Anak rantau ini kembali pulang…
“Pakdhe, kalau pulang ke Malang lagi, kita jalan-jalan ke Malang Night Paradise ya!”, ujar Dirta (7 tahun), si bungsu. Keponakan saya yang satu ini, sebagaimana halnya si sulung, Deryl (9 tahun), putra dari adik ke-2 saya ini teramat senang kalau saya pulang ke Malang. Mau jalan-jalan kemana pun sebenarnya tidak masalah. Hal yang membuat mereka sangat senang adalah bisa berkeliling kota naik mobil bersama saya, atau menjelajah seputar kawasan kabupaten Malang (kebanyakan menjelajah pantai-pantai di selatan Malang) dan Kota Batu.

Saya punya 2 orang keponakan lagi, putra dan putri dari adik saya yang ketiga, yaitu Adelia (5 tahun) dan Giovani. Giovani, atau dipanggil Gio ini lahir di tanggal 21 Mei yang lalu, jadi saat saya pulang ke Malang di tanggal 27-28 Juni yang lalu, itu adalah perjumpaan saya dengan Gio.

Nah, tentang ajakan jalan-jalan ke Malang Night Paradise ini terus disebut Dirta dan Deryl saat kami ngobrol lewat Whatsapp Call maupun Whatsapp Video Call. Jadi saya punya 2 hari di Malang untuk mewujudkan keinginan mereka. Plus dua hari dan dua malam untuk menikmati suasana di rumah saya, menikmati kelezatan masakan ibu saya, melihat senyum di wajah mereka. Sesuatu yang setiap hari saya rindukan.
Jadi, kemana kita? 🙂
2 hari di Kota Malang, jadwal saya sudah penuh dengan rencana jalan-jalan. Tidak ada waktu untuk bertemu dan berkumpul kembali dengan teman-teman lama saya, jogging atau main basket di Lapangan Rampal, atau bahkan GOR Bima Sakti, atau GOR Pertamina Universitas Brawijaya, kampus lama saya.
Day 1: Coban Rondo, Kota Batu, dan Kota Tumpang.
Di hari pertama tidak terlalu banyak agenda, hanya jalan-jalan ke seputaran Kota Batu. Jadi pilihan jatuh ke Coban Rondo, objek wisata air terjun yang sangat populer di jamannya, sebelum internet, khususnya Instagram mengangkat potensi dan pesona objek wisata alam di Kota Batu lainnya. Saya ingat pernah camping beberapa kali di lokasi ini saat masih duduk di bangku SMP (circa tahun 1993-1994), jaman dimana semuanya masih sangat sederhana. Jalan kaki dari rumah saya (daerah Tlogomas) ke Terminal Landungsari, lalu naik bus Puspa Indah yang kadang suka ngebut saat melewati trek berkelok-kelok Payung-Batu, dan turun di tugu patung sapi, pintu gerbang kawasan wisata Coban Rondo. Dari lokasi patung sapi kami berjalan kaki naik ke lokasi camping yang kami inginkan, dan kemudian menghabiskan waktu 2-3 hari di alam bebas. Yup, jaman semuanya masih sangat sederhana. Belum ada internet, belum ada masalah-masalah yang harus dipecahkan oleh orang dewasa, dan belum punya uang sendiri. Saat itu, saya masih dapat uang bulanan dari ibu saya, yang saat itu Rp100.000,- cukup untuk 1 bulan.

Yang paling saya suka saat melihat panorama di air terjun ini adalah detail batu padas di bagian atas, yang terpahat oleh hembusan angin dan cipratan air terjun selama ratusan tahun. Majestic! Kemudian curahan air yang terjun dari ketinggian, yang apabila tertiup angin akan sedikit membasahi para pengunjung. Yang menarik lainnya? Monyet! Monyet? Iya, monyet. Beberapa kali kesini (terakhir tahun 2014), jumlah monyet-monyet liar yang berkeliaran tidak terlalu banyak. Atau mungkin sudah banyak, namun masih malu-malu untuk menampakkan diri dan berinteraksi. Kini, hampir semua dari pasukan monyet itu turun dan bergaul dengan para pengunjung. Alhasil, karena banyaknya jumlah monyet yang semakin ‘akrab’ dengan para pengunjung itu, pihak pengelola Coban Rondo melarang para pengunjung untuk makan besar (makan nasi lengkap bersama lauk pauk), ataupun makan kecil (ngemil, dll) di dekat lokasi air terjun. Sebabnya, begitu mencium atau melihat makanan, mereka akan langsung mendekati, menyerbu, dan kadang merebut makanan atau benda-benda apapun yang mereka anggap menarik. Para pengunjung dapat makan dengan nyaman di cafetaria atau warung-warung makan yang tersedia di area parkir mobil, tanpa ada gangguan dari monyet-monyet tadi.


