Employee Engagement dan Internal (Corporate) Influencers

Beberapa tahun yang lalu, mungkin kita biasa mendengar komentar seorang baby boomers di lingkungan kerja terhadap aktivitas salah seorang kolega mudanya; “Kerja dong! Ini kok malah main hape terus?” Atau “Kok mainan  facebook mulu? Itu kerjaan kamu gimana? Udah beres?” tanyanya (yang mungkin kerjaan si anak muda bukan urusannya juga), yang dibalas dengan tatapan  sinis si kolega muda. “Dih, gak bisa lihat orang seneng. Emangnya gue main hape mulu seharian? Emang gue gak kerja?”, batinnya.

Saat itu, mungkin jabatan-jabatan seperti social media strategist, website and e-commerce specialist, content manager, atau jabatan-jabatan yang kian sering kita dengar di jaman sekarang, belum ada. Baby boomers atau mungkin Gen X yang dulu suka iseng mengomentari aktivitas rekan kerjanya tersebut, kini mungkin makin pusing melihat anak-anak muda yang tidak pernah lepas dari smartphone-nya, selalu melihat layar putih terang setiap saat, yang sangat rajin membuat konten, baik foto ataupun video. Apapun di foto dan direkam dalam video, lalu diunggah saat itu juga via Instagram Stories, yang kadang diunggah silangkan ke Facebook Stories-nya, dan tidak jarang juga diunggah ke Whatsapp Status. Mengapa demikian? Haus perhatian? Ingin exposure luas? Mungkin.

Dan yang paling kekinian, anak-anak muda ini berkumpul menghadap kamera smartphone, lalu bergerak-berjoget seirama, misalnya dengan lagu Zico – Any Song yang catchy lewat aplikasi Tik Tok. Dan unggahan Tik Tok pun diunggah silang ke akun-akun media sosial mereka. Tujuannya? Agar exposure makin luas, alias yang menonton semakin banyak. “Eh, emang gak malu ya, joget-joget gitu dilihat orang-orang banyak?”, tanya seorang teman yang tengah mencoba mengerti apa itu dan bagaimana cara bermain Tik Tok. “Justru itu, mereka sangat menikmati kalau aktivitasnya, konten yang mereka buat bersama dengan teman-temannya, dilihat oleh orang-orang yang ada di jejaringnya”, jawab saya.

Kalau analisa saya, para pengguna media sosial ini suka dengan perhatian personal yang diberikan. Saat kita mengunggah di feed atau timeline Instagram atau Facebook, menarik atau tidaknya unggahan kita hanya bisa terlihat dari berapa jumlah engagement yang kita dapat. Comment, likes, atau bahkan share. Lewat fitur stories, kita bisa melihat berapa unique users yang melihat unggahan kita, baik di Instagram, Facebook, atau bahkan Whatsapp, yang akan hilang setelah 24 jam.

Salah satu konten di Instagram Stories saya, circa Juli 2019

Hal ini pun saya yakin diamini oleh sang pemilik platform media sosial. Dengan mengukur aktivitas klik dan scroll penggunanya, mereka bisa tahu berapa waktu yang dihabiskan rata-rata pengguna untuk cek unggahan teman-teman virtualnya satu per satu di fitur stories, dan juga berapa lama waktu yang dihabiskan, dan berapa kali dalam sehari tiap pengguna cek smartphone mereka hanya untuk melihat berapa banyak dan siapa saja yang sudah melihat unggahan mereka. Jadi, mengetahui banyaknya pengguna lain yang melihat unggahan stories-nya, mereka sudah senang. Apalagi kalau unggahan stories dimaksudkan mengandung ‘kode’untuk seseorang misalnya, lewat unggahan silang lagu yang sedang ia mainkan di aplikasi music streaming Spotify.  Kesenangan lain tentunya adalah mendapatkan engagement dari komentar, kunjungan ke profile, dan mungkin follow akun kalau di Instagram.

