) dan Lacrou Pattiserie (bakery shop di Jaksel), sama-sama berhasil menemukan partner-nya, untuk bekerjasama selama periode yang ditentukan. Yaitu Rayu Agency dari kelas Senin, dan Porti. Co Agency dari kelas Selasa. Selain seru, mereka merasa bahwa pengalaman role play yang baru sekali ini mereka rasakan, memberikan wawasan baru. Tentang bagaimana kehidupan orang-orang di dunia komunikasi, khususnya dalam hubungan antara client dan agency. Learning by doing phase 1 is completed.

Sebenarnya, bagaimanapun saya ingin mereka semua on camera, melihat mimik muka mereka satu per satu. Melihat apakah mereka paham dan mampu menyerap apa yang saya bagikan, ataukah belum paham. Satu hal yang saya akui hilang, dibandingkan dengan perkuliahan tatap muka. Namun tentunya, untuk menyesuaikan, banyak hal yang harus kita ‘korbankan’. Buat saya, hal tersebut adalah ego kita, selaku dosen pengampu. Salah satunya dengan tidak memaksa mahasiswa/i untuk on camera. Satu kebiasaan saya, saya selalu mengabsen mereka, panggil nama mereka satu persatu, di sesi akhir sebelum menutup sesi kuliah. Di saat absensi inilah, mereka on camera sejenak, hingga saat saya menutup sesi kuliah.
Sesi awal hingga masa UTS bisa dijalani bersama-sama dengan baik. Paruh kedua kuliah, masih ada dua kali sesi kuliah tamu, materi tentang Digital Marketing Planning (2 sesi), Disruption dan Sharing Economy, dan E-commerce Operation, sebelum ditutup dengan presentasi project UAS yang saat ini masih mereka kerjakan. Mereka saya minta, masih dalam kelompok yang sama, mencari brand UMKM, yang berkenan memberikan ijin ke mereka untuk observasi bisnisnya, dari sisi komunikasi di digital media. Pengalaman mereka dalam kelompok masing-masing saat pitching role play (Learning by Doing phase 1), sangat bermanfaat untuk phase 2 ini. Bedanya, mereka tidak lagi berhadapan dengan teman sekelas yang berperan sebagai brand, namun mereka harus berhadapan dengan pengelola brand sungguhan.
Harapannya, output dari project UAS ini, mereka bisa mengaplikasikan ilmu yang mereka dapatkan, bukan hanya dari saya, namun dari siapapun, dari manapun, dan kapanpun, untuk ‘membantu’ brand yang mereka observasi ini, untuk punya cara komunikasi di media digital yang lebih baik, yang sesuai dengan target audience yang seusia mereka.

Intinya, saya menyesuaikan diri dengan mereka, dan demikian juga mereka ke saya. Dan dalam skala besar, kami sama-sama menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak mudah ini. Kondisi yang sulit ini pun saya yakin akan memberikan pengalaman yang luar biasa buat kami. Hingga nanti perkuliahan tatap muka dimulai, mudah-mudahan di tahun 2021 yang akan datang, saat perkuliahan masih dijalani dengan sistem PJJ, kami harus bisa menikmati, dan mensyukuri apa yang kami punya dan dapatkan di tahun 2020 ini. Tahun untuk banyak bersyukur akan apa yang masih kami punyai. Mudah-mudahan, saat perkuliahan offline dimulai, kami tidak merasa kikuk, aneh, saat sudah terbiasa saling melihat via layar laptop, kini benar-benar bertemu muka. berinteraksi seperti dulu kembali.
Terima kasih sudah berkenan membaca, silahkan lanjut ke tulisan bagian kedua disini.
7 Comments Add yours