Saat ini, Instagram menjadi salah satu platform media sosial paling populer di Indonesia, dan dunia. Di Indonesia saja, anak-anak muda yang menjadi kontributor traffic dan daily active user-nya kian tak bisa lepas dari smartphone-nya. They always check their Instagram account. Dan mungkin notifikasi dari Instagram di bagian atas layar smartphone-nya menjadi hal yang sangat menarik, sehingga wajib untuk segera dicek, dibanding notifikasi WhatsApp dari si bos, atau dari dari group WhatsApp kantor, dan bahkan notifikasi Facebook, atau Twitter.
Bahkan saya pun sudah mencoba dan mengalami sendiri. Kadang, saya chat team saya (yang kebanyakan Gen Y) via WhatsApp, meskipun tidak terlalu urgent, bisa jadi baru dibaca (dan dibalas) keesokan harinya. Entah karena notifikasi WhatsApp chat belum dibuka di smartphone mereka sudah terlalu banyak (kebanyakan datang dari grup-grup WhatsApp), sehingga malas membuka aplikasi chat terpopuler ini. Alih-alih, jika saya chat mereka via pesan langsung (DM/direct message) Instagram, mereka cenderung lebih cepat merespon.
Jadi, dari sini saya bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa hidup anak-anak muda ini ada di Instagram. Jika dirunut dari paling atas, berdasarkan pengamatan saya, aktivitas mereka di Instagram antara lain:
- Cek unggahan-unggahan Instagram (IG) Stories
- Mengunggah konten di IG Stories setidaknya 1 kali sehari
- Cek postingan Instagram Stories-nya sendiri sudah dilihat oleh berapa user, dan siapa saja.
- Catatan: apalagi kalau akunnya sudah diubah menjadi akun bisnis, mereka bisa lihat berapa banyak engagement terjadi atas unggahan mereka (berapa banyak kunjungan ke profil, berapa banyak yang tap sticker, berapa yang langsung exit dari unggahan IG Stories pertama, dan lain-lain)
- Cek feed/timeline, atau tampilan utama Instagram
- Cek halaman search atau explore, yang memungkinkan mereka bisa melihat unggahan-unggahan yang sesuai dengan interest mereka-dari akun-akun yang belum mereka follow, yang disukai oleh teman-teman mutual mereka, dan yang disukai oleh pengguna Instagram yang lain (trending)
- Mengunggah konten di feed Instagram (dan terkadang ‘menginklankannya di IG Stories)
Itu tadi enam aktivitas utama yang dilakukan oleh adik-adik pengguna Instagram, dimana aktivitas pertama; cek IG Stories, bisa menjadi aktivitas yang sangat ‘menyita waktu’. Saya biasa melihat anggota team saya pun, layar smartphone-nya hampir pasti menunjukkan halaman demi halaman IG Stories akun-akun yang mereka follow. Tak jarang (dengan tersambung ke wi-fi tentunya), layar mereka dibuka dan terus memainkan tayangan IG Stories sambil mereka bekerja. Hingga habis dan mulai dari awal kembali. Kata kunci FOMO masih relevan sampai sekarang, fear of missing out, alias takut ketinggalan update.
Di Instagram pun, disediakan fitur video call. “Ya kalau di IG ada semuanya, ngapain saya harus pakai Whatsapp, mas?”, ujar seorang rekan muda menjawab pertanyaan saya, kenapa kok tidak punya Whatsapp. Make sense. Because Instagram pretty much provides almost everything. Termasuk fitur search, yang berlaku sebagaimana Google di universe-nya. Cari informasi apapun hampir bisa ditemukan di Instagram. Mau akun selebritis, pemain bola atau pemain basket ternama, brand/merek, online shop, e-commerce, instruktur senam/kebugaran, dan masih banyak lagi.
Lalu kalau ditanya, apa alasan utama kamu main Instagram?
Tentunya jawaban yang keluar akan sangat beragam ya. Kalau dari saya, ada beberapa jawaban kenapa saya menggunakan Instagram;

- Personal branding, saya unggah foto-foto yang saya urutkan secara kronologis, dengan caption panjang, yang saya bagi menjadi tiga bagian; opening, main story, dan hashtag, untuk mendukung profile Instagram for Business saya sebagai seorang writer.
- Secara sederhana, untuk menunjukkan saya ingin dikenal sebagai apa, sebagai siapa.
- A family man, digital marketing and marketing communication enthusiast, sports enthusiast, part-time lecturer, dan a traveler (dalam skala kecil).

