Happy New Year 2020!
Mari kita mulai dengan blog post pertama di tahun 2020 ini, sambungan dari bagian pertama dan bagian kedua dari serial blog post Belajar Digital Marketing.
Saya sudah pernah menulis bahwa, memahami digital marketing dari sisi saya bukan tentang canggihnya teknologi yang menghubungkan antar manusia, dan memahami pola tingkah laku manusia dengan machine learning, hingga masuk ke otomatisasi, yang ditakutkan banyak orang akan menggantikan peran mereka di dunia kerja. Bukan. Dari sisi saya, digital marketing adalah tentang merawat hubungan antar personal dengan bantuan media digital. It’s still an old stuff, done by the new way. Saya pun menyebut hubungan antara merek dan konsumen, sama halnya dengan dua manusia yang berbincang-bincang. Karena di ujung kabel, adalah manusia yang mengambil peran. Meskipun di depan bisa ‘disaring’ dengan chat bot, namun untuk permasalahan yang membutuhkan empati, mesin belum dapat berperan. Harus manusia yang berperan, karena masih memiliki empati, perasaan, dan kepedulian yang tidak dapat diukur kedalamannya dengan angka dan persentase.
Peran konsumen di era digital pun semakin kuat. Pola komunikasi yang C2C (consumer to consumer) secara horizontal mengakibatkan mereka punya kekuatan untuk mempersepsikan sebuah merek, sebuah produk atau layanan, dengan saling memberikan testimonial, review, dan rating di media digital. Ini lazim disebut dengan e-WOM (electronic word of mouth), atau user generated content. e-WOM ini akan fueling informasi untuk calon pelanggan lain, yang belum pernah berinteraksi dengan merek-mencoba layanan dan produknya. Dan demikian seterusnya, pelanggan yang pernah coba akan memberikan rating-review-testimonial untuk calon pelanggan lain. Hal ini pernah saya bahas di unggahan sharing economy.

Setidaknya itu yang saya tularkan ke anak didik saya, mahasiswa/i peminatan Periklanan, Departemen Komunikasi FISIP UI, sepanjang masa mengajar saya, sejak tahun 2014 yang lalu. Poin-poin pembelajaran yang dapat mereka ambil adalah: learning by doing, get involved in team work, making real impact, dan stay curious. Di tulisan pertama dan kedua, saya, poin tentang learning by doing, get involved in team work, dan stay curious sudah mereka jalankan. Di tulisan ini, saya mau mereka make real impact sebagai fokus, dan menjalankan poin-poin lainnya.
Team Peanut Paper Co, merek merchandise enamel pin untuk fans K-POP (kelas Selasa)
Mereka saya tugaskan menemukan satu merek yang bisa mereka observasi, tentunya dengan seijin pemilik atau pengelola mereknya, temukan permasalahannya, dan mencoba mencari dan menawarkan solusinya. Solusi-solusi atas permasalahan yang mereka temukan ‘dibungkus’ dalam sebuah tema besar, dan menjadi sebuah campaign yang dapat dijalankan oleh si pemilik/pengelola merek tersebut. Dan mereka semua hanya punya waktu kurang lebih delapan minggu saja untuk menjalankan observasi, dimulai dari meminta izin langsung ke pemilik/pengelola merek, hingga mempresentasikan hasil akhir kerjanya di tanggal 16-17 Desember. So, it’s a wonderful journey for me, and I do hope for them, as well!
Karena yang diobservasi adalah bisnis yang relatif berskala kecil, maka main problem yang mereka tangkap pada umumnya adalah kurangnya brand awareness. Lantas, opsi-opsi solusi yang mereka tawarkan dalam bentuk big ideas dan campaign adalah tentang bagaimana menaikkan awareness dan engagement, untuk next user dan existing user lewat media digital. Perbaikan di cara berkomunikasi lewat konten (image, caption, hashtags, grid, feed, stories-highlights) di media sosial, perancangan website yang user friendly, yang memungkinkan dijalankannya fungsi e-commerce, optimalisasi mesin pencari secara organik lewat pembuatan konten kreatif di artikel website, sampai pemasaran lewat mesin pencari, dengan membidik kata-kata kunci yang sangat relevan dengan merek, produk, dan layanan. It’s trully about learning by doing and making a real impact.
Real impact!
Karena langsung berinteraksi dengan pemilik/pengelola merek, mereka harus berani, dengan cara mereka sendiri sebagai suatu kelompok, menyampaikan kekurangan yang mereka dapati dari proses observasi. Dan tidak berhenti di situ saja, mereka pun harus menyampaikan saran-saran perbaikan, yang tidak luput dari kreasi konten visual (karena otak manusia memproses informasi secara visual, bukan?) yang compelling, meaningful dan relevant. Sebagian besar pemilik dan pengelola merek bersedia menampung ide-ide segar dari mereka, dan menjalankannya. Hal ini menjadi pengakuan buat mereka, bahwa observasi dan temuan yang dihasilkan, beserta dengan solusi yang diberikan benar-benar tepat. Bahkan, ada satu kelompok yang idenya langsung diadopsi oleh sang pemilik/pengelola merek, dengan kontraprestasi. Alias idenya dibeli, dan mereka pun diminta untuk mengeksekusi idenya sendiri untuk merek tersebut, as their agency. Saya bangga sekali!