Dan sudah saatnya, Gen X dan baby boomers bersama dengan Gen Y dan Gen Z ikut bergoyang Tik Tok. Mungkin, mereka malah sudah punya akun Tik Tok sendiri. Seorang pimpinan departemen atau sebuah divisi mungkin akan mengajak jajarannya untuk main Tik Tok bersama-sama. Biar malunya bareng-bareng, katanya. Dan cross posting ke semua akun media sosial yang ada. Lucu bukan? Dari yang semula sinis, kini antar generasi bisa bermain bersama-sama 🙂

It’s all good now.

Perusahaan di era sekarang pun harusnya kian menyadari bahwa aktivitas berbagi konten oleh para karyawannya ini bisa dijadikan tools untuk employee engagement, sekaligus sebagai internal influencers. Well, kini sih masih jamannya perusahaan menggunakan jasa influencers untuk memperluas jangkauan pesan mereka, yang akan diterima secara personal oleh para pengikut influencers tersebut. Content creator, key opinion leader, atau apapun sebutannya tengah menangguk ‘cuan’ besar sekarang. Namun perusahaan juga harus tetap aware tentang kenyataan bahwa mungkin daya tarik pesan ada pada si penyampai pesan sendiri, bukan di produk atau jasa yang dibawakan oleh si influencer lewat unggahannya. Masih ingat kan, jaman Agnes Monica menjadi berbagai brand ambassador dan bintang iklan produk-produk dari berbagai kategori? Nah, masih ingat nggak, kira-kira merek apa saja yang dibawakan oleh pesohor tersebut? 🙂

Saya pernah bahas tentang influencer ini di tulisan sebelumnya, tentang grading Instagram influencerGrading yang berdasarkan jumlah followers ini saya yakin pasti bergeser, karena semakin banyaknya influencer yang mampu menarik minat ratusan hingga jutaan pengguna Instagram lainnya untuk mengikuti. Kalau saat ini, grading-nya seperti dibawah ini:

  • Nano influencer: 1000-10.000 followers
  • Micro influencer: 10.000-50.000 followers
  • Middle tier: 50.000-500.000 followers
  • Macro influencer: 500.000-1.000.000 followers
  • Mega influencer: Diatas 1.000.000 followers

Semakin banyak followers, maka semakin mahal biaya yang harus dibayarkan penyampai pesan untuk tiap unggahan, baik di feed maupun di stories. Para pengelola merek pun kini paham, untuk mendapatkan reach (jangkauan) dan engagement (kedekatan), mereka akan mengkombinasikan tier nano dan micro influencer, dan middle tier hingga macro influencer, tergantung budget yang ada. Mid tier hingga mega dipergunakan untuk menciptakan awareness/exposure, sedangkan nano-micro dipergunakan untuk menciptakan engagement, dan bahkan sales leads. But is there any trust found there? Not sure!

Unggahan produk es krim oleh salah satu karyawan perusahaan (@yromadon)

Meskipun punya embel-embel influencer dengan ratusan ribu bahkan jutaan followers, influencer tetaplah influencer. Hanya sebagai penyampai pesan saja, pihak yang ada di luar perusahaan. Level of trust masih rendah kalau saya bilang. Lain halnya jika pesan merek dibawakan oleh pihak internal perusahaan, asset penting perusahaan, para karyawan. Trust ada disana. Jika seorang karyawan mengunggah foto produk yang baru saja diluncurkan oleh perusahaan, pasti akan mengundang rasa ingin tahu para anggota jejaring sosialnya, entah itu di Instagram, atau bahkan Facebook. Engagement tercipta disana, pertanyaan seputar rasanya bagaimana, bisa dibeli dimana, dan sebagainya akan terlihat di kolom komentar unggahannya. Atau salah satu karyawan yang memberitakan adanya promo turun harga sebuah produk di salah satu minimarket nasional, akan mendapatkan respon yang sama. “Mbak, beneran nih, promo es krim Heart di Alfamart, beli 1 dapat 1?”, saya baca di kolom komentar unggahan di karyawati ini. “Ya beneran dong, mbak. Masak saya posting promo hoax?”, balas beliau disertai emoticon senyum.

