“Terima kasih ya, Pak Yoga. Sudah meluangkan waktunya, berbagi dengan adik-adiknya, baik yang masih maba maupun yang sudah menjalani masa kuliah”, ujar Ibu Risna Wijayanti, SE., MM.,Ph.D. selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, menutup sesi Zoominar kedua, yang menghadirkan saya selaku pembicara, tanggal 5 Oktober 2020 yang lalu. Bu Risna belum pernah mengajar saya, saat saya masih duduk di bangku kuliah dulu. Beliau lebih banyak bertemu dengan mahasiswa dari konsentrasi manajemen keuangan, dan mungkin mereka yang memilih jurusan akuntansi.
Kutu buku, panggilan saya untuk mereka yang saat kuliah dulu mengambil akuntansi atau manajemen keuangan 🙂

“Sama-sama, Bu Risna. Terima kasih juga saya sampaikan ke semua bapak/ibu dosen yang terlibat dalam acara ini, sudah berkenan mengundang saya, yang sebenarnya biasa-biasa saja, karena masih banyak lulusan FEB Universitas Brawijaya yang lebih cemerlang”, balas saya.
Bukannya saya sok merendah. Tapi sebenarnya saya pun merasa bukan apa-apa, jika dibandingkan dengan lulusan almamater saya lainnya, dalam satu angkatan sekalipun, misalnya. Dan sungguh suatu kehormatan untuk saya, mahasiswa angkatan 1998, yang cenderung biasa-biasa saja, yang bukan lulusan yang exceptional, bukan peraih summa cum laude, yang saat wisuda dipanggil pertama kali, dan duduk di deretan paling depan.

Saya duduk di deretan tengah, bersama-sama dengan teman-teman seangkatan, yang saat itu mungkin punya pikiran sama. Habis ini kita bakal kemana? Kita mau kerja apa? Bakalan masih di Malang atau bakalan merantau, meninggalkan rumah yang sudah menaungi sejak kecil? Muka-muka yang terlihat bahagia karena sudah lepas dari bangku kuliah, namun bingung bakalan menjalani kehidupan yang seperti apa setelah ini. Meskipun saya duduk di barisan tengah, namun saya yakin, kedua orang tua saya, yang menunggu di bangku khusus orang tua di belakang (bukan bangku kehormatan di depan tentunya), pasti akan menyambut saya dengan tatapan mata bangga.

Oh ya, tentang keresahan kehidupan apa setelah kami diwisuda, untuk saya sendiri sudah sedikit terjawab. Saya saat itu, sudah bekerja sebagai salesman Harian KOMPAS, sejak tahun 2001. Saya bekerja sebagai Customer Promotion Representative (CPR), yang tugasnya sehari-hari adalah mengetuk pintu satu ke pintu lainnya, menawarkan ke warga Kota (dan kadang Kabupaten ) Malang untuk mau berlangganan harian KOMPAS. Saya sangat mengandalkan motor kreditan saya, Honda Supra N 5132 CY, yang uang mukanya dibayarkan dulu oleh orang tua saya, dan cicilan saya bayar dari gaji bekerja di KOMPAS ini. Saya keluar rumah setiap pagi, pukul 05.00 WIB, untuk bergelut dengan jalanan, bersama-sama dengan teman-teman satu team melakukan prospek ke calon pelanggan koran nasional ini.
Banyak sedihnya, tapi tentunya tak kurang merasakan bahagia. Apalagi kalau kami sudah berkumpul dan bercanda, seolah lupa dengan segala kekurangan dan kebutuhan yang harus kami penuhi. Sebagian besar dari kami yang ada di foto di bawah masih single saat itu, namun dua orang rekan sudah berkeluarga dan sudah punya putra putri. Salah satunya, mas Wawan (bertopi biru), sudah almarhum.

