Kedua keponakan saya yang unik-unik ini, punya karakter masing-masing.
Deryl, sang kakak, sangat menggemari kendaraan-kendaraan berat, bus, truk, dan sejenisnya. Jadi saat kami naik mobil kemanapun, ia sangat paham dengan jenis dan tipe masing-masing truk atau bus yang lewat. Dari dia ini, saya jadi belajar ciri-ciri bus misalnya, mana yang SHD (super high deck), mana yang UHD (ultra high deck), dan sejenisnya. Jangan tanya kalau Deryl ini lihat kendaraan berat saat mobil kami melaju di jalanan tol, mimik muka nya perpaduan antara kagum, takjub, dan bahagia dalam satu frame muka. Senangnya bukan main. Anak sulung dari adik kedua saya ini cukup cemerlang di akademik, selalu masuk top 5 di kelasnya.

Dirta, si adik punya karakter yang unik juga. Sebenarnya sama-sama menggemari mainan truk dan alat berat lainnya, seperti halnya sang kakak. Rumah keluarga di Tlogomas, Malang juga penuh dengan mainan serupa. Namun saya lihat si adik ini masih di taraf ikut-ikutan saja. Apa yang kakaknya lakukan, maka ia juga pasti lakukan. Apa yang kakaknya gemari, ia pun pasti juga akan menggemari. Dan setelah saya lihat dan amati, ia punya bakat khusus yang perlu dikembangkan. Ia punya daya imajinasi yang bagus, demikian juga dengan penyampaiannya. Alias jago ngomong. He will be a good storyteller in a future. And you know what, basic education shouldn’t stop only at reading-writing-counting only. Namun juga harus ditambahkan skill mendengarkan (listening), dan berbicara di muka umum (storytelling-public speaking). Well, bisa dimulai dengan dibiasakan bicara atau bercerita di muka kelas, dengan audience guru dan teman sekelasnya. Kedua kakak beradik ini sangat menikmati setiap perjalanan kami di Jakarta, terutama saat melewati proyek pembangunan jalur MRT dan layan tol di sepanjang Tol Cikampek, dan proyek pembangunan tol Becakayu ruas Caman-Margahayu yang tengah dibangun. Banyak alat-alat berat disitu, yang terparkir rapi, ditinggalkan para pekerjanya di H-10 sebelum hingga H+10 setelah Lebaran.
Setelah hari Minggu, 2 Juni 2019 kami berjalan-jalan keliling Jakarta, di hari Senin, 3 Juni 2019 agendanya adalah campuran antara belanja ibu-ibu dan ‘sambang dulur’, atau berkunjung ke dua rumah keluarga, di Ciledug-Tangsel, dan Tambun, Kabupaten Bekasi. Dan hari Selasa, 4 Juni 2019 kami masih menghabiskan waktu berkeliling Jakarta hingga sampai ke Alam Sutera, Tangerang Selatan. Main ke IKEA Alam Sutera lebih tepatnya. Saya ajak mereka ke tempat belanja (dan cuci mata) perlengkapan rumah terbesar di Indonesia, dimana rata-rata jam kunjungan dari masuk toko hingga keluar toko mencapai 2 jam lamanya. Itu pun kalau tidak belanja, atau belanja barang-barang pernak pernik saja. Bagaimana kalau memang serius mencari perabot? Bisa tiga jam minimal ada di toko yang identik dengan warna biru dan kuning ini. Tapi untungnya IKEA adalah one stop shopping, mereka juga menyediakan makanan-makanan yang enak dan tempat makan yang nyaman pula, plus layanan parkir gratis untuk para pengunjungnya. Selepas belanja pernak-pernik di IKEA Alam Sutera, kami beranjak ke Pantai Ancol, memenuhi janji saya untuk membawa mereka berenang di pantai Jakarta. Pantai yang sebenarnya nggak bersih-bersih amat, kalau dibandingkan dengan pantai-pantai yang biasa kami kunjungi di selatan Kota Malang. Hari keempat, hari terakhir di Jakarta, kami warnai dengan kunjungan ke rumah kerabat yang cukup jauh. Kalau dari Bekasi, tempat tinggal saya, ke rumah saudara saya yang satu ini, kami harus melewati 3 provinsi dan beberapa kota; Bekasi, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Tangerang Selatan. Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Jauh ya? 🙂 But it worthed it, karena kami sudah lama tidak bersua dengan mereka, dan juga mengunjungi makam nenek, tante dari bapak saya, yang baru saja meninggal dunia di tahun 2018 yang lalu. As I said before, it’s a quite a packed schedule 🙂