Unggahan seorang karyawan, memberitakan keikutsertaan perusahaan dalam sebuah event pameran

Juga dari sisi human resource (HR), jika ada lowongan pekerjaan, diberitakan oleh seorang karyawan, besar kemungkinan akan mendapatkan respon positif. Jika tidak berujung pada munculnya keinginan melamar pekerjaan, setidaknya teman dari si karyawan tersebut akan membantu menyebarkan, kalau-kalau saja ada anggota jejaring sosialnya yang sedang membutuhkan pekerjaan. Sebuah studi menyebutkan bahwa secara rata-rata, akun seorang karyawan memiliki jangkauan 10 kali lebih besar di media sosial dibandingkan  akun yang dikelola oleh perusahaan/merek.

Hal ini buat saya masuk akal, karena jika tergolong akun media sosial korporasi/merek, besar kemungkinan jangkauan pesan akan terbatas pada sekitar 1-3% saja dari total followers/fans secara organik. Imbasnya, pengelola merek akan ‘terpaksa’ melakukan paid advertising, push content via social media ads. Sementara akun personal, punya jangkauan yang lebih besar. Setidaknya, masih bisa menjangkau 10-30% dari total fans/followers secara organik. Misalnya, akun Instagram yang saya kelola @haryoprast, dengan 1.343 followers (per tanggal 29 Februari 2020), satu unggahan di feed bisa menjangkau 500-600an followers secara organik. Dan reach tersebut bisa terus meningkat seiring dengan bertambahnya engagement yang terjadi, likes dan comment dari audience. Kira-kira demikian.

Unggahan IG stories saya via akun @haryoprast, team celebration atas sebuah penghargaan

Jadi, berangkat dari pemaparan diatas, apa yang bisa dilakukan oleh pengelola merek dalam perusahaan?

  • Mapping karyawan-karyawan yang aktif di media sosial, misalnya Instagram dan Facebook.
    • Untuk Facebook bisa dilihat keaktifan si karyawan dalam 3  bulan terakhir misalnya. Berapa kali si karyawan posting konten tentang perusahaan (produk, merek, promosi, digital campaign) selama kurun waktu tersebut, dan bagaimana engagement-nya.
    • Untuk mapping di Instagram bisa sedikit berbeda, kita bisa pakai ukuran jumlah followers sebagai dasar, dan engagement di tiap unggahan secara rata-rata sebagai ukuran kedua.
  • Karena ini jamannya hyperlocal, maka mapping selanjutnya adalah memilah-milah siapa-siapa saja karyawan yang dijadikan duta di masing-masing kota.
  • Karyawan tersebut diberikan kursus singkat tentang bagaimana cara mengambil foto dan video dengan benar, sehingga menghasilkan bahan untuk konten yang proper.
  • Untuk keperluan ini, perusahaan bisa mengundang sejumlah content creator untuk berbagi keahlian dan pengalaman.
  • Peran HR sangat nyata disini, untuk merancang program pelatihan secara berkelanjutan untuk mencetak internal content creator dan internal influencer dari para karyawan usia muda.
  • Dibuatkan sisten poin, untuk mengundang dan menantang mereka untuk terus memberitakan hal-hal bagus tentang perusahaan, sebagai bagian dari corporate branding.
  • Lewat sistem poin yang terukur ini, satu konten tentang produk yang diunggah seorang karyawan di Instagram, misalnya, bisa di-track sudah menjangkau berapa unique user, sudah mendapatkan berapa banyak engagement, sudah dibagikan berapa kali, dan seterusnya.

Social media dan millennials.

Dua hal diatas kini sangat berpengaruh dalam menentukan image perusahaan. Wajah perusahaan sedikit banyak ada pada kualitas postingan para karyawannya, yang dengan kesadaran dan kemauan sendiri mau membagikan konten-konten tentang perusahaannya di akun media sosialnya sendiri secara kreatif. Sudah selayaknya perusahaan menyadari hal ini, menganggapnya sangat serius, dan mengelolanya dengan baik. Tidak lagi menganggap kegiatan mengunggah konten di media sosial sebagai kegiatan yang non-produktif.

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s