Lanjut Kuliah S3. Kenapa Tidak?

Kalau teman-teman mau melanjutkan sekolah lagi, sambil bekerja, misalnya mengambil program master (S2), pasti akan mendapatkan pertanyaan sejenis ini; “Kenapa repot-repot ambil S2? Emangnya kamu mau jadi dosen?” atau “Gak capek tuh, udah kerja masih mikirin kuliah? Duitnya cukup gak tuh?” atau “Emangnya bisa fokus ke kerjaan sama kuliah barengan?” dan pertanyaan-pertanyaan ‘ajaib’ lainnya, yang mungkin dilontarkan oleh orang yang mungkin sudah lama tenggelam di comfort zone-nya.

Nyaman nggak sih, menjalani hidup sebagai seorang pekerja swasta, dosen tidak tetap di PTN, dan kuliah sambil bekerja di PTS? Jawabannya; “Tidak sama sekali.” Keputusan untuk lanjut kuliah lagi dan mengambil kesempatan untuk menerima tawaran mengajar di PTN terbaik di Indonesia pun punya konsekuensi besar. Salah satunya harus mengurangi waktu istirahat, untuk mengejar penguasaan materi kuliah yang tidak dapat hanya dipelajari saat jam kuliah saja. Dan juga mempersiapkan materi kuliah yang ilmunya sangat dinamis, bisa berganti dengan cepat. Materi pun tidak bisa dipakai ulang, materi semester lalu dipakai lagi di semester sekarang, tidak bisa. Karena kalau saya membagikan hal yang sama, yang jadi materi tersebut sudah obsolete. Usang. Tidak dapat memenuhi ekspektasi mahasiswa yang demikian cepat menyerap perubahan di jaman digital ini. Ditambah lagi dengan keharusan untuk tetap fokus ke pekerjaan sebagai prioritas utama. Dulu, rasanya ingin membelah diri menjadi 3, agar masing-masing tugas dan kewajiban dapat terpenuhi semuanya. Yang ada hanyalah membuat skala prioritas, memilah-milah mana yang urgent-not too urgent-do it later-assign to others-dan beberapa klasifikasi tugas dan kewajiban lainnya.

Saya dan mahasiswa/i saya, semester ganjil 2017

Namun ada satu sisi dimana saya ‘nyaman’ menjalani triple life tersebut,  beberapa tahun yang lalu. Salah satunya adalah dukungan keluarga, terutama istri yang mendukung dan rela waktu berkumpul bersama keluarga di akhir pekan terpotong karena jadwal kuliah saya di semester 1, 2, dan 3 yang jatuh di hari Sabtu pukul 08.30 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Atau saya harus pulang malam setelah saya pindah gedung kampus yang lebih dekat dengan kantor (Universitas Mercubuana-Kampus Menteng), sehingga 3 hari dalam seminggu saya harus pulang agak larut, karena mengambil jam kuliah malam, pukul 18.30 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Dan satu lagi, saya merasa hidup saya di ‘jaman perjuangan’ tersebut sangat meaningful. Seru, kata lainnya. Kenapa? Karena tidak ada jeda rasanya, saya harus mengerjakan ini dan itu, dan wajib selesai dalam tenggat waktu yang cukup dekat dalam kurun waktu 2 tahun masa kuliah S2 saya.

Stress? Yes, sometimes. Busy? Absolutely. But a meaningful life is much better word to describe. I felt so energetic everyday!

Berbagi. Kegiatan yang sangat menyenangkan! (sumber foto: Zizi)

Kedua, saya merasa hidup saya bermanfaat untuk orang lain, dengan kegiatan mengajar di Jurusan Periklanan Departemen Komunikasi-FISIP Universitas Indonesia, saya merasa ilmu, pengetahuan, dan pengalaman saya selama bekerja bisa bermanfaat. Well, saya tidak pernah merasa kalau saya mengajar sih, saya lebih merasa berbagi, ke adik-adik saya yang masih duduk di bangku kuliah S1. Yang setelah lulus bisa jadi langsung melanjutkan kuliah di S2 di luar negeri, magang-kerja part time sambil mengerjakan usahanya sendiri yang berawal dari hobi, atau kerja full time di korporasi atau agency. Saya selalu menempatkan diri ke posisi seseorang yang dulu pernah merasakan dunia kuliah S1 seperti mereka, lalu bekerja di bidang yang saya sukai. Kembali ke bangku kuliah setelah 12 tahun bekerja di sektor formal, di industri fast moving consumer goods-frozen food category, ‘lolos’ dari kuliah lanjutan, dan akhirnya bisa berada di hadapan mereka, untuk berbagi di setiap hari Senin dan Selasa, pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 16.30 WIB di setiap semester ganjil.