“Saya sudah lulus sekarang, saya sudah sarjana”, ujar saya dalam hati. Artinya, saya harus memulai langkah menjadi orang dewasa yang mandiri. Yang tidak lagi minta uang saku ke orang tua, namun tangan saya berbalik untuk memberi sekarang. Mulai berpikir bagiamana caranya menjadi penyedia untuk keluarga. Menyingkap rahasia hidup, satu per satu.
Karenanya, saya mengambil keputusan untuk mundur sebagai salesman surat kabar, dan mulai mencari peluang untuk kehidupan yang lebih baik. Suatu keputusan yang akan saya sesali, karena selepas mundur dari KOMPAS, saya merasakan bagaimana rasanya menjadi pengangguran. Usia saya sudah menginjak 23 tahun saat itu.
Ada momen-momen yang membuat saya merasa sedih, salah satunya saat saya kenal baik dengan penjaga parkir motor di Kantor Pos Besar Malang. “Masih wara-wiri aja, mas? Belum dapat kerja ya? Mending saya ya, jelek-jelek begini sudah kerja”, ujarnya bercanda saat melihat saya kembali membawa beberapa amplop coklat yang tentunya berisi surat lamaran kerja, CV, fotokopi ijazah dan transkrip. “Ya kalau saya udah kerja, gak bakalan ketemu sampeyan lagi di sini, paklik. Sampeyan dungakno ae (minta doanya saja)”, balas saya, sambil masuk dan kembali mengantri untuk mengirimkan surat-surat lamaran kerja tersebut.

Setelah puluhan surat lamaran kerja (masih dibiayai oleh orang tua saya tentunya) dikirimkan, akhirnya panggilan wawancara kerja datang juga. Dari salah satu perusahaan nasional, sebuah perusahaan consumer goods terkemuka di Indonesia, yang bergerak di bidang makanan beku. Saya diterima bekerja di PT Campina Ice Cream Industry (saat itu belum berstatus Tbk). Cerita flash back ini sudah beranjak masuk tahun 2005, artinya saya sudah melewati waktu 2 tahun lebih menganggur, pindah-pindah kerja beberapa kali di kota Surabaya selama beberapa bulan saja, yang lumayan untuk latihan mengatur keuangan sendiri.

Tahun ini, sudah 15 tahun saya bekerja di perusahaan ini. Mengamati perusahaan ini berkembang, dari hanya belasan kantor cabang saja, hingga kini punya kurang lebih tujuh puluh lima kantor cabang di Indonesia. Dari kendaraan supervisor ‘hanya’ mobil bak Mitsubishi L 300 warna kuning, hingga kini kendaraan dinas karyawannya sudah sangat proper. I watch this company grow so well. Perusahaan yang sudah ada dari tahun 1972, yang bertahan hingga saat ini, menghadapi situasi pandemi Covid-19, yang tentunya sangat berpengaruh terhadap bisnisnya. Kenapa begitu? Karena es krim di periode sekarang termasuk ke barang tersier kembali. Konsumen cenderung akan memenuhi kebutuhan pokoknya dahulu, setelah tercukupi dan masih punya budget lebih, baru bisa beli produk makanan yang sifatnya memanjakan, seperti es krim, untuk dinikmati bersama dengan keluarga. It’s tough, but we’ll survive this together.

Saat saya hendak menikah pun, salah satu sesi foto pre-wedding saya bertemakan Campina. Foto diambil di kantor perwakilan Campina Malang, bulan Desember 2007, dengan latar belakang freezer-freezer es krim yang sudah rusak. Saya menikah di tanggal 13 April 2008, di tahun ketiga saya bekerja di Campina, saya masih menjabat sebagai Trade Marketing Supervisor saat itu.

Jadi, kenapa saya bercerita tentang sejarah hidup saya? Karena di sesi berbagi yang pertama ini (untuk sesi kedua, bisa dibaca disini), saya diminta berbagi tentang “Bagaimana Menjadi Mahasiswa yang Cemerlang, dan Lulusan yang Berhasil”. Sebuah judul yang sangat memberikan saya beban. Bagaimana tidak? Saya sangat jauh untuk disebut mahasiswa cemerlang. Lulusan yang berhasil? Masih banyak lulusan FEB Unibraw yang jauh-jauh lebih berhasil daripada saya, dengan segudang pencapaian dan keberhasilan. Saya? Lulus cukup dengan IPK 3.20 (dari skala 4.0), cenderung biasa-biasa saja saat menjadi mahasiswa, bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan basket.

