[Larantuka Trip] Meresapi Semana Santa di Kota Larantuka

Larantuka, saya boleh bilang kalau kamu istimewa!

Saya melihat bagaimana religi bercampur dengan tradisi disini, namun saya juga memperhatikan bagaimana kota ini tetap menjaga toleransinya. Saya masih melihat penduduk kota yang beragam, bukan hanya orang Flores saja, namun juga orang Jawa, Bugis, Makassar, dan dari mana saja. Bukan hanya orang Katolik atau Kristen saja, penduduk yang beragama Muslim juga banyak saya temukan disini, bahkan saya melihat beberapa masjid besar dan megah berdiri disini. Larantuka itu kota pelabuhan, dan sebagaimana lazimnya kota pelabuhan, kota ini menjadi melting pot, tempat inkulturasi budaya. Tempat dimana banyak orang dari beragam latar belakang datang dan berkumpul. Dan kota ini sangat padat di kala menjelang Paskah saja. Selain masa Paskah, kehidupan di kota ini berjalan biasa saja.

Dan saat menjelang Paskah tiba, puluhan ribu orang bisa berkumpul di tempat ini. Memenuhi penginapan-penginapan, dan rumah-rumah warga yang berkenan tempat tinggalnya ditempati sementara oleh para peziarah. Namun saya amati, peziarah yang mendatangi Kota Larantuka agak berkurang tahun ini, dikarenakan Pileg dan Pilpres Serentak diadakan  di tanggal 17 April 2019.  Alias bertepatan dengan Rabu Trewa, yang diambil dari kata tarawih. Dan kegiatan berdoa di Kota Larantuka pun disebut mengaji. Anda akan merasakan atmosfer lain, seperti bukan di Indonesia, saat mendengar ibu-ibu mengaji, melafalkan doa Salam Maria dalam rangkaian Doa Rosario dalam bahasa Portugis.

Kapela Misericordia Pantai besar, Larantuka
Kapela Misericordia Pantai besar, Larantuka

Salah satu momen favorit saya di hari Rabu Trewa, saat kami bersama-sama berdoa di Kapela Pantai Besar, beberapa kilometer dari arah pusat kota. Kapela Pantai Besar ini punya sejarah kuat di garis keturunan bapak mertua saya, sehingga setiap pulang ke Larantuka untuk Semana Santa, kami selalu berdoa disini.

Diambil dari artikel Berita Satu, berikut makna dari Semana Santa dan nama-istilah yang ada di dalamnya:

Semana Santa merupakan sebuah budaya rohani yang dilakukan oleh masyarakat Larantuka yang terletak di wilayah timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang dilakukan setiap tahun, seminggu sebelum perayaan Paskah. Larantuka dikenal pula dengan nama Kota Reinha (Bahasa Portugis) yang artinya Kota Ratu atau Kota Maria. Makanya, semua umat Katolik di Larantuka dan sekitarnya dengan khidmat merayakan Pekan Suci yang dikenal sebagai Semana Santa itu.

Perayaan itu dimulai pada hari Rabu, yang dikenal dengan istilah Rabu Trewa, yaitu kegiatan persiapan prosesi dengan pemasangan lilin-lilin di seluruh Kota Larantuka, tepatnya di kiri-kanan jalan raya yang akan dijadikan rute prosesi. Saat itu pula dilakukan persiapan dan penyelesaian pekerjaan delapan buah Armida, yaitu tempat perhentian kontemplatif. Sejak Rabu Trewa itulah, Kota Larantuka berubah menjadi kota berkabung, untuk mengenang kisah sengsara Yesus, wafat dan bangkitan.

Puncak perayaan Semana Santa sendiri adalah Jumat Agung atau Sesta Vera. Pagi hari, diadakan arak-arakan bahari, mengantarkan Tuan Menino (patung kanak-kanak Yesus) dari kapela Tuan Menino (Kota Sau) ke Kapela Pohon Sirih (Larantuka).

Prosesi mengantar dan menyambut Tuan Meninu

Siang hari, dari Kapela Tuan Ma, dilakukan perarakan patung Bunda Maria (Tuan Ma dalam bahasa Nagi) yang menjemput patung Yesus Kristus (Tuan Ana) di kapela Tuan Ana, untuk diarak bersama-sama menuju Katedral Larantuka. Sore dan malam hari, setelah Misa Jumat Agung dan upacara penghormatan salib, dari Katedral Larantuka dimulailah perarakan patung Tuan Ana dan Tuan Ma mengelilingi Kota Larantuka, melalui delapan titik perhentian kehidupan (Armida).