A corporate worker, a non-permanent lecturer, and a student wannabe. Me. (sumber foto: Siti Fauziah Nirmala Putri, atau dikenal dengan panggilan Zizi)

Ketiga, mengambil kuliah S2 rasanya seperti menata kembali ‘catatan-catatan kecil’ yang pernah saya buat semenjak saya bekerja pertama kali, hingga sampai sekarang sudah mempunyai masa kerja 16 tahun, kalau dihitung sejak saya lulus kuliah dari Fakultas Ekonomi-Manajemen, Universitas Brawijaya Malang. ‘Catatan-catatan kecil’ itu seolah-olah  bisa saya kumpulkan kembali, jadikan kliping, dan dipasangkan dengan teori-teori yang kembali saya dapatkan dari dosen-dosen saya selama mengejar gelar master saya. Kliping catatan kecil dari pengalaman tadi saya simpan dalam ‘rak khusus’, sehingga kapanpun saya membutuhkan catatan kecil itu, saya dengan mudah memanggilnya kembali di dalam ingatan saya, ataupun dalam sistem filing yang saya buat di komputer saya.

Mungkin apa yang saya dapat saat kuliah S1 dulu, teori-teori yang ada di buku, yang diajarkan dosen-dosen saya kurang aplikatif dengan apa yang saya hadapi di dunia kerja, dan sudah saatnya kampus saya di Kota Malang tersebut berbenah. Harus banyak menyerap dosen-dosen muda tidak tetap yang merupakan pegawai profesional, agar dalam penyampaian materi, teori yang diambil dari literatur dapat dikombinasikan dengan pengetahuan dan pengalamannya. I called it street smart and book smart combination. Harapannya, lulusan FEB- Universitas Brawijaya lebih berkualitas dan siap memasuki dunia kerja. Masukan-masukan terkait hal tersebut sudah pernah kami (saya dan para alumni yang kembali untuk kegiatan “Alumni Balik Kampus” di bulan Februari yang lalu) sampaikan ke Ibu Sumiati, dosen kami dulu yang kini menjadi Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang.

Ok. Now what? 🙂

Setelah saya dinyatakan lulus dari sidang tesis. Lega!

Mungkin pertanyaan itu yang selalu ada di pikiran saya setelah saya menyelesaikan sesuatu. Termasuk saat saya menghadiri upacara wisuda saya, dan setelah dinyatakan lulus sidang tesis di tahun 2016 yang lalu. “Abis ini apa lagi, Yog? Lanjut S3?”, tanya saya ke diri saya sendiri. “Jangan dulu lah, ambil nafas dulu. Kita nikmati dulu momen-momen ini.”, jawab saya menenangkan diri (baca: procrastinating), sambil mengira-ngira mampu tidaknya saya melanjutkan belajar ke level berikutnya. Saya sempat tidak percaya diri. Sebagian diri saya mengatakan, “Udahlah, Yog. Kuliah sampai S2 saja sudah bagus banget. Kamu sudah punya pekerjaan yang bagus, bisa diizinkan mengajar di setiap semester ganjil. Apa lagi?” Dan sebagian diri saya mendorong saya untuk mengambil tantangan tersebut. Lanjut sekolah S3.

Dan dengan mantap saya mendengarkan omongan diri saya yang kedua, yang mendorong saya untuk step up, mencari peluang untuk lanjut ke S3 (ada sedikit unsur nekat disitu). Mengambil program doktoral. Dimana kalau sudah berhasil lulus nanti, saya akan dipanggil Doktor Harwindra Yoga. Ngeri gak sih? Ngeri lah! Saya sendiri saja kadang takut membayangkan prosesnya seperti apa. Tapi ya itu, kadang kita harus berani punya mimpi yang bisa membuat kita takut. Takut sama mimpi sendiri, takut kalau nantinya gagal. “Ya harus berhasil lah!”, teriak saya dalam hati. Prinsip saya: “Ora ngerti piye carane, sing penting carane kudu bener. Ora ngerti piye carane, pokoke kudu iso berhasil!”. Madep manteb!

