Refleksi Saya, Lima Belas Tahun Berkarya di Satu Perusahaan

Why an employee can last more than 15 years in a single company?

Gaji yang ok, tunjangan yang cukup, dimana tujangan kesehatan bisa cover semuanya termasuk dokter gigi-dokter mata dan pengobatan untuk penyakit-penyakit kelas berat jika (amit-amit) terjangkit? Atau fasilitas mobil dinas dengan reimbursement tol, parkir, dan food allowance? Atau kesempatan luas yang diberikan perusahaan untuk berkembang? Diikutkan atau disetujui pengajuannya untuk bisa ikut di berbagai seminar, workshop, dan hak belajar lainnya untuk mengejar gap skill dan knowledge yang dirasa ada? Atau diberikan ijin untuk terkadang pulang kerja lebih cepat karena harus mengejar jam kuliah, saat si karyawan mengambil kuliah S2? Dapat fasilitas laptop dan internet dari perusahaan? Promosi secara berkala karena kita bisa menunjukkan performa kerja yang ciamik? Ataukah karena lingkungan kerja yang sehat dan supportif, tidak ada saling sikut antar sesama rekan kerja hanya untuk mendapatkan perhatian dari si bos? Atau karena lokasi kantor yang cukup dekat dengan rumah, tidak membuat kita terpaksa harus menempuh perjalanan berjam-jam menembus kemacetan, mengakali jalur ganjil-genap di setiap pagi pukul 06.00-10.00 WIB dan 16.00-21.00 WIB di saat pulang kantor? Atau, karena  perusahaan sangat concern terhadap pengembangan diri karyawan, sehingga diberikan izin untuk mengaplikasikan street smart & school smart-nya sebagai dosen tidak tetap di perguruan tinggi?

Well, mungkin itu beberapa jawaban dari karyawan yang ‘baru’ berkarya di satu perusahaan yang sama selama 15 tahun. Lalu, bagaimana perspektif berkarya dari seorang karyawan yang sudah bekerja di satu perusahaan yang sama selama 48 tahun? Just stick around, we’ll get to that point. Just keep reading.

Saya masih ingat pertama kali mendapatkan panggilan wawancara di sebuah pabrik es krim, di kawasan industri Rungkut, Surabaya. Bertatap muka dengan seorang staff HRD (yang kini memimpin divisi HRD di perusahaan ini), ngobrol-ngobrol ringan sebentar seputar aktivitas basket saya dan NBA (what a random scene), sebelum saya diantarkan masuk ke sebuah ruangan untuk bertemu dengan beberapa pejabat perusahaan. A user interview. Then, snap! Tahu-tahu saya sudah 15 tahun lamanya bekerja di perusahaan ini. Dan tanggal 5 Maret 2005 saya menandatangani kontrak kerja untuk pertama kalinya. Masuk dari entry level, sebagai management trainee.

15 tahun, man! Tidak pernah menyangka bakal bisa bertahan selama ini. Dan di tanggal 5 Maret 2020 yang lalu, entah karena semesta mendukung atau bagaimana, saya merayakan ulang tahun bekerja saya di pabrik es krim itu, dimana semuanya dimulai. Cara saya merayakannya pun sedikit berbeda. Saya disana untuk mewawancarai seorang karyawati, yang sudah bekerja di perusahaan ini, bahkan sebelum perusahaan ini didirikan, untuk sebuah corporate communication project. Beliau sudah bekerja bahkan sebelum nama perusahaan CV Pranoto ada. CV Pranoto adalah cikal bakal PT Campina Ice Cream Industry Tbk, yang didirikan 48 tahun yang lalu. Dan si karyawati ini, sudah bekerja sebelum CV Pranoto ada, bekerja sebagai asisten Pak Darmo Hadipranoto, founding father perusahaan ini. Inilah Ibu Lanjar, saya perkenalkan dengan beliau.