Yup, saya pernah punya mimpi menjadi pemain basket profesional, bahkan pemain nasional. Namun, melihat tinggi saya yang hanya 177cm dan bermain di posisi power forward (penyerang yang posisinya dekat dengan ring lawan, yang pada umumnya dijaga oleh yang berpostur tinggi besar), dan skill juga speed yang pas-pasan, saya dengan sadar harus merelakan mimpi menjadi pemain basket. Alih-alih, harus fokus ke kuliah, lulus, dan menjadi seorang profesional. Seorang karyawan.

“15 tahun bekerja di Campina dapat apa saja? Ngapain aja bisa sampai selama itu?”
Dua dari pertanyaan yang sering diajukan ke saya, terutama dari mereka yang jauh lebih muda. Saya dapat apa saja? Saya bisa jawab demikian; saya mendapat banyak ruang untuk berkembang selama 15 tahun bekerja di sini. Kesempatan untuk membuktikan diri, menjual ide dan diberikan kepercayaan untuk mengeksekusi ide.
Ngapain aja selama itu? Saya memanfaatkan dengan baik kesempatan untuk merancang career path saya sendiri, sehingga 2 posisi terakhir saya, Trade Marketing and Communications Officer (2010-2012), dan posisi saya sekarang, Marketing Communications Manager, yang dipercayakan ke saya tahun 2012, adalah karena keterbukaan manajemen akan ide-ide segar dari karyawannya. We want to grow from within, kata Pak Adji Andjono, Sales and Marketing Director Campina saat itu, semasa masih menjabat sebagai National Sales & Marketing Manager.

Kesempatan juga diberikan ke saya dalam bentuk izin untuk menempuh studi S2, tahun 2013-2015 di Universitas Mercubuana Jakarta. Saya mengambil paket kelas karyawan. Bukan, perusahaan tidak mendukung secara finansial, memberikan beasiswa karyawan atau apa, tapi lebih ke kemudahan izin, misalnya saat saya perlu pulang lebih cepat untuk mengejar jam kuliah malam.
Beban biaya kuliah selama 2 tahun, dibagi menjadi biaya per bulan, sehingga agak ringan untuk saya cicil. Belajar sambil bekerja. Not bad. Sampai saya mendapatkan tawaran mengajar di semester 2, tahun 2014. Belajar, bekerja, dan mengajar. It turns bad. Kenapa? Karena tentunya saya harus juggling di 24 jam yang saya punya dalam sehari, 7 hari dalam seminggu.
Berusaha tetap optimal dalam menjaga performa kerja, mengejar deadline pengumpulan tugas-tugas kuliah dan membaca-mengulang materi kuliah kembali, dan tentunya mempersiapkan materi mengajar. Saya ingat, semester 1 adalah masa penyesuaian saya, yang saya rasa agak berat. Saat itu, saya hanya belajar sekedarnya, kadang hanya saat kuliah, di akhir pekan saja. Diluar waktu kuliah (hari Sabtu, pukul 07.30 s.d 16.00 WIB), praktis saya habiskan untuk kerja dan istirahat saja. IP semester pertama saya ingat ‘hanya’ 3.50 saja. Kenapa saya sebut ‘hanya’? Karena kebanyakan IP teman-teman saya diatas 3.75. Bahkan ada yang 4.00.
“Wah, tidak bisa dibiarkan begini terus”, pikir saya. Di semester kedua, saya sudah menemukan ritme belajar dan bekerja. Saya ambil waktu belajar di malam hari, sepulang kerja. Atau saya balik, saya tidur dahulu, lalu bangun jam 02.00 WIB, buka-buka buku kembali, mengulik materi kuliah yang sempat saya simpan di laptop. Dan lanjut bekerja di pagi harinya. Alhasil, IP saya sempurna di semester dua, 4.0. Not bad, lah. Sampai panggilan mengajar di FISIP Universitas Indonesia tiba, bulan Juni 2014.

Undangan mengajar yang datang dari Ketua Departemen Komunikasi FISIP UI, Mbak Clara Endah Triasturi (Titut), via Facebook Messenger, langsung saya tunjukkan ke Pak Adji, yang kebetulan sedang duduk berhadapan dengan saya, langsung meminta izin dari beliau. Ujar beliau: “Yog, you boleh mengajar, tapi hanya satu tempat, dan satu mata kuliah saja”, setelah beliau berpikir sejenak.

