Collaboration-Creativity-Communication di Perusahaan Consumer Goods (Pemasaran Digital Bagian 2-Closing)

Di unggahan Collaboration-Creativity-Communication di Perusahaan Consumer Goods (Pemasaran Digital bagian 1), saya sudah menjelaskan secara singkat komponen-komponen pemasaran digital secara teori, dan dari sudut pandang perusahaan consumer goods, tentang apa saja yang harus dilakukan  untuk menciptakan engagement dengan audience, sebelum mengubahnya menjadi customer. Dan di unggahan ini, secara spesifik akan saya paparkan tentang aktivitas digital apa yang dilakukan oleh Campina Ice Cream, dalam kacamata collaboration-creative-communication.

Untuk digital marketing sendiri, dibandingkan perusahaan consumer goods lainnya, Campina cukup cepat mengadopsi aktivitas pemasaran dengan menggunakan digital channels ini. Perusahaan ini mulai mengelola sendiri saluran media sosialnya di tahun 2010, dan memiliki e-commerce site di tahun 2013. Untuk corporate website sendiri, Campina sudah punya portal website untuk corporate communication ini di tahun 2006. Jadi cukup cepat dalam mengadopsi teknologi, sekali lagi,  jika dibandingkan dengan sesama perusahaan consumer goods. Mengapa cepat mengadopsi teknologi? Karena perusahaan ini sadar dengan pergeseran perilaku konsumen yang semakin tidak bisa meninggalkan perangkat smartphone dan alat komunikasi portable lainnya, seperti laptop, tablet PC, dan gadget lainnya, yang terkoneksi dengan internet.

Content marketing-Hula Hula Kacang Hijau (sumber: fanpage Campina Ice Cream)

Karena kecenderungan ini, Campina mulai belajar untuk membuka saluran komunikasi dua arah dengan para penggemar es krim di Indonesia. Pada awalnya, tentunya kegiatan ini dikelola secara in house, alias dikelola secara internal oleh team Trade  Marketing pada awalnya, sebelum diserahterimakan ke team Marketing Communications. Namun lambat laun, seiring dengan semakin tingginya kebutuhan untuk menyuguhkan konten yang menarik, bukan saja kata-kata, namun juga foto/image, bukan saja foto/image, namun juga konten berformat video, adjustment dan juga improvement pun dilakukan di sana sini.  Rekan-rekan  saya banyak yang bertanya, “Sebenarnya Campina itu komunikasinya diarahkan ke siapa sih? Anak-anak, remaja, atau dewasa?”

Singkatnya saya jawab begini; “Tergantung apa merek es krimnya (di bawah merek Campina masih ada merek-merek seperti Hula Hula, Tropicana, Summer Barz, Gold Ribbon, Luve, dan lain-lain), dan itu akan berpengaruh pada cara berkomunikasi dan pesan yang disampaikan, karena Campina (secara umbrella brand) melayani pasar yang sangat luas. Mulai dari anak-anak sampai dewasa”, sambung saya.

Content marketing-Hula Hula Ketan Hitam & Pisang Coklat (sumber: fanpage Campina Ice Cream)

“Misalnya, es krim Hula Hula, es krim tertua dari Campina yang sudah ada sejak tahun 1976, kini dimasukkan dalam kategori teen atau remaja. Kenapa kok es krim yang tertua dimasukkan dalam kategori remaja? Karena ingin rejuvenasi merek ini, agar lebih dikenal di kalangan anak muda. Bukan dikenal sebagai es krimnya opa-oma, papa-mamanya saja. Karena itu, strategi komunikasinya pun disesuaikan dengan gaya komunikasi anak-anak muda sekarang, yang dekat dengan gadget dan media sosial.”