Ibu Lanjar, living legend di Campina factory

Beliau mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Bapak Darmo Hadipranoto sejak usia yang sangat belia, 17 tahun. Bu Lanjar muda, datang dari kota kelahirannya, Magetan-Jawa Timur, untuk merantau ke Kota Surabaya saat itu. Jika sekarang usianya 62 tahun, maka beliau datang ke Surabaya tepat di tahun dimana perusahaan ini didirikan, tahun 1972. Sebagai seorang asisten rumah tangga, beliau cukup diperhatikan oleh Ibu Pranoto, sehingga kemanapun Ibu Pranoto pergi, biasanya ditemani Bu Lanjar. Demikian juga dengan Pak Pranoto, beliau menaruh kepercayaan lebih ke beliau, salah satunya sebagai orang yang mencampur adonan es krim rasa vanila dan coklat, saat pertama kali membuat es krim tersebut di rumahnya. Pak Pranoto membuat es krim awalnya sebagai bentuk kasih sayang kepada putra-putrinya. Dan karena rasanya enak, disarankankan untuk menjualnya saja. Singkat cerita, demikian sejarah awal bagaimana es krim Campina pertama kali dibuat. Menjualnya pun saat itu tidak bisa jauh-jauh, hanya dijajakan di sekitar rumah beliau dengan cara berkeliling dengan sepeda. Es krim yang sudah punya merek Campina itu disimpan dalam kotak pendingin khusus, dengan dry ice, selama dijajakan.

Saya bersama Bu Lanjar, di satu sudut factory selepas sesi wawancara

Lalu, bagaimana perspektif bekerja dari seorang karyawati yang sudah bekerja selama perusahaan ini berdiri? Tentu banyak kisah-kisah inspiratif yang dapat dipetik, terlebih apabila dibandingkan dengan saya yang baru bekerja selama 15 tahun ini. Banyak pengalaman dan cerita dari dalam hati tercurah, pahit dan manis, senang dan sedih, bangga dan galau, semuanya campur aduk jadi satu.

Bu Lanjar di sela-sela kesibukannya

Jika yang masih berkarya selama 15 tahun ini masih bisa merasakan peningkatan karir, lain halnya dengan yang sudah 48 tahun. Sudah merasakan bagaimana rasa bangganya naik jabatan, dan kecewanya turun jabatan. Dipercaya memegang team, lalu merasakan team member-nya diambil, dialihkan ke divisi lain, dan akhirnya merasakan dirinya melakukan pekerjaan yang sebenarnya less significant.

Secara umum, tidak berbicara di satu lingkup perusahaan saja, demosi tentunya terjadi karena berbagai alasan. Karena kompetensi yang disitu-situ saja, atau karena performa kolega lain yang lebih ‘moncer’, karena si kolega banyak menginvestasikan banyak hal ke dirinya. Rajin baca buku, memafaatkan internet untuk memperkaya wawasan, rajin ikut webinar gratis untuk mendapatkan ilmu dari para ahli yang sesuai dengan minatnya, sampai rela menginvestasikan uang, waktu, dan tenaganya untuk kuliah S2. Atau karena tiba-tiba datang anak muda lulusan luar negeri, sudah punya pengalaman bekerja di luar negeri, di  sebuah perusahaan multinasional, misalnya, yang langsung ditempatkan sebagai kepala di divisi tempat kita bekerja. Namun sebelum lebih jauh, di tulisan ini saya mencoba untuk tidak melihatnya dari sisi itu, karena saya khawatir tulisan saya menjadi judgemental untuk karyawan yang karirnya sudah mentok di satu titik.

Satu hal yang saya kira sama-sama kami miliki, saya dan Bu Lanjar, adalah rasa hormat terhadap perusahaan yang sudah menaungi kami selama kami terdaftar sebagai karyawannya. Janji saya kepada si HRD Manager pun demikian; kalaupun saya mau keluar dari perusahaan ini, setidaknya sedang dalam proses rekrutmen dengan perusahaan lain, saya pastikan beliau tahu. Saya tidak mau seperti ‘pencuri’ yang datang dan pergi di malam hari. Datang tampak muka, pulang tampak punggung. Saya tidak mau tahu-tahu menyodorkan surat pengunduran diri, untuk setidaknya memberikan waktu perusahaan mempersiapkan semuanya selama satu bulan sebelum saya resmi keluar.