Kapela Tuan Ana (Kapela Tuhan Yesus)
Prosesi cium Tuan Ana di Kapela Tuan Ana (Kapela Tuhan Yesus)

Ribuan lilin di sepanjang rute prosesi dan di tangan para peziarah menjadikan Larantuka sebagai kota perkabungan suci. Makna religi prosesi yang kental dengan gaya Portugis ini sesungguhnya adalah menempatkan Yesus sebagai pusat ritual, serta menempatkan Bunda Maria sebagai ibu yang berkabung (Mater Dolorosa), karena menyaksikan penderitaan Yesus anaknya, sebelum dan saat disalibkan di Bukit Golgota pada saat itu.

Patung Tuan Ma dan para Lakudemu dalam Gereja Katedral Larantuka, sebelum prosesi perarakan
Perarakan di Via Dolorosa

Prosesi Semana Santa itu berlangsung hingga dini hari Sabtu Santo. Makna prosesi religius ini hanya satu-satunya di dunia dan telah berusia 5 abad, yang menjadi daya pikat banyak peziarah Katolik yang tergerak untuk mengikuti prosesi rohani. Menurut data Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin, jumlah peziarah pada tahun 2012 tercatat sebanyak 11.253 orang dari nusantara dan mancanegara, belum termasuk peziarah lokal NTT serta penduduk lokal yang mengikuti prosesi Semana Santa. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk 2013, yang terdata sudah mencapai 15.300 peziarah. Jumlah tersebut bukan saja dari umat Katolik, melainkan juga umat dari lima agama yang ada di Indonesia.

Tradisi lain dalam Semana Santa adalah “esmola”, yakni sedekah amal. Esmola ini dilakukan oleh ibu-ibu yang selamat saat melahirkan. Ibu-ibu ini didampingi beberapa “kebara” (anak masih gadis), mengenakan sarung dan mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta sedekah.

Dengan membawa tongkat dan ditemani gadis-gadis yang membawa “nera” (bakul), sesampai di rumah yang dituju, tongkat diketuk pada pintu rumah sambil berujar, “Jemola de Deo (sedekah demi Allah)!” Tuan rumah akan menjawab, “Costura de Deo (petunjuk Allah), maso ke mari!” Sedekah yang terkumpul kemudian diletakkan di kapela yang nantinya akan dibagikan kepada fakir miskin dan orang sakit.

Upacara mengaji Semana Santa berakhir hari Rabu Trewa, oleh Suku Kapitan Jentera, suku yang berkedudukan sebagai panglima perang Kerajaan Larantuka. Usai mengaji, Suku Kapitan Jentera melapor kepada Raja Larantuka, bahwa ritus mengaji semana telah selesai dan siap dilanjutkan dengan prosesi Jumat Agung.

Pada malam mengaji semana berakhir, diadakan pula liturgi lamentasi (nyanyian ratapan Yeremia). Setelah selesai lamentasi, umat membunyikan benda-benda seperti kaleng, seng maupun benda lain, sambil berteriak “Trewa! Trewa!”, sebagai tanda bagi seluruh umat untuk tidak melakukan aktivitas berat. Umat Katolik di Larantuka dilarang bepergian ke luar wilayah Larantuka, agar sama-sama memasuki masa perkabungan agung.

Padam malam Rabu Trewa, di Istana Raja Larantuka dilaksanakan pula upacara untuk menentukan siapa yang membawakan ovos (nyanyian ratapan) pada salah satu Armida. Di Istana Raja itu juga dilakukan persiapan terakhir di mana para confreria melatih koor yang akan dinyanyikan pada prosesi Jumat Agung.

Penyanyi Ovos (nyanyian ratapan) di Gereja Katedral Larantuka, sebelum perarakan

 

Keesokan harinya, Kamis, dalam liturgi Gereja Katolik disebut sebagai hari Kamis Putih. Di hari itu, semua umat Katolik Larantuka melakukan “tikam turo”, yaitu memancang tiang-tiang kecil di sisi kiri dan kanan jalan yang akan dilalui saat prosesi Jumat Agung keesokan harinya. Pada tiang-tiang kayu itu dipasang pula belahan kecil bambu yang akan dipakai sebagai tempat untuk menjajarkan lilin-lilin yang dinyalakan pada malam Jumat Agung.