Nah, tentang komunikasi, sebagai bagian dari pembahasan Collaboration-Creativity-Communication, aktivitas di media digital tentunya tidak akan lepas dari content marketing, yang secara sederhana bisa dijelaskan sebagai aktivitas penyampaian pesan lewat konten (gambar-tulisan-video) secara subtle, less hard selling. Content marketing banyak menggunakan cerita sebagai media penyampaian pesan. Seperti dibahas di unggahan blog ini, pembahasan Pemasaran Digital di bagian 1, saya membawa contoh praktek penyampaian pesan secara subtle, oleh Tropicana Slim lewat web series JANJI di tahun 2019, dan tentunya yang paling memorable, SORE di tahun 2017. Nah, bagaimana dengan Campina?

Campina membawakan pesan tentang pentingnya arti keluarga dalam web series Arti Rasa, di penghujung bulan Ramadhan, menjelang Hari Raya Idul Fitri 1440 H yang lalu, lewat produk Neapolitan 700ml. Produk es krim take home/out of home klasik tiga rasa stroberi-vanila-coklat ini membawakan pesan tersebut dalam 10 episode web series. Web series yang merupakan video content berseri pertama dari Campina ini mengisahkan tentang seorang anak perempuan dari sebuah keluarga di Bandung yang sedang mencari jati diri, sekaligus pilihan karir yang terbaik untuknya. meninggalkan comfort zone-nya untuk bekerja sendiri di Jakarta, jauh dari ayah dan adiknya. Disitulah Campina lewat Neapolitan 700 ml mengisahkan bahwa dukungan dan dorongan dari keluarga adalah yang terpenting, sejauh apapun terpisah, pasti akan berkumpul kembali. Sebagaimana dianalogikan dengan tiga rasa es krim dalam satu kemasan es krim Neapolitan 700 ml (family pack).

Pola komunikasi kini pun sangat jauh berbeda. Kalau dulu, kisaran 7-10 tahun lalu, gaya menyampaikan pesan hanya  cenderung satu arah (one to many) dengan menggunakan media mainstream yang populer, kini berubah. Karena pola komunikasinya many to many, dari konsumen menyuarakan pengalamannya dengan produk dari merek tertentu, ke lingkaran sosialnya, dan kemudian bergulir ke lingkaran-lingkaran sosial lainnya, hingga akhirnya viral.  Pengelola merek sudah tidak bisa mengendalikan word of mouth pengguna produknya yang menyebar melalui media sosial dan media digital lainnya, yang bisa dilakukan oleh pengelola merek adalah jump in into the conversation. Ikut nimbrung dalam obrolan, tanpa jarak tanpa batas. Sesederhana seorang pelanggan warung makan menyampaikan ke si pemilik warung kalau orek tempenya keasinan, telur bumbu bali nya terlalu pedas, tidak seperti biasanya. Pola komunikasinya sebenarnya sederhana, pemilik warung menerima masukan pelangannya, melakukan cross check, lalu melakukan langkah-langkah perbaikan. As simple as that, bedanya hanya media yang digunakan saja.

Dengan demikian, komunikasi selalu berangkat dari konten pesan yang disampaikan, lewat media apa (online, offline, atau keduanya), disampaikan ke tipikal audience yang seperti apa (jenis kelamin, usia, lokasi tinggal, lokasi bekerja, ketertarikan, dan lain-lain), yang bisa juga membantu pengelola merek melakukan targeting untuk aktivitas beriklan di media digital (paid media), agar jumlah audience yang menangkap pesan pun semakin besar. Terakhir, pengelola merek tinggal memantau share of voice/word of mouth/earned media dari aktivitas penyampaian pesan tersebut. Mengucapkan terima kasih jika ada konsumen yang menyampaikan pujian, dan merespon cepat jika ada keluhan terkait produk dan layanannya. Syarat utamanya harus jauh-jauh dari sifat ‘baper’ alias bawa perasaan, terutama jika ada pelanggan yang marah-marah hingga (maaf) mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Pahami jika mereka ingin mendapatkan perhatian kita, dan juga solusi atas permasalahan atau pengalaman buruk yang didapatkan.

