Nggak. Saya nggak salah nulis judul kok.
Saya memang menjalani perjalanan dua kali pulang pergi Jakarta-Malang via tol Trans Jawa dan jalur Pantura di festive Ramadhan dan Lebaran tahun 2019 ini. Saya pulang ke Malang naik bus malam, dan kembali ke Jakarta lewat Ambarawa dengan mobil keluarga (and I’m their solo driver), napak tilas masa kecil ibu saya di kota kecil yang cantik ini sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Lalu di Lebaran hari kedua saya melanjutkan perjalanan kembali ke Malang dengan mampir sebentar ke Kota Semarang, napak tilas kembali ke masa kecil ibu saya, di rumah kerabat yang ternyata jaraknya hanya sepelemparan batu dari kuil Sam Poo Kong. It was one journey to remember!

Salah satu kebahagiaan tersendiri buat saya adalah saat saya naik bus malam dari Terminal Pulogebang, Jakarta Timur. Terminal terpadu ini konon katanya terminal bus terbesar di Indonesia, dan megah memang. Bukan hanya bus berukuran besar (bus malam saja), namun juga bus kota (Trans Jakarta), mikrolet atau angkot juga berangkat pulang dari terminal yang langsung terintegrasi dengan tol lingkar luar Jakarta ini. Kehadiran terminal terpadu ini berhasil menggeser keramaian di Terminal Pulogadung, menghilangkan kemacetan yang dari sejak dulu kerap ditemui. Dan perjalanan itu pun dimulai. Hari Rabu, 29 Mei 2019 dari Terminal Pulogebang dengan bus malam Pahala Kencana.
Nah, tentang kebahagiaan tadi. Perjalanan dengan bus malam ini sangat mengingatkan saya di awal-awal masa saya bekerja di Jakarta. Di kisaran tahun 2005-2006, besaran gaji saat itu masih mustahil untuk membeli tiket pesawat Jakarta-Surabaya pp, dan naik mobil travel bolak balik dari rumah ke Bandara Juanda Surabaya, karena saat itu Bandara Abdulrachman Saleh Malang belum dibuka untuk penerbangan komersial, masih bandara udara militer TNI-AU. Saya ingat bagaimana saat bus meluncur dari pool bus Kramat Djati di Pasar Minggu, masuk ke tol Jakarta-Cikampek dan keluar di GT Cikampek, melaju di jalanan pantai utara Pulau Jawa, terbiasa dengan salesman dodol garut yang entah bagaimana bisa berjualan diatas bus, saat bus melaju, mempresentasikan barang dagangan mereka dengan lincah, membandingkan harga jual yang mungkin berlaku di toko dibandingkan dengan harga dari mereka. Menggelikan sih. Mereka tidak mengganggu, malah jadi hiburan tersendiri, sebelum kami berhenti untuk layanan makan malam di restoran-restoran di daerah Pamanukan dan sekitarnya. Masing-masing penumpang menukarkan kupon makannya ke para pramusaji yang bertugas, kemudian antri mengambil makanan yang sudah ditentukan porsinya. Nasi boleh tambah, namun lauk dan sayur ditakar oleh pramusaji.
Menunya saya ingat saat itu cukup banyak variasinya; ayam goreng atau bakar (diambilkan pramusaji, satu orang satu potong-tidak boleh tambah), mie goreng, tempe/tahu goreng, dan sayuran/tumisan sayur. Kerupuk, acar, dan teh hangat (kadang ditemani es batu kalau ingin buat es teh manis) tidak ketinggalan. Dan melanjutkan perjalanan dengan hanya menyisakan cahaya redup di dalam ruangan bus malam, melewati jalanan pantai utara kembali. Serunya adalah saat bus malam kami menyalip bus malam lain, atau bahkan truk gandeng, masuk ke jalur yang berlawanan. Deg-degan rasanya melihat bus yang kita tumpangi hanya beberapa centimeter saja jaraknya dengan kendaraan besar lain di depan, sebelum sopir melakukan manuver tajam, membelokkan bus kembali ke jalur yang benar. Sesekali bus malam berhenti istirahat di restoran-restoran/rumah-rumah makan setelah masuk Provinsi Jawa Timur, untuk sang sopir dan awak bus lainnya kembali mendapatkan pelayanan dari restoran, dan mempersilahkan penumpang yang ingin jajan atau sekedar ke toilet untuk turun sejenak. Makanan yang paling sering dibeli saat itu adalah Pop Mie, dan teh manis hangat. Hal lain yang menyenangkan adalah, tidur di sepanjang perjalanan. Terbangun dan cek di papan nama toko terdekat, posisi sekarang sudah sampai di kota mana, memperkirakan berapa jam lagi sampai di Malang, dan lanjut tidur lagi.
Dan momen paling membahagiakan adalah saat bus melaju melewati gerbang kota sesaat sebelum masuk ke Terminal Arjosari. Rasa bahagia membuncah seketika, saat merasakan dinginnya udara Malang, setelah berbulan-bulan lamanya berkutat dengan hawa panas Jakarta dan Bekasi. Rasanya seperti pahlawan yang baru pulang dari medan perang, kembali ke kampung halamannya untuk disambut dengan sorak sorai. Well, this is kinda exaggerating. Lebay! Ada sih yang menyambut hangat, keluarga di rumah, yang sudah kerap menghubungi dari dini hari. Menanyakan via telepon sudah sampai mana, dan kemudian membuat perkiraan sendiri di jam berapa saya bakal sampai di rumah. Turun dari bus, keluar dari area bus dan masuk ke antrian mikrolet, memilih jalur ADL (Arjosari-Dinoyo-Landungsari), yang akan mengantarkan saya ke rumah. Well, I’ve been so emotional writing this enjoyable homecoming trip long long time ago by night bus. Still enjoyable despite the journey itself took at least 18-20 hours. Days before Tol Trans Jawa 🙂