Tidak sembarang kayu yang dipakai untuk “tikam turo” tersebut, melainkan harus kayu “kukung”. Pihak yang mengambil peran dalam tradisi “tikam turo” disebut Mardomu. Kata “mardomu” sendiri berasal dari bahasa Latin, “maior” dan “domus”, yang berarti rumah besar. Mardomu disebut juga tuan pesta. Mardomu atau nazar agung (permesa) ini, dilakukan oleh seseorang atau sebuah keluarga yang dengan segala wujudnya, menanggung tanpa pamrih segala kebutuhan untuk keperluan prosesi sebagai wujud melayani Tuhan.

Dari artikel Beritasatu.com yang saya sertakan di halaman blog saya ini, sepertinya cukup banyak informasi yang bisa didapat seputar Semana Santa, yang sangat meriah di Kota Larantuka. Saya sebut meriah, meskipun sebenarnya perayaan dan perarakan ini penuh dengan rasa duka, meratapi Yesus Kristus dan penderitaan-Nya untuk menebus dosa-dosa kita manusia, namun vibe-nya terasa sampai seluruh penjuru kota. Tradisi yang bercampur menjadi satu dengan religi, membuat Larantuka menjadi sangat unik di mata saya.

Hal-hal yang unik lainnya, di Kamis Putih, orang-orang berduyun-duyun datang ke makam, atau ‘nyekar’ kalau orang Jawa bilang. Namun sebagian besar bukan membawa bunga untuk ditaburkan, melainkan membawa lilin. Selepas Misa Kamis Putih, kira-kira pukul 18.00 WITA, makam besar yang terletak di samping Gereja Katedral Larantuka nampak bernyala. Itu karena ribuan lilin yang dinyalakan di makan oleh para peziarah. Dan penduduk lokal pun melakukan hal yang sama, mengunjungi makam kerabat dan keluarganya, mendoakannya. Saya jadi ingat film Coco, film yang mengisahkan tentang masih adanya hubungan yang kuat antara mereka yang sudah meninggalkan kita dengan kita yang masih hidup di alam yang fana ini. Ada satu scene dimana semua penduduk kota beramai-ramai datang ke makam, membawa lilin, bunga, dan hal-hal lainnya.

Kira-kira, begini suasana di makam selepas Misa Kamis Putih, sejenak sebelum perarakan:

Pemakaman Katolik Larantuka
Pemakaman Katolik Larantuka

Pemakaman tidak terlihat menyeramkan seperti sebagaimana seharusnya, namun pemakaman terlihat terang benderang. Banyak orang terlihat berdoa di sini sana, di makam kerabatnya masing-masing, maupun di makam para pastor yang terletak persis di tengah kompleks makam, dengan salib besar berdiri tegak diatasnya. Nampaknya bangunan makam para pastor ini sudah ditambahkan menjadi satu tingkat lebih tinggi, karena terakhir saya lihat di tahun 2010, tidak setinggi saat ini. Artinya, gereja mempersiapkan makam baru untuk para pastor yang meninggal dunia di kompleks ini.

Pemakaman Katolik Larantuka (makam para pastor)

Buat saya, ke Kota Larantuka saat Paskah ini seperti ‘naik haji’ kecil. Tentunya feel yang didapat tidak akan se-grandeur saat kita ke Yerusalem, atau Vatikan, misalnya. Namun mengikuti perarakan demi perarakan, acara demi acara, ritual demi ritual, dan prosesi-prosesi yang ada sungguh memberikan pengalaman spiritual yang luar biasa.

Sumber:

Uniknya Tradisi Budaya “Semana Santa” di Larantuka. Link berita: https://www.beritasatu.com/destinasi/104795-uniknya-tradisi-budaya-semana-santa-di-larantuka.html. Diakses pada: Kamis, 16 Mei 2019 pukul 09.42 WIB.

Mengenal Tradisi Perpetu, Ritual Jelang Paskah di Larantuka NTT. Link berita: https://news.detik.com/berita/d-3473312/mengenal-tradisi-perpetu-ritual-jelang-paskah-di-larantuka-ntt. Diakses pada: Kamis, 16 Mei 2019 pukul 09.42 WIB.

2 Comments Add yours

  1. Sierli FP says:

    Someday, kami sekeluarga mesti ke Larantuka mengikuti prosesi ini. Ruarbiasaa.. terimakasih artikel liputannya mas Haryo. Berkah dalem.

    1. haryoprast says:

      Semoga terwujud, Bu Sierli! Sekaligus nanti sempatkan menyeberang ke Pulau Adonara dari Pelabuhan Larantuka, ke Kapel Wureh, dimana banyak umat memanjatkan doa-doa permohonan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s