Employee is always replaceable

Saya setuju dengan quote diatas, bahwa sejago apapun kita di perusahaan kita, kita tetap akan (dengan mudah) digantikan. Karena rasanya tidak ada perusahaan yang terganggu bisnisnya karena hengkangnya satu karyawan. Hal ini terjadi karena pasti perusahaan sudah punya contingency plan apabila satu atau dua hal terjadi. Prinsipnya, roda bisnis perusahaan tidak boleh terganggu. Dan hal ini pun membuat saya berpikir, ini bukan tentang perusahaan tempat kita bekerja, tapi lebih ke bagaimana mengelola peluang kita agar tetap punya kontribusi ke perusahaan. Dimanapun. Dari sisi saya, saya selalu menantang diri untuk mencari dan menemukan ide-ide baru, dengan melakukan hal-hal yang tidak banyak karyawan lain lakukan. Jika hot prospect untuk karir ada di divisi penjualan, coba cari ‘tempat bermain’ lain, dimana belum banyak karyawan lain ketahui, dan dorong diri anda untuk menjadi jago di bidang tersebut. Do the blue ocean strategy!

Saya pribadi memilih komunikasi pemasaran sebagai tampat bermain. Di area ini, saya bisa dengan leluasa mengembangkan diri saya; menjadi penyampai pesan yang baik-verbal dan tulisan, menjadi penyedia konten untuk kebutuhan corporate communication dan marketing communication, belajar tentang media sosial dan cara menggunakannya untuk bukan sekedar berkomunikasi, tapi juga menciptakan sales leads, mempelajari seluk beluk marketing event, dari persiapan, eksekusi, hingga post-event,  dan jika diperlukan, menjadi juru bicara perusahaan. Karenanya, saya harus sadar akan apa yang harus saya punya dan miliki, untuk mencapai level tertentu. Di awal masa saya memimpin divisi Marketing Communication, saya ingin ada peningkatan skill di: pengelolaan media sosial sebagai bagian dari strategic digital marketing, PR writing skill, public speaking, dan hal-hal lain yang bisa menunjang pekerjaan di corporate communication. Dan seperti di awal tulisan ini, berbekal gap analysis, saya mengajukan diri mengikuti seminar-seminar dan workshop yang bisa menutup gap yang ada. And the rest is history.

Fourty eight year old veteran and a fifteen year old learner

Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip pesan dari Ibu Lanjar yang membuat hati ‘nyess’, salah satunya adalah doa beliau agar saya tetap awet bekerja di perusahaan ini, sebagaimana dirinya.  Pesan beliau, bekerja harus dari hati, karena kerja itu melayani. Meskipun kita bekerja jauh dari pelanggan kita, meskipun pekerjaan kita tidak bersinggungan langsung dengan pelanggan. Perkataan beliau yang saya ingat betul; kita harus mau ambil inisiatif, meskipun nantinya kita yang mengorbankan diri. Atau tidak perhitungan, menurut beliau. Semuanya dilakukan agar proses bisnis di sekitar kita terus berjalan. Bekerja dengan menghargai orang lain, kalau merasa punya salah ya segeralah minta maaf. “Saya ini selama 48 tahun kerja di Campina, nggak pernah pak, punya musuh”, ujar beliau.  “Tidak pernah ada ruginya kok, kalau kita baik dengan semua orang”, demikian pesan beliau menutup wawancara.

 

 

 

 

4 Comments Add yours

  1. AWR says:

    Tulisan yang sama persis dengan apa yang akan saya tulis jika saya biasa menulis, tentang PT CICI, Tbk. Semua yg anda alami, hampir sama dengan yang sudah saya alami. Bedanya, masa kerja saya terhenti di angka 11 tahun 3 bulan, itupun menjadi keputusan yang harus saya ambil karena ada ajakan dan tantangan lain yang harus dicoba.. Good luck bro..

  2. haryoprast says:

    Thank you, mas bro!

  3. mysukmana says:

    mirip dengan saya, cuma bedanya saya dulu ngajar di kampus swasta 8 tahun dan akhirnya resign cari tantangan baru sampai sekarang om..

    1. haryoprast says:

      Sukses buat kita semua, Pak Sukmana 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s