Jadi dimulailah langkah-langkah kecil itu. Dimulai dengan browsing kampus-kampus negeri terkemuka di Jabodetabek, atau kampus yang punya perwakilan di sini, dan mendatanginya satu persatu untuk mencari informasi. Yang pertama, Universitas Indonesia. Namun PTN terbaik ini langsung saya coret dari daftar, karena waktu perkuliahannya jatuh di jam kerja dan di hari kerja saja. Universitas Gadjah Mada (UGM) pun juga, ,karena di kampus mereka di Jakarta hanya dibuka program kuliah S1 dan S2 saja. Kalau mau ambil S3 di UGM harus ke Yogyakarta, dan pastinya pilihan tersebut tidak dapat saya ambil. Lalu berlanjut ke pilihan ke-3, yaitu Sekolah Bisnis-Institut Pertanian Bogor, atau SB-IPB. Karena program S3 di kampus ini ditawarkan dalam kelas karyawan, perkuliahan pun dilaksanakan hanya di hari Sabtu saja-full day. Ke Bogor setiap weekend nih? Siapa takut!

Saat menjalani TOEFL dan TPA SB-IPB

Sampai hari itu pun tiba. Saya mendaftarkan diri untuk mengikuti Tes Potensi Akademik (TPA) dan Test of English As Foreign Language (TOEFL) sebagai syarat pendaftaran, di tanggal 22-23 April 2017. Agak kagok sih, karena sudah lama tidak mengikuti tes TOEFL, dan kali ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti TPA. Berbekal 1 buku tebal berisi bank soal TOEFL dan TPA, yang saya baca dan pelajari tiap begadang (kebiasaan saya tidur cepat dan bangun setiap pukul 03.00 WIB hampir setiap hari), hasilnya ‘cukup’ memuaskan. Saya lolos di kedua tes ini! Stage one completed! Nilai TOEFL saya: 573 (reading: 570, listening: 590, structure: 560). Saya di peringkat ke-2 terbaik, di bawah seorang anak muda yang sedang dalam proses menjalani tes masuk program S2. Nilai TPA saya 573,63 (verbal: 67,90, angka: 50,50, figural: 53,69), yang hanya sedikit diatas threshold lolos (rentang nilai 550-600).

Saat menjalani TOEFL dan TPA SB-IPB

Sekedar informasi, rentang nilai TPA adalah dari 200 hingga 800. Nilai TPA rata-rata nasional adalah 500 dan nilai TPA rata-rata penerima beasiswa Proyek DUE (1997, 1998 dan 1999) adalah 550. Rentang nilai TPA minimum untuk lolos saringan seleksi S2 adalah 450-500 dan untuk lolos saringan seleksi S3 adalah 550-600. Bagi dosen baru, untuk memperoleh NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional), TPA terendah adalah 530. Tes Potensi Akademik ini terdiri atas 3 bagian, yaitu:

  • Tes Verbal, berfungsi untuk mengukur kegesitan mental seseorang di bidang kata dan bahasa. Tes ini meliputi tes sinonim (persamaan kata), tes antonim (lawan kata), tes padanan hubungan kata, tes pengelompokan kata, tes logika umum, tes analisa pernyataan dan kesimpulan (silogisme), serta tes logika cerita.
  • Tes Angka, berfungsi mengukur kegesitan mental seseorang di bidang angka, dalam rangka berpikir terstruktur dan logis matematis. Tes ini meliputi tes aritmetik (hitungan), tes seri angka, tes seri huruf, tes logika angka dan tes angka dalam cerita.
  • Tes Figural, berfungsi mengukur kegesitan mental seseorang berurusan dengan gambar, simbol dan diagram. Tes ini meliputi tes logika diagram.

Oh, I’m so relieved that an old crack like me, still got it. I’ve passed all the exams! Praise the Lord!

On to second stage.

Melengkapi semua dokumen yang dibutuhkan, termasuk diantaranya menyusun proposal penelitian sebagai syarat untuk mendaftar dan mengikuti tes wawancara. Saya sudah mempersiapkan beberapa persyaratan sebelumnya, termasuk legalisir transkrip dan ijazah S1 dan S2 saya (terima kasih Mas Sigit Pramono, dosen Manajemen FEB-Universitas Brawijaya atas bantuannya), surat izin untuk lanjut studi S3 dari atasan saya (Pak Adji Andjono selaku Sales & Marketing Director PT. Campina Ice Cream, Tbk), rekomendasi dari 2 orang yang minimal sudah bergelar doktor (saya mendapatkannya dari dosen pembimbing tesis saya dan dosen saya saat kuliah S1, yang kini menjabat sebagai Ketua Jurusan Manajemen di FEB-Universitas Brawijaya saat itu. Terima kasih, Doktor Adi Nurmahdi dan Doktor Fatchur Rahman), foto, biaya pendaftaran, CV, dan karya ilmiah yang pernah dipublikasikan. Namun yang paling berat adalah mempersiapkan proposal penelitian, yang akan dipresentasikan di depan dewan penguji nanti, di tanggal 9 Mei 2018.