Di seputaran air terjun ini sudah dibangun beberapa fasilitas yang dapat meningkatkan ‘instagramability’ dari wanawisata ini. Atau daya tarik untuk memasukkan foto-foto yang diambil di lokasi ini ke media sosial Instagram. Antara lain: labirin, flying fox (ini biasa sih), sewa sepeda, dan lain-lain. Hmm.. Namun buat saya, daya tariknya tetap ada di air terjunnya sendiri. Ketiga keponakan yang dari pagi sudah minta renang, akhirnya mendapat ‘obat’-nya, yaitu sungai kecil berair super dingin dan jernih dari aliran air terjun, yang oleh pengelola dibuat sedemikian rupa hingga bisa dipakai untuk main air, sekedarnya. Jadilah ketiga keponakan saya turun ke sungai kecil sedalam 10-30 cm ini untuk sekedar bermain. Puas juga melihat mereka bisa bahagia dengan hal yang sangat sederhana. That’s kids, and perhaps adults should learn from the kids too, of how being so happy by no reason at all!

Ah, saya lupa! Sebelum kami berlima sampai di Coban Rondo, kami mengunjungi tempat pengrajin miniatur bus dan truk yang ada di Kecamatan Pujon-Kabupaten Malang. Jadi ceritanya, keponakan saya, si Deryl, teramat suka dengan apapun yang berbau kendaraan besar, termasuk didalamnya truk (apapun tipenya), bus, dan alat-alat berat lainnya menemukan youtube channel yang dikelola oleh Pak Susanto Hidayat ini. Dan seketika saat berbincang dengan saya via Whatsapp Video Call, Deryl mengajak saya untuk mengunjungi tempat dimana miniatur bus dan truk ini dibuat.
Cukup mudah menemukan ‘bengkel’ Pak Susanto, yang ada tepat di pinggir jalan antara Batu-Pujon ini, dekat dengan tempat cuci mobil/truk sederhana. Terlihat raut muka bahagia dan kagum dari Deryl dan Dirta saat pertama kali mereka memegang miniatur bus malam, yang sepertinya dikerjakan dengan detail hingga interior bus, dengan lampu-lampu LED yang menghiasi bagian dalam dan luar bus.