Tiga hari, Senin, Selasa, dan Rabu ini adalah sisa hari dimana saya bisa membawa keluarga saya dari Malang ini berkeliling Jakarta, sebelum bertolak kembali ke Malang lewat Semarang dan lagi-lagi Ambarawa di hari Lebaran kedua, hari Kamis, 6 Juni 2019. Banyak sekali tempat wisata dan keramaian yang kami tuju di Jakarta dan sekitarnya, dan bahkan Bandung juga masuk rencana kami, namun karena keterbatasan waktu jualah, kami harus membatasi hingga beberapa tujuan saja. Saya pilihkan kebanyakan lokasi yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya, dan saya tampilkan beberapa highlight-nya saya di unggahan saya, Perjalanan Malang-Ambarawa-Jakarta-Semarang-Malang untuk Lebaran Trip (bagian 4) ini.


Pantai di Ancol kini lebih tenang ombaknya, karena sudah tertahan barrier buatan manusia di sepanjang pantai. Barrier atau penahan kini juga menjadi salah satu spot kunjungan pengunjung pantai, dimana untuk mereka yang ingin menjangkau harus naik perahu motor terlebih dahulu. Dan para pengunjung bisa turun sejenak di ‘pulau buatan’, yang masih satu bagian dari barrier tersebut untuk berswafoto dengan latar belakang Laut Jawa. Kedua keponakan saya sudah tidak tahan lagi untuk segera nyemplung ke air laut. Tak jauh dari lokasi berfoto kami, ada pantai yang cukup landai pasirnya. Cukup untuk bermain pasir dan bermain air di sore hari yang sangat cerah ini.

Lokasi kedua keponakan saya (dan ayahnya) bermain pasir dan air ini juga cukup nyaman dan aman. Ada pembatas dimana para pengunjung yang bermain air tidak boleh melewati. Cukup bermain di area yang dangkal saja. dan sebagaimana layaknya anak-anak yang bermain di pantai, sudah untuk diajak naik, untuk menyelesaikan sesi berenangnya. “Bentar dong, belum puas nih!”, ujar Deryl sang kakak, disahut ucapan serupa oleh si adik, yang tengah asik bermain pasir. “Lima menit lagi naik ya!”, teriak ibunya.
Lebaran hari pertama, Rabu, 5 Juni 2019.
Tujuan utama kami hanya satu saja, yaitu ke rumah sepupu dari ayah saya, saya panggil beliau Oom Bambang, dan istrinya Tante Nining, juga ketiga anak mereka, di Perumahan Reni Jaya, Ciputat-Tangerang Selatan. Cukup jauh sebenarnya, namun karena kami lewat tol JORR yang lumayan lengang, perjalanan dari Bekasi via GT Kalimalang hingga keluar di GT Pondok Indah ditempuh dalam 30 menit saja. Namun dari GT Pondok Indah lewat Jalan Ciputat Raya lah, ujian sebenarnya. Dari depan Stasiun MRT Lebak Bulus hingga pertigaan Situ Gintung kami tempuh dalam waktu satu jam, dan dari depan Tip Top Ciputat hingga perempatan lampu merah Pamulang (Giant-McDonalds) pun kami tempuh dalam waktu 40 menit. Hal ini sudah saya prediksi, harus mempersiapkan waktu kurang lebih dua jam untuk perjalanan silaturahmi ini. Hal yang bisa membuat saya tenang adalah bayangan hidangan khas Hari Raya Idul Fitri di rumah oom Bambang dan Tante Ning. You name it bro, ketupat, opor ayam, ayam goreng, sayur labu siam, sambal goreng hati, dan jajanan kue-kue kering khas hari raya. Tak lupa manisan kolang-kaling kegemaran saya. Dan semuanya ada di depan mata!