Dan rencananya memang kami sekeluarga (7 orang) sama-sama naik mobil, merasakan lancarnya arus mudik dan arus balik via jalur Tol Trans Jawa. Mobil Daihatsu Xenia Sporty tahun 2014 pun jadi andalan kami semua. Keputusan ini diambil setelah kami berhitung matematis, membandingkan pilihan mana yang lebih ekonomis. Antara naik kereta Jakarta-Malang pp dengan biaya Rp1.500.000,-/orang (dikali tujuh sudah Rp10.500.000,- sendiri), dan naik mobil dengan saya tentunya, sebagai sopir tunggal. “Boleh-boleh saja, asal sering-sering berhenti saja kalau rasa kantuk menyerang ya!”, ujar saya. Perkiraan kasar sih, biaya tol dan bensin untuk perjalanan Jakarta-Malang pp, dengan mampir-mampir di Semarang, Bawen, Salatiga, Ambarawa, dan Cirebon sekitar Rp1.800.000,- untuk biaya tol, dan Rp1.200.000,- untuk biaya BBM Pertalite. Makan bisa dimana saja, yang tentunya bukan di rest area. Kami bisa keluar di kota terdekat, untuk makan di restoran yang paling banyak dapat rekomendasi (yang harganya bersahabat tentunya) bila ternyata di jam makan siang atau malam masih belum sampai di kota tujuan. Dan isi BBM Pertalite tentunya, jika perkiraan ke SPBU yang menyediakan BBM ini masuk jarak tempuh dengan stok BBM di mobil.
Setelah menempuh perjalanan dengan bus malam Pahala Kencana, dengan kondisi bus yang seadanya, saya sampai di kota Malang hari Kamis, 30 Mei 2019 pukul 07.30 WIB (lebih cepat dari jadwal; berangkat pukul 13.00 dan sampai pukul 10.00 WIB). Saya turun di spot favorit penumpang bus arah Malang, sebelum masuk Terminal Arjosari, di depan Kantor Taspen. Demikian lokasi tersebut dikenal. Dan saya ada di kota kelahiran saya ini hanya dalam sehari semalam saja, sebab di keesokan harinya, pagi-pagi betul kami sudah harus beranjak ke Kota Ambarawa dan Semarang. Setelah menyempatkan diri untuk kuliner di Bakso Keraton-Karanglo, yang terkenal dengan Bakso Iga ukuran besarnya, yang hanya dihargai Rp15.000,- per porsi, dan misa malam di Gereja Santa Perawan Maria Ratu untuk merayakan Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus bersama dengan keluarga, kami pun bersiap-siap.