Well, kalau dipikir-pikir sih keinginan anak-anak kecil ini seperti ‘receh’ buat kita orang dewasa. Namun coba dipenuhi keinginannya (asal kita mampu melakukannya), dan lihat binar bahagia di matanya! 🙂
Day 2: Lembah Tumpang dan Malang Night Paradise.
Tujuan wisata hari ini ada 2, yang lokasinya sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Malang. Tidak seperti kunjungan saya ke Kota Malang sebelum-sebelumnya, dimana kami harus menempuh puluhan kilometer untuk melihat gugusan pantai cantik di selatan Kota Malang. Kali ini saya memilih destinasi wisata lokal yang cukup dekat dan cukup murah dilihat dari sisi biaya. Lokasi pertama: Lembah Tumpang. Objek wisata yang berada di pedesaan Tumpang ini bisa diakses dari Jalan Raya Banjarejo-Jalan Raya Bokor, lurus saja ke arah Tumpang dari misalnya arah tempat wisata Wendit atau dari belokan masuk ke Bandara Abd. Saleh Malang, atau bisa juga mengikuti link Google Maps ini:
https://goo.gl/maps/CsW3LoupHHk
Dari rumah, kami berangkat agak siang, pukul 11.00 WIB. Strategi waktu harus diatur mengingat setelah puas berenang dan bermain di Lembah Tumpang (baca: capek), kami akan lanjut menikmati suasana malam dengan lampion dan lampu-lampu cantik di Malang Night Paradise, di dalam Perumahan Graha Kencana-Singosari, yang mulai buka pukul 17.00 hingga pukul 23.00 WIB. Tempat wisata ini baru bisa dinikmati saat suasana sudah mulai gelap. Kuncinya adalah, anak-anak, adik, dan ibu bapak saya yang sudah ‘sepuh’, tidak boleh kecapekan. Kalau perlu istirahat sejenak untuk recharge tenaga sebelum dibawa jalan-jalan lagi.
Perjalanan dari daerah Joyo Agung, Kota Malang hingga Lembah Tumpang cukup memakan waktu kurang dari satu jam. Jalur menuju Lembah Tumpang ini nyaris tanpa papan penunjuk arah, sehingga untuk menemukannya kami sepenuhnya bergantung pada Google Maps. Untuk sampai ke Lembah Tumpang, kita harus menempuh jalan pemukiman yang sedikit berbelok-belok hingga sampai di luar pemukiman penduduk. Tak jauh dari batas pemukiman, kita akan menemukan jalan berbelok turun di sisi kanan jalan. Dari atas, dari jalanan utama pun sudah terlihat atap-atap berwarna kemerahan dan sedikit terlihat kilau biru dari kolam renang. Tak salah lagi! Kita sudah sampai 🙂

“Wah, lima puluh ribu rupiah tiket masuknya?”, tanya saya dalam hati saat hendak membeli tiket untuk 7 orang (4 dewasa, 3 anak-anak). Semula saya sempat underestimate dengan tempat wisata baru ini, mengingat belum terlalu populer (saya hanya tahu dari unggahan Instagram @seputarmalang dan unggahan seorang teman di Facebook) dan belum banyak terdengar. Total saya membayar Rp350.000,- plus Rp15.000,- untuk 3 kantong makanan ikan. Si ibu penjaga loket tiket mengucapkan syukur saat saya mau membeli pakan ikan yang dibanderol Rp5.000,- per kantong ini. Kenapa saya beli 3 kantong? Karena saya membawa 3 anak kecil, yang pasti akan berebutan kalau saya hanya membeli 1 atau 2 kantong saja. Betul kan? 😉


Namun setelah saya masuk ke lokasi, dan berjalan-jalan berkeliling sebentar, seketika saya pun takjub. Hal pertama yang saya amati adalah banyaknya kolam-kolam ikan, yang sebagian kecil berupa seperti selokan yang diisi ikan-ikan koi cantik berukuran sedang. Nampaknya si pemilik resort ingin membuat feel pengunjung sama seperti saat berjalan-jalan di pedesaan Jepang, dimana ikan-ikan koi bebas berenang tanpa adanya gangguan. Beberapa bangunan pendopo dengan ratusan patung di sisi kiri dan kanan jalan setapak membuat suasana sangat terasa sangat ‘nJawani’ dan tradisional.



Dan rasa kagum itu pun berlanjut saat saya melangkah lebih dalam. Sebuah bangunan candi besar di tengah danau berwarna kehijauan dengan hamparan bunga teratai dan ikan-ikan yang berenang berlenggak-lenggok kesana kemari menjadi daya tarik tersendiri.

“Naik keatas yuk!”, ajak saya ke keponakan-keponakan saya disusul kakek dan Youn Dadau, ayah dari Deryl dan Dirta. Candi buatan berwarna hitam menjulang tinggi ini terdiri dari 3 lantai, dimana di masing-masing teras menyuguhkan pemandangan yang indah. Mau lihat?

Bangunan yang belum jadi di sisi kanan itu nantinya, rencananya, akan dibuat hotel, yang akan melengkapi resort ini. Di bawahnya sudah dibangun lantai dasar untuk lobby hotel dan cafe, yang full ukir-ukiran di beberapa sudutnya, dan pilar-pilar beton yang dipahat sedemikian rupa. Saya jadi penasaran bagaimana tampilan lokasi wisata ini 2-3 tahun kedepan. Di belakang bangunan yang akan menjadi hotel tersebut ada kolam renang khusus dewasa dengan kedalaman 130-140 cm. Tidak terlalu dalam memang, namun cukup menyediakan pilihan. Dimana orang dewasa bisa berenang di kolam belakang, dan anak-anak dapat bermain air sekaligus berenang di bagian depan resort.