“Yog, nambah lho ya!”, ujar Tante Nining ramah setelah melihat saya makan hidangan yang sudah dipersiapkan dengan lahapnya. Mungkin buat bapak ibu saya, dan Dian adik saya, ini adalah pertemuan kedua kalinya setelah belasan tahun tidak bertemu. Tante Nining dan Oom Bambang pernah mampir ke rumah keluarga kami di Tlogomas, Malang, saat menjemput ibundanya, nenek saya yang akrab dipanggil Mbah Sanah (Sanah Sarijati) untuk diboyong ke rumah mereka di Ciputat. Tempat yang kami kunjungi hari itu. Dan buat Deryl dan Dirta, ini adalah pertemuan pertama mereka dengan kakek dan nenek mereka yang tinggal di Ciputat ini. “Beres, tan!”, balas saya, menyendok ketupat, sambal goreng hati, opor ayam, dan sayur labu siam untuk kedua kalinya. Nahm tentang Mbah Sanah nenek saya ini. Beliau dikabarkan meninggal dunia tahun 2017 yang lalu, tepatnya di tanggal 10 Juli, karena terjatuh hingga tidak sadarkan diri, sepulang dari ibadat pagi, kebiasaan beliau yang tidak pernah ia tinggalkan.

Dan menurut cerita Tante Nining, Mbah Sanah meninggal saat perjalanan dari tempat kejadian ke rumah sakit. Kepergiannya cenderung mendadak, tidak sampai merasakan sakit berkepanjangan. Sama sekali tidak menyusahkan orang-orang di sekitarnya. Keberadaan beliau di tengah-tengah lingkungan keluarga gereja sangat dirasakan, dan kepergiannya adalah sebuah kehilangan besar. Di masa tuanya, beliau masih aktif dalam pelayanan gereja. “Yang melawat Mbah Sanah banyak banget, Yog. Sampai penuh ini rumah”, cerita Tante Ning kepada saya suatu ketika. Itulah sekelumit cerita tentang salah satu nenek saya yang mungkin tidak pernah saya lupakan. Dan salah satu penyesalan saya adalah tidak pernah lagi mengunjunginya, padahal saya ada di lokasi yang ‘cukup dekat’ dengan tempat tinggal beliau. Saya ingat terakhir kali saya mampir ke rumah Oom Bambang ini di tahun 2007, setelah menjemput Mbah Sanah dari Malang kembali ke Jakarta. Dan itulah kali terakhir saya bertemu dengan beliau.
Oh iya, Tante Ning dan Oom Bambang sekeluarga adalah pemeluk agama Islam yang taat, namun hal itu tidak menghentikannya merawat orang tuanya, mertuanya, yang beragama Nasrani. Mbah Sanah adalah pemeluk agama Kristen Protestan yang sangat taat hingga akhir hayatnya. Kedekatan Tante Ning dan Mbah Sanah sangat saya rasakan, yang dianggap nya seperti ibu kandungnya sendiri. They are really good people. Semoga njenengan tenang di alam sana ya, Mbah!
Sepulang dari makam Mbah Sanah dan rumah Tante Ning dan Oom Bambang, sesampai di Bekasi, kami pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Malang di keesokan hari. Packing semua barang-barang yang kami bawa dari Malang, yang entah bagaimana caranya bertambah dua kali lipat. Ya iyalah, orang kalap belanja di sana sini! 🙂
Sampai ketemu di unggahan saya tentang #LebaranTrip ini di edisi kelima. And the next post will be the last post of this Lebaran Trip 2019 serial post. Terima kasih sudah membaca 🙂
One Comment Add yours