Off we go! Kami berangkat dari Malang tanggal 31 Mei 2019 pukul 07.00 WIB, berenam saja, karena adik saya, Dian yang berprofesi sebagai seorang PNS, masih harus tinggal untuk masuk kerja di hari Jumat, dan menghadiri upacara di tanggal 1 Juni (Hari Lahir Pancasila). Dia sendiri akan menyusul ke Jakarta via Kereta Api Gajayana Lebaran di hari Sabtu sore. Perjalanan Malang-Salatiga cukup kami tempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam saja, yang sangat dipengaruhi oleh sudah dibukanya GT Singosari-Malang. Dengan sudah dibukanya GT Singosari ini, waktu perjalanan bisa dipangkas hingga 1-2 jam lamanya. Oh iya, saya sudah pernah melewati ruas tol Pandaan-Malang ini saat masih dibangun, masih berstatus tol fungsional di saat homecoming untuk Natal tahun 2018 yang lalu.
Tujuan 1: Danau Rawa Pening, Ambarawa

Kami datang ke lokasi-lokasi wisata di Ambarawa ini saat bulan puasa, jadi hanya beberapa warung makan saja yang buka. Dan di lokasi wisata pertama ini, hanya satu saja penjaja ikan wader goreng dan hasil danau lainnya. Biasanya yang menjajakan ikan wader-ikan sepat-udang goreng berjejer dan harganya cukup murah. Namun karena supply jauh berkurang berkurang, dan demand yang selalu ada, efeknya tentu ke harga jual ikan wader itu sendiri. Kami harus menebus 1 porsi ikan wader goreng ukuran kecil dengan harga Rp10.000,- plus sambal dan lalapan rebus dari penjual makanan.

Makan siang yang saya rasakan sungguh istimewa, bukan hanya karena masakan dan lokasinya, namun saya makan siang dengan orang-orang terdekat yang tidak bisa setiap hari saya temui. Ibu saya membawa nasi putih dan masakan rumah yang masih tersisa untuk tambah lauk dan sayur saat makan siang di lokasi ini. Dan ujung-ujungnya kami hanya membayar Rp55.000,- untuk 3 porsi ikan wader goreng, sambal (yang ternyata enak dan pedas sekali), lalapan rebus, sayur tahu. Belum termasuk 6 gelas es kelapa muda sirup frambozen, yang dihargai Rp5.000,- per gelasnya.


Saya sudah pernah sekali datang ke Danau Rawa Pening ini, 2 tahun yang lalu saat merayakan ulang tahun saya di Semarang, bersama dengan istri dan kedua mertua saya. Dan satu hal yang belum pernah saya lakukan adalah berkeliling danau dengan perahu motor. Dan di kesempatan kali ini saya tidak melewatkannya. Dengan biaya Rp100.000,- per perahu (tidak dihitung per kepala), berkelilinglah kami berenam, menjelajah danau yang konon legendanya berasal dari kemarahan seorang anak buruk rupa yang ternyata sakti mandraguna, menghukum warga desa yang angkuh dan tidak simpatik terhadapnya. Lebih lengkap bisa dibaca kisah selengkapnya disini.


Danau Rawa Pening ini luasnya 2,7 hektar, kami jelajah dalam waktu kurang lebih 30 menit. Di area danau, banyak ditemui karamba-karamba berisi ikan nila, ikan mujair, dan ikan-ikan populer danau lainnya, dan juga para nelayan yang menggunakan sampan untuk menjala dan memancing ikan. Gugusan gunung dan perbukitan menambah indah pemandangan danau.
Tujuan 2: Museum Kereta Api Ambarawa
Satu hal yang dinanti oleh kedua keponakan saya, Dirta dan kakaknya, Deryl, adalah berkunjung ke museum kereta api. Saya pernah bercerita tentang bagaimana lokomotif-lokomotif kuno berwarna hitam berukuran raksasa dipajang di museum ini. Juga beberapa spot menarik, tentang sejarah perkeretaapian di Indonesia sejak zaman Belanda hingga zaman Pak Joko Widodo, diorama Stasiun Ambarawa sendiri yang sudah tutup untuk umum, namun buka untuk trip wisata ke Stasiun Tuntang dengan kereta api uap, khusus di hari Sabtu dan Minggu, dan hari-hari libur nasional lainnya, dan pastinya gerbong-gerbong kereta yang cukup cantik untuk dijadikan background foto selfie. Instagrammable!




