Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang keinginan saya melanjutkan sekolah S3 di Sekolah Bisnis IPB-Bogor, menyambung tulisan sebelumnya tentang salah satu mimpi saya.
Saya jadi ingat suatu adegan dimana bapak ketua sidang, seorang profesor yang bertanya pada saya: “Apa motivasi anda melanjutkan sekolah S3?” Saya diam sejenak saat itu, memilih jawaban terbaik dari beberapa pilihan jawaban yang sudah saya siapkan, karena saya yakin akan mendapatkan pertanyaan demikian. “Sebenarnya, mengajar sekarang menjadi passion saya, Prof. “Saya merasa kalau mengajar atau berbagi itu ‘nagih’, Prof. Dan kebetulan saya datang dari keluarga yang sebagian besar berprofesi sebagai guru. Dan dengan gelar doktor ini saya bisa membagikan ilmu, pengetahuan, dan pengalaman saya kepada mahasiswa/mahasiswi saya bukan hanya dari jenjang S1, namun juga mahasiswa/mahasiswi S2. Saya pun sudah mengukur diri saya sendiri, bahwa saya tidak punya bakat sebagai seorang entrepreneur. Di masa setelah saya selesai bekerja di sektor formal ini, saya akan lanjut sebagai dosen, konsultan, ataupun pekerjaan yang bersifat self-employed”, demikian jawab saya.

Well, sebenarnya saya sudah mempersiapkan jawaban seperti: “Saya ingin melakukan penelitian seputar A,B,C, dan seterusnya, agar ilmu, pengetahuan, dan pengalaman berguna bagi banyak orang, nusa, dan bangsa”. Tapi kok ya gak tega dan pasti malu sendiri dengan jawaban klise semacam ini. Geli sendiri rasanya. Emangnya saya siapa, baru belajar saja kok gak malu kasih jawaban seperti ini 😀
I have a quite good photographic memory, so more or less I still remember the faces I’ve seen on that room that day, and still remember what they said.

Sebelum saya meninggalkan tempat, bapak ketua sidang bertanya lagi ke saya: “Kalau diterima dan proses beasiswanya berjalan agak lama, mas mau menunda kuliah atau bagaimana?”. Lalu saya jawab, “Menunda kuliah sepertinya opsi terbaik, prof. Karena saya hanya bergantung pada beasiswa saja untuk melanjutkan studi S3 saya. Itupun kalau saya diterima”. “Baik, jika demikian. Silahkan meninggalkan ruangan, kami akan berdiskusi dahulu”, pungkasnya. Yup, saya berkata sejujurnya. Bahwa sepenuhnya saya menggantungkan diri ke beasiswa LPDP atau beasiswa apapun yang dapat menjamin keberlangsungan studi saya. Jika dan hanya jika saya diterima. Itu tadi sekilas kejadian di tanggal 9 Mei 2018, sekitar pukul 10.00 WIB.
Dan di tanggal 7 Juli 2018, saya mendapatkan pengumuman dari SB-IPB. And it’s kinda bad news. Saya belum dapat diterima sebagai mahasiswa Sekolah Bisnis IPB, saya baca pernyataan di surat yang dikirim via e-mail saya. Kecewa? Iya. Sedih? Sedikit. Devastated? No. Move on? Pasti! Harus.
Jadi tidak diterimanya saya sebagai mahasiswa S3 di SB-IPB membuat pilihan hidup saya balik ke awal semula, sebelum saya mendengar bisikan hati untuk mencoba ambil peluang masuk ke SB-IPB. Dipermudah malah. Yaitu bekerja sebagai profesional marketer dan berbagi pengalaman di setiap semester ganjil di FISIP-UI. Done. Artinya, pilihan untuk menjadi seorang akademisi untuk saat ini harus dikesampingkan dahulu. Meskipun keinginan itu masih ada, dan saya masih punya sisa usia 1-2 tahun lagi kalau saya masih ingin mengejar cita-cita saya ini sebelum usia saya menginjak 40 tahun, jika saya ingin melanjutkan studi dengan beasiswa. Dan satu lagi, ide saya untuk meneliti dan mengkaji tentang sharing economy, e-commerce, ride hailing, financial technology, digital consumer, mobile apps, e-logistics dalam ekosistem digital economy yang rencananya saya akan jadikan bahan disertasi saya, masih akan jalan terus, meskipun saya kejar dalam bentuk informal.
Selesai.
Semangat untuk terus mengejar Mimpi, Pak !
Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran untuk proses selanjutnya. Terima kasih sudah membagikan kisah menarik seperti ini, kami yang membaca jadi mengerti juga dengan proses panjang untuk bisa diterima sebagai mahasiswa S3 sebuah sekolah besar di Indonesia.
Salam.
Thanks mbak Ayu!
LUAR BIASA DIAKHIR TULISAN YANG SAYA PIKIRKAN TERBALIK DENGAN KENYATAAN…PAK…SUNGGUH CERITA YANG MENGINSPIRASI BAHWA PERJUANGAN BELUM BERHENTI…BAPAK HEBAT…
Selama kita masih hidup, takdir kita berjuang, dan tidak lupa berharap, mas. Terima kasih atas apresiasinya 🙂
Keren ceritanya sangat menginspirasi Pak. Kebetulan saya juga dalam situasi yang sama. Ingin lanjut s3 di usia yg mendekati batas maksimal utk apply beasiswa reguler LPDP. Seringkali mundur rasa minder dan ingin mundur saja sebelum berperang mengingat status saya yang hanya sebagai Dosen Part time. Tapi setelah baca blog bapak ini, saya merasa harapan akan tetap ada and it’s ok to get a rejection. You still can try again anytime. Jangan lupa dilanjut ya pak cerita2 lanjut kuliah s3 nya!:)
Terima kasih semangatnya. Terus kejar mimpinya, semoga semesta mendukung.
Saya baru menemukan tulisan luar biasa Bapak di akhir tahun ini. Betapa terlambatnya, namun, lebih beruntung terlambat daripada tidak sama sekali. Plot twist yang bagus pak, sangat menginspirasi, terutama bagi saya yang jika memang tidak berhalangan, melanjutkan studi magister tahun depan. Namun, lepas satu minggu setelah pengumuman beasiswa saya tahun ini dengan hasil menggembirakan,kemudian berpikir, setelah S2 bagaimana? Bisikan suara di kepala saya mengatakan untuk mengambil peluang S3 nanti mengingat studi S2 dikontrak 2 tahun. Jadi, ya, tulisan Bapak semoga menjadi bekal niat saya lebih kuat dan jelas tentang studi S3 selagi ada kesempatan. Sukses pak, terima kasih telah berbagi. :))
Hai, mas.
Saya ambil S2 karena ingin upgrade diri sendiri, invest ke diri sendiri juga. Lulus S1 tahun 2002, dan 2012 baru muncul keinginan untuk merapihkan catatan perjalanan selama berkarir dengan mengkombinasikan antara street smart, dan book smart dari perkuliahan yang tiba-tiba menjadi bagian dari aktivitas selama 2 tahun, 2013 hingga 2015. Pernah ‘nyambi’ bekerja-kuliah-mengajar selama circa 2014-2015 yang memberikan pengalaman super seru, capek tapi bahagia.
Terima kasih apresiasinya, sukses dengan semua rencananya.