Baiklah, izin dari manajemen sudah didapat. Kemudian, lanjut memikirkan akan berbagi apa selama satu semester ini, tentang digital marketing. Hal yang di tahun 2014 masih belum terlalu banyak yang mendalami, dan sayapun hanya tahu sekedarnya. Learning by doing. Demikian juga dengan bagaimana mempersiapkan konten untuk dibagikan. Merancang konteks agar menarik buat anak-anak mahasiswa, dan cara delivery yang membuat proses berbagi terjadi dua arah. Saya membagikan apa yang saya tahu kepada mereka, dan lewat feed back mereka, saya jadi lebih tahu bagaimana anak-anak muda ini berinteraksi lewat digital media, menggunakan social media untuk mengekspresikan diri mereka, dan lain sebagainya. Sebagai perwakilan dari brand, tentu saja hal ini sangat menyenangkan. Bisa memperkaya saya dalam belajar digital marketing.

Beratnya menjalani tiga kehidupan; mengajar-kuliah S2-bekerja selesai saat sudah masuk semester 4, dimana tinggal 2 mata kuliah saja, salah satunya tesis. Karena banyak waktu luang. Praktisnya, kuliah hanya sekali seminggu saja, dan hanya sesekali bertemu di kelas untuk progress dan review tesis, dengan dosen pembimbing saya , Dr. Adi Nurmahdi. Judul penelitian saya: “PENGARUH KEGIATAN PEMASARAN DIGITAL DAN PERILAKU ONLINE KONSUMEN PADA PENINGKATAN KESADARAN KONSUMEN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN VIA WEBSITE” (STUDI KASUS PADA E-COMMERCE WEBSITE PT. CAMPINA ICE CREAM INDUSTRY)
Selama menyelesaikan tesis selama 6 bulan di semester terakhir studi S2 saya, banyak bantuan saya dapatkan dari perusahaan. Data-data penjualan, data-data pelanggan, strategi digital marketing dalam mendatangkan awareness, mengundang engagement, dan sekaligus menciptakan sales leads, hingga ke action (purchase), dan repurchase. Buat saya, proses menyusun tesis ini sangat menyenangkan. Di sisi HR, tesis yang sudah selesai saya susun ini, menjadi bagian dari knowledge management perusahaan. Satu salinan tesis saya disimpan di lemari HRD, dan satu lagi saya serahkan ke salah satu direksi, putra dari founding father perusahaan ini. Sebagai ucapan terima kasih.
Kesimpulannya, meneliti perusahaan tempat bekerja membuat kita menerima sebuah kemewahan dalam mendapatkan akses ke data-data, dan tentunya dalam izin dan sepengetahuan manajemen. Untuk studi S1 dan S2, saya mendapatkan kemewahan ini.

Dan mudah-mudahan sama nanti kalau saya masih diberikan umur dan kesempatan untuk mendapatkan gelar S3 saya, yang sempat gagal di tahap seleksi. Semoga!

Kembali ke sesi berbagi, sebenarnya hal-hal yang saya tulis diatas, masuk ke materi presentasi saya. 50% materi menceritakan sejarah hidup saya dulu, lini masa saya dari usia 0-25 tahun yang saya habiskan di Kota Malang, dari sekolah hingga lulus kuliah. Dan saat saya menginjak 25-40 tahun, dimana saya habiskan di perantauan, sejak saya single hingga menikah. 50% materi saya lainnya perkembangan karir saya, apa saja kunci-kunci sukses saya hingga saat ini, dan ditutup dengan pesan-pesan saya ke para maba; “Apa Yang Ingin Kamu Sampaikan ke Diri Kamu, Saat Masih MABA Dulu? ”