Ada satu scene dalam perjalanan kami ke Ambarawa ini yang membuat saya sedikit trenyuh. “Yog, ibu kalau jalan jauh sudah tidak kuat. Ada persewaan kursi roda nggak?”, ujar ibu saya. Saya lupa saat itu kalau kondisi ibu saya memang sudah menurun semenjak operasi pengangkatan kanker payudara yang ia jalani beberapa waktu yang lalu, lengkap dengan sesi-sesi kemoterapi dosis ringan yang masih harus dijalani. “Bentar, aku tanyakan dulu ya, buk”, balas saya, dan saya pun lanjut ke meja informasi dimana petugas penjual tiket museum yang sangat ramah mengarahkan saya ke bapak penjaga pintu masuk, dimana terparkir satu kursi roda lipat di sampingnya. “Mas tinggalkan KTP saja sebagai jaminan, dan nanti dikembalikan lagi ke sini ya”, ujar bapak penjaga pintu masuk dengan super ramah. Dan jadilah saat itu, untuk pertama kalinya saya mendorong kursi roda dengan ibu saya diatasnya. Agak sedih sebenarnya. Namun hal yang meringankan beban pikiran saya adalah semangat hidupnya yang masih menyala. Keinginan beliau untuk mengunjungi semua tempat-tempat bersejarah di masa kecilnya, di kota dimana beliau dibesarkan.

Tujuan 3: Gua Maria Kerep, Ambarawa
Kami beranjak dari museum kereta api, melewati Tugu Palagan Ambarawa dengan tank yang iconic di pertigaan kota, menuju rumah keluarga dari kakek saya, ayah dari ibu saya. Ada satu orang nenek, ipar dari kakek saya yang masih hidup. Saat ini beliau, Mbah Jah, demikian kami memanggil beliau, masih sehat di usianya yang hampir menginjak 90 tahun. Masih terlihat sehat dan bugar, namun beliau mengaku sudah mengalami penurunan di kesehatannya. Tidak mampu lagi berjalan jauh dan melakukan aktivitas berat yang sudah biasa beliau lakukan.


Salah satu lokasi favorit saya di Ambarawa ini adalah Gua Maria Kerep, dimana dibangun patung Bunda Maria yang konon tercatat sebagai patung Bunda Maria tertinggi di dunia. Bangunan patung sendiri berdiri setinggi 23 meter dan ketinggian penopangnya 19 meter. Patung itu adalah karya tiga orang seniman asli Ambarawa. Ada RBA. Koentjoro BP, RA., Nugroho Adi P dan RA., dan Hartanto Agung Y. Mulai dibangun Bulan Januari 2015, dan Bulan Agustus 2015 diresmikan oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Johannes Pujasumarta. Di bagian penopang Patung Bunda Maria ini juga dihiasi oleh diorama yang menggambarkan tujuh duka Bunda Maria. Patung dibuat dengan menghadap ke kearah matahari terbit untuk menggambarkan bahwa Bunda Maria menyinari seluruh manusia. Pengunjung yang datang ke kompleks GMKA umumnya akan mengambil foto di sekitar patung untuk mengabadikan kemegahan patung Bunda Maria.

Sejenak kami berenam pun berdoa di bawah patung Bunda Maria tersebut, mendaraskan doa Salam Maria untuk menyertai ujud permintaan dan permohonan kami masing-masing. Tentu saja kami semua berdoa memohon keadaan yang lebih baik kedepannya, tanpa lupa mensyukuri berkat dan rahmat yang sudah dianugerahkan kepada kami.