Lalu, bagaimana dalam kreativitas dalam konteks Collaboration, Creativity, dan Communication ini?

Saya akan lebih jauh membahas tentang kreativitas pengelola merek menyampaikan pesan terkait mereknya, hingga sanggup menarik perhatian audience yang dituju. Namun apakah Campina sudah cukup kreatif dalam membuat konten yang selalu sesuai dengan keinginan target audience-nya? Saya pikir belum. Namun perusahaan ini terus berusaha mencari konten seperti apa yang terbaik dalam suatu waktu. Mengapa harus mencantumkan suatu waktu?  Karena preferensi audience akan konten suatu merek atau merek-merek lain sejenis dalam satu kategori yang sama bisa berubah. Pengelola merek, atau bahkan lebih spesifik, tim Marcomm harus mempelajari konten-konten seperti apa yang ingin dilihat dan disukai oleh audience-nya yang spesifik. Bukan sebaliknya, bukannya penyedia konten ‘memaksa’ memberikan unggahan yang ternyata tidak terlalu digemari oleh audience-nya karena kurang relevan dengan hidup kesehariannya, misalnya. Kembali ke Hula Hula misalnya, TVC terbaru di tahun 2019 dengan hero Hula Jagung manis ini, yang sudah ditonton 277 ribu kali ini, berjudul Drama Halu. Seakan-akan membawa Hula Hula, es krim yang sudah berusia lebih dari 43 tahun ini, sangat dekat dengan anak muda. Tagline-nya pun bergaya anak muda; “Hula Hula Nikmat, Yang Halu Lewat!”

Pun demikian dengan konten video tentang Hula Hula yang lain, yang sempat diunggah ke kanal youtube resmi Campina, yang membawa romantisme kecintaan kepada keindahan Indonesia, dibungkus tema “Campina Hula Hula Aslinya Seasik Indonesia yang Sebenarnya”. Video yang syutingnya dilaksanakan di Kawah Ijen ini dibuat dengan konsep co-production, dibiayai oleh Campina-diproduksi oleh seorang youtuber handal, yang merancang-merekam, dan mengedit konten videonya hingga jadi. Coba lihat kreasinya dibawah ini:

Punya konten yang keren percuma saja kalau yang menonton sedikit. Bukan begitu?

Karenanya, Campina mendorong konten iklan TVC Hula Hula Drama Halu dengan social media ads, dan influencers. Dengan demikian, lewat kombinasi iklan dan influencers baik nano (dibawah 10.000 followers), mikro (10.000 hingga 100.000 followers), mid (100.000 hingga 500.000 followers), hingga makro (di atas 500.000 followers), kedua ukuran, yaitu awareness dan engagement berhasil didapat.

Influencer table by follower number (sumber: twitter.com)

Salah satu ukuran awareness adalah berapa kali video ditonton, dan ukuran engagement adalah berapa comment dan likes yang didapat di video youtube yang dioptimasi, demikian juga dengan unggahan para influencers. Kombinasi nano-mikro-mid-makro influencers pun dengan sendirinya bisa mendatangkan awareness dan engagementInfluencers nano dan mikro masih sangat dekat dengan para followers-nya, sehingga awareness unggahan yang membawa merek kita pun bagus dan engagement dapat terjaga, karena mereka masih mau membalas komentar-komentar yang masuk.

Karena itu, pengelola merek masih bisa mendapatkan conversion rate yang bagus, saat audience dari nano influencers melihat postingan berbayar nya, tertarik, bertanya-tanya, dan dijawab oleh si influencers yang notabene mungkin adalah temannya sendiri. Namun lain halnya dengan makro atau bahkan mega influencers, memakai jasa mereka lebih baik untuk KPI awareness saja, untuk engagement yang tinggi dari paid content mereka akan susah dicapai. So, better combine them all to gain both KPIs.