- Terhubung dengan teman-teman lama, keluarga, dan teman-teman lainnya dalam circle yang berbeda-beda (meskipun saya belum pernah membuat close circle).
- Terhubung dengan sosok-sosok inspiratif, yang tentunya sesuai dengan interest saya.
- Terhubung dengan mahasiswa-mahasiswi Komunikasi FISIP Universitas Indonesia yang pernah mengikuti kelas Pemasaran Digital Terpadu saya, atau yang tugas akhirnya pernah saya bimbing.
Dan boleh dibilang lingkaran pertemanan saya di Instagram hampir 30% adalah para mahasiswa dan mahasiswi saya, dimana kami saling follow (atau istilah kekiniannya: mutualan). Kebiasaan kami saling follow ini biasanya saya lakukan menjelang perkuliahan berakhir. Karena saya paham, akan sangat awkward kalau sudah saling follow di awal perkuliahan. Mereka pasti tidak bebas untuk membuat IG Stories tentang saya, kalau sudah saling follow. I gave them the space. Ini bukan karena saya ‘ge-er’, tapi saya paham kok kalau ada mahasiswa yang merekam kegiatan saya selama di dalam kelas 🙂
Dan sebagai marketer, interaksi ini juga saya anggap sebagai observasi. Tentang bagaimana anak-anak muda ini menggunakan media sosial, dan berinteraksi antara mereka
Jadi, kenapa harus mutualan di Instagram?
Sebenarnya bukan Instagram saja kok, tapi juga kebanyakan terhubung dengan saya di Linkedin. Dan beberapa terhubung dengan saya lewat Facebook. Dan alasan kenapa harus mutualan, karena saya ingin menyaksikan perkembangan diri mereka. Melihat mereka satu per satu lulus, hadir di kampus dengan kebaya lengkap untuk rehearsal wisuda dan wisudanya, dan kemudian melihat mereka update pekerjaan pertama mereka, suasana kantor mereka, hingga perkembangan karir (dan percintaan) mereka. Promosi ke posisi baru, atau berpindah pekerjaan. Sering saya berpikir bahwa hal ini adalah semacam ‘after sales service’ saya, atas apa yang saya berikan di kelas.


Sebagai pengajar, saya senang kalau apapun yang saya bagikan di kelas (materi kuliah atau sekedar pengalaman hidup) bisa bermanfaat untuk mereka di dunia kerja. Dunia yang sebenarnya. Tahu dari mana? Beberapa dari mereka yang menyampaikan sendiri ke saya, via DM atau lewat kolom komentar di unggahan feed saya. Satu lagi, karena terhubung di Linkedin, mudah bagi saya untuk menemukan update pekerjaan mereka. Dan selalu saya sempatkan untuk mengucapkan selamat atas pencapaian-pencapaian mereka, dan juga tak jarang kami saling mengucapkan selamat ulang tahun, di hari ulang tahun kami.
Dan interaksi saya dan mahasiswa-mahasiswi lainnya adalah permintaan pembuatan recommendation letter, untuk kegiatan student exchange ke luar negeri, maupun untuk studi S2-nya di dalam maupun di luar negeri. Sederhananya, saya diminta untuk menulis surat rekomendasi yang menyatakan bahwa si mahasiswa/mahasiswi layak untuk mendapatkan beasiswa belajar tersebut. Tentang kapan saya mengenal dan berapa lama saya mengenal mereka, apa highlight prestasi yang saya ingat tentang mereka selama kuliah dan berinteraksi dengan saya, baik di dalam kelas, atau saat menjadi mahasiswa/mahasiswi bimbingan, untuk tugas karya akhir mereka.
Salah satunya adalah Brenda Gabriella, mahasiswi yang pernah mengikuti kelas saya, di tahun 2014. Di tahun pertama saya mengampu mata kuliah Pemasaran Digital Terpadu. Tahun yang saya anggap sangat berat. Karena saat itu, saya harus menjalani tiga kehidupan; sebagai seorang pekerja, seorang pengajar, dan mahasiswa post-graduate yang tengah menyelesaikan studi S2-nya. Brenda ingin melanjutkan studi S2-nya di luar negeri, karena motivasi belajarnya yang masih tinggi, meskipun saat ini dia sudah punya karir yang cukup ok di dunia perbankan.

And so far, this kind of interactions excite me much! And those kinds of relationship and interaction between me and my students is one of the main reason why I still open my Instagram app several times a day. Maybe a hundred times a day!