Karena ingin berlama-lama di sekitar Gua Maria Kerep ini, kami pun memutuskan untuk menginap di salah satu penginapan yang ada. Randomly check, ternyata kami mendapatkan kamar yang cukup bagus di sebuah hotel yang terletak tepat di seberang kompleks Gua Maria Kerep. Hotel Griya Wijaya nama hotelnya. Tarif pun cukup bersahabat, meskipun ada dalam festive season, hari dimana banyak orang pergi berlibur, tarif untuk 1 kamar standar hanya Rp450.000,- dan Rp150.000,- untuk 1 extra bed. Lokasi hotel sangat strategis. Tinggal menyeberang saja ke lokasi Taman Doa dan Gua Maria, dan hanya melangkah saja ke Patung Gua Maria Kerep. Dan yang terpenting, hanya sekoprolan saja ke lokasi kulineria di Kerep ini. Yuk, makan!

Saren ayam. Makanan ini biasa saya beli di depan kompleks Gereja Paskalis-Cempaka Putih, Jakarta Pusat sebelum misa hari Minggu. Makanan yang bukan untuk semua orang ini, dibuat dari darah ayam yang dibekukan, kemudian dicetak sedemikian rupa, dipotong-potong dan di goreng matang sampai agak kehitaman. Masih ada opsi saren sapi, dari darah sapi tentunya. Teksturnya lebih lembut, dengan warna agak hijau di bagian dalamnya (plasma darah), terlihat jika kita belah. Saya lebih suka dengan saren sapi ini karena cenderung lebih lembut, sementara saren ayam lebih padat teksturnya. Saren atau disebut ‘didih’ di Jawa Timur ini biasa dimasak manis dengan bumbu bacem, atau dimasak gurih saja dengan bumbu bawang putih, garam, dan sedikit ketumbar. Di Kerep ini, saren menjadi lauk teman makan pecel sayur. Pecel sayur yang banyak ditemui di Jawa Tengah dan juga Jawa Timur ini bisa disantap dengan nasi putih, gendar (semacam adonan opak yang belum digoreng), dan lontong. Buat saya, kombinasi nasi putih, pecel sayur, saren sapi saja sudah cukup mematikan. Enak, bisa habis nasi banyak!

Apalagi kalau lauknya ini. Mbak-mbak berbaju merah di foto atas adalah penjaja masakan non-halal, yang biasa disebut B1 (maaf, daging anjing), dan B2 (daging babi). Khusus untuk daging B1 hanya diolah dengan bumbu rica-rica, sedangkan daging B2 dimasak kecap dan rica-rica. Saya coba membeli 2 porsi B2 masak kecap, dengan harga per porsi Rp20.000,- dan porsinya cukup banyak, cukup untuk 2 orang sebenarnya.


Saya sendiri hanya makan daging B2 saja, alasannya karena pernah punya peliharaan anjing, yang sudah dianggap bagian dari keluarga sendiri sejak kecil. Anjing-anjing peliharaan kami kami rawat semenjak kecil hingga mati tua, ada beberapa yang mencapai umur belasan hampir dua puluhan tahun. Sampai sekarang pun, saya belum pernah mencicipi sedikit pun daging B1. Satu lokasi kuliner lagi adalah Kupat Tahu Ambarawa, yang mirip dengan masakan kupat tahu khas Magelang, atau tahu gimbal Semarang, tapi minus udangnya. Tempat makan sederhana yang murah meriah ini ada tepat di belakang penjual masakan B1 dan B2 di sejajaran Gua Maria Kerep. Saya, bapak, dan ibu saya menyempatkan makan sejenak di tempat makan ini, melepas penat sambil bernostalgia.

Simak perjalanan kami dari Ambarawa ke Jakarta, dan selama di Jakarta di unggahan saya selanjutnya. Terima kasih sudah berkenan membaca 🙂
Referensi:
- Judul artikel: Legenda Rawa Pening. Link: https://histori.id/legenda-rawa-pening/ (diakses pada Kamis, 20 Juni 2019, pukul 09.38 WIB).
- Judul artikel: Rawa Pening. Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Rawa_Pening (diakses pada Kamis, 20 Juni 2019, pukul 09.38 WIB).
- Judul artikel: Patung Bunda Maria di Ambarawa Ini Diklaim yang Tertinggi di Dunia, Karya Tiga Seniman Lokal Lho. Link: https://jateng.tribunnews.com/2016/11/28/patung-bunda-maria-di-ambarawa-ini-diklaim-yang-tertinggi-di-dunia-karya-tiga-seniman-lokal-lho (diakses pada Kamis, 20 Juni 2019, pukul 10.12 WIB).
6 Comments Add yours