Dan sebenarnya, berbicara tentang konsep co-production dengan key opinion leader/influencer-youtuber, kita sudah mulai masuk ke poin kolaborasi. Sebuah merek yang sudah ternama, bisa saja menyerahkan produksi kontennya ke seorang content creator (youtuber) dengan sedikit mungkin brief (panduan). Namun saat produksi, pengelola merek tetap harus memberikan supervisi ketat. In this case, we’re talking about millennials, group of people who was certain level of confidence. Percaya diri mereka yang tinggi dibarengi dengan idealisme yang tinggi juga, terutama jika berbicara tentang karya. Beri mereka ruang untuk berkreasi, dan awasi dari jauh, maka anda akan terperanjat dengan karya yang mereka hasilkan. Demikian testimoni para mentor dari para millennials.

Khusus untuk konsep kolaborasi ini, kita akan fokus pada perihal delivery produk langsung ke konsumen, setelah mereka kita ‘hajar’ habis-habisan dengan terpaan content marketing, baik yang organik maupun yang berbayar. Jika bicara tentang delivery, kita akan menyinggung perihal conversion rate. Berapa banyak orang yang melihat konten kita, kemudian tertarik (suka), mencari informasi lebih lanjut hingga menemukan portal e-commerce kita, sign up as member, membeli, dan membeli kembali. Proses yang demikian panjang, namun sangat terukur hasilnya. Konversi dapat secara sederhana diartikan sebagai berapa banyak orang yang memutuskan membeli produk kita setelah ia terkena terpaan pesan dari merek, di online channel maupun offline channel. Contohnya offline bagaimana?

Untuk menjelaskan, saya bawa anda ke suatu supermarket, dimana di salah satu sudut space-nya di sewa oleh Campina, di-branding, istilahnya, diberikan ornamen-ornamen tertentu yang relate dengan brand, sehingga stand out. Area yang sudah di-branding ini terlihat jelas oleh siapapun yang masuk ke supermarket tersebut, karena berada di titik yang pasti dilalui oleh pengunjung supermarket.

Booth Campina Neapolitan 700 ml, Giant BSD City
Bundling gimmick, sebagai extra added value

Pengunjung supermarket yang suka dengan tampilan booth tersebut, dan tertarik untuk mau mendekat, mau ngobrol dengan SPG-nya. Di dunia online, ini sudah bisa dianggap sebagai engagement. Lalu, apakah keberadaan calon konsumen di engagement level bisa ditingkatkan sampai  acquisition level/purchase? Bisa jadi hal tersebut tergantung pada seberapa jago si SPG bisa mempersuasi si calon konsumen. Menjelaskan keunggulan produk, rasa yang lebih creamy dan padat karena lebih banyak kandungan susu, menggunakan bahan-bahan asli-alami, dan bahan-bahan lain yang diizinkan. Product attribute dan product benefit sudah disampaikan, maka selanjutnya si calon konsumen akan bertanya added value apa yang bisa didapat? Apakah ada bundling gimmick jika beli 1 pack?

Mantra untuk konsumen di online dan offline masih sama; WIIFM, alias what’s in it for me? Atau saya dapat apa? value apa yang bisa saya dapatkan dengan membeli produk tersebut? Sekali terjawab WIIFM ini, maka tidak ada lagi keraguan dari calon konsumen yang bisa menggagalkan proses akuisisi (kecuali keterbatasan budget mungkin).