Dan mungkin mereka tidak menyadari dari awal mengapa harus menjalani semua ‘tugas besar’ dari saya. Yang pertama, mereka banyak yang tidak ‘ngeh’ kalau praktik role play pitching antara satu team pemilik/pengelola merek dengan empat team digital agency nantinya akan menjadi latihan untuk mata kuliah Praktikum Periklanan di semester tujuh, dimana mereka, tetap dalam kelompok menjalankan poin get involved in team work, langsung berhadap-hadapan dengan pengelola merek sesungguhnya, dalam konteks adu ide, pitching. Dan secara tidak langsung akan memberikan pengetahuan dan wawasan tentang real life mereka nantinya, kalau mereka memilih karir di bidang advertising/digital agency, atau di bidang komunikasi dan pemasaran di sebuah merek.
Yang kedua, tugas sebagai pengganti ujian akhir semester, yang lekat dengan poin making real impact dan stay curious ini, akan sangat berguna baik di tugas pitching dengan pengelola merek sungguhan, dan nantinya saat mereka mengambil tugas karya akhir untuk kelulusan mereka, terlebih saat mereka memilih TKA (tugas karya akhir), yang output-nya adalah project proposal. Output ini kurang lebih sama dengan apa yang mereka kerjakan, yang khusus saya bahas di blogpost ini.

The thing is, I wanted them to get a big picture first about what will be happening next. I wanted them to know that what I gave and brought to them is way beyond this Intergrated Digital Marketing class, beyond their whole fifth semester. It still has a connectivity to what they’re up against next. That’s how I kinda design this class.





Kalau dilihat, masing-masing kelompok di tiap kelas (Senin dan Selasa) meneliti merek yang saling berbeda kategori antara satu sama lain. Mulai dari gerai kopi, sanggar seni untuk keluarga, katering khusus untuk calon ibu dan ibu menyusui, pakaian olah raga, aksesoris, kertas daur ulang ramah lingkungan, gelato cafe, hingga enamel pin yang digilai fans K-POP. So various! Namun tentunya ada benang merahnya, target market/target audience tiap merek yang diobservasi adalah generasi Y dan Z. Seolah mengajak merek-merek tersebut untuk mengambil cara yang pas untuk berbicara ke mereka sendiri, sebagai target market/target audience-nya.
Value extra-nya, mereka masing-masing dalam berkelompok harus berusaha untuk ‘mengetuk pintu’ ke tiap merek yang ingin diteliti, memperkenalkan diri (bisa lewat kirim pesan langsung ke akun Instagram merek terkait, telepon langsung ke contact person, bertemu langsung, dan lain-lainnya), dan mengutarakan maksudnya. Dari sini, meskipun mereka datang dari kampus, sebagai mahasiswa, mereka pun berlatih untuk mengalami sendiri bagaimana menjadi ‘digital agency’.
Sebuah hubungan antara merek dan agency, yang biasanya dimulai dari credential meeting, menerima agency brief karena diundang pitching di pertemuan perkenalan pertama, kedua, hingga saat dinyatakan lolos menjadi digital agency terpilih. Menang tender, menang pitching. Atau bahkan gagal dapat tender/job, karena pengelola merek lebih memilih ide dari digital agency lainnya yang lebih sesuai dan mewakili apa yang sebenarnya diinginkan oleh sang pengelola merek, bukan ide yang menurut mereka paling keren.

Penting untuk belajar menemukan balance antara menunjukkan cara yang sesuai menurut versi mereka ke pemilik/pengelola merek tanpa dianggap menggurui, tapi juga tidak merasa inferior, meskipun mereka masih duduk di bangku kuliah. Penting untuk belajar hal ini dari awal, agar nantinya, meskipun mereka sudah jago pun, mereka masih membumi, masih menganggap orang yang mungkin lebih senior namun punya pengetahuan di bawah mereka, tetap dianggap sebagai sosok yang patut dihormati.

So, in the end, where’s the part of learning digital marketing? Again, it’s about human to human that empowered by technology and digital media. Not the other way around.
Mempelajari ilmu dari wawasan orang lain yang sudah pernah menjalani, sudah pernah mengalami, bukan dari saya saja, namun dari siapapun, termasuk dari para praktisi yang saya undang sebagai dosen tamu. Salah satunya adalah William Utomo, a digital jedi, COO dari IDN Media, yang menyempatkan waktunya untuk berbagi tentang hal-hal canggih yang ia lakukan di perusahaan yang ia temukan dan bangun bersama saudara kandungnya, Winston Utomo, yang menjembatani target audience IDN Media sendiri, kaum millennials, dengan merek, lewat informasi relevan yang sesuai dengan preferensi mereka.


So, it’s a wrap. Perkuliahan Pemasaran Digital Terpadu saya nyatakan selesai, seiring dengan berkas nilai yang saya kirimkan ke Departemen Komunikasi FISIP UI, tanggal 2 Januari 2020. Thank you, see you when I see you!
2 Comments Add yours