Setiap semester pun, secara tersirat, saya berusaha memberikan pesan-pesan positif, semacam life lessons. Saya sampaikan ke mereka, seperti halnya saya ingin menyampaikan pesan ke saya, di versi yang lebih muda. Pastinya, di usia mereka, saat duduk di semester 5, pasti merasakan hal-hal yang dulu saya rasakan. Nantinya mau lulus dengan jalur apa, apakah skripsi, ataukah lewat tugas karya lain? Apa-apa saja yang perlu diketahui dan dilakukan sebelum mereka lulus kuliah agar mudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka, yang pasti unik, berbeda dari yang lainnya. Di Zoominar berbagi ini, saya menyampaikan pesan dan pengalaman ke para mahasiswa baru, masa-masa yang saya alami sendiri 22 tahun yang lalu:
- Pilih yang sesuai minat dan keinginan kalian, bidang ilmu yang kalian bisa nikmati.
- Matematika, MS Excel, dan Statistik adalah tiga bidang ilmu yang akan terus kalian temui sampai kapanpun.
- Jangan dihindari, pelajari bidang ilmu diatas, dan bila perlu perdalami meskipun kalian mengambil konsentrasi Manajemen Pemasaran, misalnya.
- Jangan melulu fokus pada IP dan IPK, sampai lupa menambah value diri.
- Pintar-pintarlah bergaul, jalin networking sejak kalian muda.
- Aktif dalamorganisasi, ambil tantangan memimpin divisi bila perlu.
- Punya habit menabung sejak muda. Bila perlu pelajari investasi sejak dini.
- Tugas mahasiswa adalah belajar, fokus!
- Perkaya pengalaman di luarkampus, ambil praktek magang, atau kerja paruh waktu.
- Magang atau kerja paruh waktu penting untuk belajar dan mengasah beragam soft skill.
- Kelola akun Linkedin sejak dari masa kuliah, dan pelihara kualitas konten yang kalian unggah di media sosial.
Life lessons yang saya bagikan ke teman-teman mahasiswa baru ini tentunya sangat berbeda sudut pandangnya jika diambil dari pengalaman rekan saya yang lain, yang bekerja di sektor industri yang lain, atau dari mereka yang sering berpindah-pindah perusahaan. Namun yang menurut saya sama, adalah semangat untuk terus melanjutkan hidup. Karena seburuk apapun masalah yang diujikan ke kita, hidup masih terus berjalan. Kita masih punya tanggung jawab masing-masing, keluarga yang harus kita penuhi kebutuhannya, bahkan sesederhana cicilan-cicilan yang harus kita lunasi.
Yang kedua, saya sampaikan bahwa kita semua dikaruniai dengan talenta yang unik, dan kecepatan yang berbeda-beda. Kecepatan dalam banyak hal, salah satunya dalam perkembangan karir. Saya ambil contoh, saat saya masih menjabat sebagai Key Account Supervisor, saya bertemu dengan senior saya di kampus, rekan main basket saya, yang saat itu sudah menjabat sebagai seorang manager di perusahaan sesama pemain consumer goods. “Wah, sesama kampus tapi beda nasib, ya?”, kelakar rekan saya sekantor. “Hehe, iya ya?”, balas saya. Ujar saya dalam hati, kemampuannya tentu jauh lebih baik dari saya. Terus, apa yang bisa saya lakukan agar bisa punya performa yang sama?
Long story short, kami bertemu kembali. Saat saya sudah si posisi sekarang, sudah lulus S2, dan sudah menjadi dosen tidak tetap. Rekan saya sudah menjadi director di salah satu marketing research company. Dan dari obrolan tersebut, saya baru sadar, bahwa perjalanan saya dan rekan saya ini sudah dirancang sedemikian rupa, dengan skill set, knowledge, dan experience yang berbeda. Dan satu lagi, kecepatan dalam perkembangan karir yang berbeda juga.

Jadi, pesan saya ke rekan-rekan mahasiswa baru dan mahasiswa lama yang hadir di sesi Zoominar saya, nanti kalau ada rekan sesama mahasiswa yang lebih dahulu sampai di taraf dan tahapan hidup yang lebih tinggi, jangan pernah merasa iri. Atau punya pikiran aneh-aneh, menuju negatif. Toxic buat diri kita, lebih menyalahkan keadaan, dibanding melihat ke dalam, dan apa yang kita punya di luar diri kita, termasuk potensi-potensi diri yang belum kita temukan untuk dikembangkan.
Dan mungkin pesan yang paling saya highlight adalah: jangan lupa jadi orang baik. Sepintar apapun, sekaya apapun, dan sehebat apapun, selalu sediakan ruang untuk membantu orang lain. Terutama mereka yang mungkin tidak bisa membalas kebaikan kita.
One Comment Add yours