“Pakdhe, ayo renang sekarang!”, ajak keponakan-keponakan saya. Memang cuaca tidak terlalu panas saat itu, cenderung mendung, sehingga tidak terlalu gerah. Namun birunya air kolam renang itu sangat menggoda! “Eh, bentar dong! Kita belum lihat air terjun, foto depan patung dinosaurus. Belum puas jalan-jalan nih!”, ujar saya. “Bentar ya!”, bujuk saya. Hehehehehe… 😀


“Yuk, renang!”, ajak saya, akhirnya. “Yeay! Ayo kita renang!”, sambut ketiga keponakan saya sambil tertawa girang, lepas. Karena hanya bisa berenang di area kolam anak, maka jadilah kami berjalan kaki kembali ke mobil, yang terparkir tepat di depan kolam renang anak, dekat pintu masuk. Rasanya pas banget, bisa parkir mobil yang langsung menghadap ke kolam renang. Kolam renang khusus anak-anak ini dihiasi dengan bangunan candi kecil tepat di tengah-tengah kolam. Unik sih, karena saya baru melihatnya disini.


Puas? Puas dong! Sesi berenang selesai pukul 15.30 WIB, ditandai dengan jemari yang keriput dan bibir salah satu keponakan yang agak membiru dan menggigil kedinginan. Tapi sungguh, lokasi wisata baru ini sangat keren. Buat pengguna Instagram, pasti akan merasa dimanjakan dengan banyaknya spot-spot foto yang tersebar hampir di seluruh sudut Lembah Tumpang.


Ada apa disini? Rupanya lokasi wisata ini terinspirasi oleh Batu Night Spectacular (BNS), lokasi wisata yang terletak di kompleks Jatim Park 2, Batu. Dengan lampu-lampu dan lampion-lampion terang di dalamnya, air mancur warna-warni, wahana permainan anak, robot-robot dinosaurus di zona Jurassic Park, dan beberapa spot yang teramat sayang dilewatkan untuk swafoto.


Tiket masuk cukup terjangkau, Rp60,000,-/orang untuk high season (11 Juni-15 Juli 2018). Sedangkan untuk regular season, tiket masuk hanya dibanderol Rp40.000,-/orang untuk hari Senin-Kamis. Sedangkan untuk Jumat-Sabtu-Minggu dibanderol Rp50,000,-/orang saja. Setelah membeli tiket, kita akan memperoleh gelang berwarna merah sebagai tanda masuk ke lokasi. Begitu masuk, mata kita langsung tertuju pada gemerlap lampu-lampu berwarna-warni, dan para pengunjung yang asyik berswafoto, merekam video untuk vlogging, dan anak-anak kecil berlarian kesana kemari. Cukup ramai untuk ukuran hari Jumat, batin saya.


Jadi, melihat senyum di wajah bapak-ibu, adik-adik ipar, dan 3 keponakan saya buat saya memberikan kebahagiaan tersendiri. Rasa bahagia ini yang selalu saya dapatkan manakala saya pulang kampung. Melihat Deryl, anak sulung yang selalu berlomba-berebut dengan anggota keluarga lainnya untuk duduk di kursi depan mobil, Dirta dan Adelia yang kadang sangat rukun namun dapat berubah menjadi sebuah pertengkaran seru a la anak-anak kecil dalam waktu sangat singkat, berbaikan, dan bermain bersama kembali, menikmati masakan lezat ibu saya, yang selalu menyiapkan beberapa menu masakan kesukaan saya (sayur asem, sayur bali tongkol-tahu gembus, soto ayam, rawon, cumi masak tinta hitam, cingur sapi goreng, sop sayur lengkap dengan perkedel kentang), menghirup udara segar di kota kelahiran yang relatif masih segar. Terlebih di rumah pribadi saya yang ada di dataran tinggi, di daerah yang berbukit-bukit. Sangat membuat rindu.
I’m having a moment!
2 Comments Add yours