Kembali ke poin kolaborasi, kolaborasi dilakukan bukan karena perusahaan kurangnya resources, tapi karena ingin mempunyai tools untuk menjangkau calon konsumen dan sekaligus melayani konsumen dengan lebih baik misalnya, tanpa harus mengeluarkan biaya tetap. Biaya variabel saja, atau kerennya biaya yang timbul untuk memenuhi permintaan konsumen yang kini serba on demand. Yang kedua, perusahaan lebih mempertimbangkan untuk menyerahkan pekerjaan on demand yang bisa dipihak ketigakan, diserahkan ke business partner yang expert di bidangnya. Perusahaan tidak perlu membayar gaji beberapa orang dedicated deliveryman, jika ia connect dengan GO-JEK atau GRAB lewat layanan GO-SEND atau GRAB Express, misalnya. Banyak perusahaan-perusahaan baru berbasis teknologi bermunculan dewasa ini, yang banyak menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh orang banyak. Perusahaan ini biasa kita sebut dengan start up. Sebelum menjadi decacorn, GO-JEK dahulunya adalah perusahaan start up yang memecahkan masalah banyak orang, yang banyak mendisrupsi bisnis perusahaan yang sudah settle, yang kaku, tidak ringkas, makan waktu dan biaya, dan kelemahan lainnya.

Kita ambil contoh kolaborasi antara Campina dan GO-JEK, lewat layanan e-wallet miliknya, GO-PAY.  Layanan e-wallet yang sangat agresif berekspansi hingga ke pembayaran di gerai-gerai offline (restoran, minimarket, dsb), aktif berpromosi dengan tema GO-PAY PAYDAY, yang banyak dinantikan oleh para penggunanya di setiap akhir bulan. Alasan Campina bersedia connect dengan GO-PAY karena banyaknya active user base mereka, yang hampir setiap hari membuka layanan yang ada di aplikasi GO-JEK ini untuk bertransaksi. Artinya, dengan ada di aplikasi tersebut, awareness terhadap merek-produk-layanan yang dimiliki Campina akan semakin bagus. Kemudian, lewat aktivasi tersebut, kedua belah pihak, Campina dan GO-PAY mendapatkan banyak benefit, antara lain:

Untuk Campina Ice Cream:

  1. Extra exposures, image promo ini bisa dilihat oleh jutaan pengguna GO-PAY/GO-JEK selama masa promo berjalan.
  2. Awareness, untuk merek-produk es krim-ecommerce websitelayanan pesan antar dipastikan meningkat.
  3. Transaksi di e-commerce website meningkat dengan keikutsertaan di GO-PAY PAYDAY ini (purchase/acquisition).

Untuk GO-PAY:

  1. Kategori yang lebih luas, semua user bisa pesan es krim, makanan beku yang bisa dipesan untuk segala occasion.
  2. Confidence dari GO-PAY sendiri, yang sudah bisa dipakai sebagai alat transaksi di ribuan merchant online/offline.
  3. GO-PAY menjadi opsi pertama metode transaksi di e-commerce website selama periode GO-PAY PAYDAY (pilihan pembayaran teratas, diatas bank transfer, credit card, e-wallet, dan pilihan pembayaran lainnya)
  4. Transaksi dengan/lewat GO-PAY (top up dan pembelian) meningkat selama masa promosi.

Dan yang paling untung sebenarnya adalah konsumen. Konsumen Campina yang juga adalah pengguna GOJEK yang aktif menggunakan GO-PAY sebagai alat transaksinya.  Selain bisa mendapatkan produk es krim yang diinginkannya, disaat ia membutuhkannya, produk es krim/ice cream cake dikirim langsung ke rumah/kantor/alamat dimanapun dan kapanpun dengan segala kemudahan (belanja via website/apps Campina, dan bayar dengan GO-PAY) tanpa harus keluar rumah, hanya lewat smartphone-nya saja. Plus, ia masih bisa mendapatkan cashback sebesar Rp20.000,- yang langsung masuk ke rekening GO-PAY-nya. So, apakah WIIFM sudah bisa dipenuhi lewat kolaborasi ini? Saya pikir sudah.

Unggahan ini adalah penutup untuk serial blog post Collaboration-Creativity-Communication di Perusahaan Consumer Goods. Terima kasih sudah berkenan membaca!

 

One Comment Add yours

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s