Jadwal wawancara sudah saya dapat. Artinya, saya harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk tes ini, yang akan sangat berpengaruh pada keputusan masuk tidaknya saya di SB-IPB. Deg-degan, man! Karena Pak Danu M. Nasir, personel dari Divisi Admisi dan Humas SB-IPB, yang banyak membantu saya selama pendaftaran hingga saya dipanggil untuk tes wawancara ini, menginfokan kalau proposal penelitian saya akan diuji oleh 3 orang profesor dan 2 orang doktor. Gimana gak keder tuh? “Tenang saja, mas Yoga. Yang penting mas harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Banyak kok yang proposal penelitiannya tebal-tebal, tapi pas presentasi dan wawancara malah kurang. Saya yakin mas Yoga bisa”, ujar beliau menenangkan saat saya submit semua persyaratan di hari terakhir batas pendaftaran. Thank you, Pak Danu!

D-day!

Saya ingat betul kalau sepanjang perjalanan dari rumah ke Bogor, saya putar lagu Brian McKnight-Home terus menerus, put it on repeat mode. Saya ingin merasa tenang dan berserah menjelang kurang lebih 30 menit sesi tanya jawab dan wawancara nanti.  Sampai menjelang sampai di lampu merah Terminal Baranangsiang, setelah exit toll Bogor, Pak Danu menghubungi saya. “Mas, sudah sampai mana? Karena ada 1 orang yang belum hadir dan peserta sebelum mas selesai lebih cepat sesi wawancaranya, jadi jadwal mas dimajukan ke jam 10.00 WIB ya?” “Boleh pak, tunggu sebentar ya, saya sudah masuk Bogor kok”, jawab saya. Makin deg-degan! 🙂

Setibanya saya di kampus, saya langsung masuk ke ruangan Pak Danu, untuk menenangkan diri sejenak. Dan tak lama setelah itu, setelah semuanya siap, Pak Danu langsung mengajak saya masuk ke ‘ruang pembantaian’. Hahahaha… Deg-degan banget! “Tenang saja mas, yakin pasti bisa”, ujar beliau sambil berjalan di samping saya menelusuri lorong panjang ke arah ruangan yang sudah disediakan.

“Selamat pagi!”, sapa saya saat memasuki ruangan wawancara, dan memperkenalkan diri saya setelahnya. Di depan saya sudah duduk para panelis, yang terdiri dari 5 orang ahli, 3 orang profesor dan 2 orang doktor, dengan posisi 3 profesor duduk di tengah dengan 1 diantaranya, profesor yang paling senior, sebagai ketua sidang duduk di paling tengah. Sementara 2 orang doktor duduk mengapit mereka. Mungkin wajar kalau siapapun akan grogi saat bicara di depan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Termasuk saya. Saya ingat saat menerangkan satu poin dari proposal penelitian saya, tidak sengaja saya arahkan pandangan ke tangan kanan, dan ternyata tangan saya bergetar! Gemetar! Grogi! Agak malu juga kalau ingat kejadian itu. Segera saya arahkan tangan saya untuk memegang ballpoint yang sudah saya siapkan untuk mencatat masukan dari beliau-beliau ini, apapun itu, agar tidak terlihat kalau saya sangat grogi.

Parkiran Kampus SB-IPB, 9 Mei 2018.

Sayang sekali saya tidak mengabadikan momen di ruangan itu, karena susah juga rasanya (selain tidak sopan juga rasanya) meminta izin untuk mengambil foto para panelis. Tujuannya sih, agar bisa tahu dan mengingat nama masing-masing dari mereka. Dan ternyata ditengah ke-grogi-an saya, saya cukup menikmati suasana tanya jawab hari itu. Memang, pressure-nya luar biasa, karena saya tahu masing-masing dari tim panelis punya ekspektasi yang tinggi dari kami, calon mahasiswa S3 yang mendaftar dan diuji hari itu. Saya mencoba melihat dari sudut pandang demikian karena merekalah penjaga gawang, yang menyaring siapa yang layak masuk dan siapa yang tidak. In the end, hasilnya akan mempengaruhi kualitas dari output SB-IPB sendiri. Mudah-mudahan saya termasuk didalamnya.

Setelah saya mengabari ibu saya di Malang perihal kejadian ini, di sore harinya, ibu saya pun bertanya, “Kira-kira hasilnya gimana, Yog? Menurut feeling-mu, kamu bakalan lolos atau tidak?”, dan saya pribadi yang tidak yakin dengan hasil tes wawancara ini pun menjawab, “Sepertinya bisa lolos, buk. Minta doanya saja.” Agar hati beliau tenang. Ya mudah-mudahan sekali lagi anaknya ibu ini bisa membuatnya bangga. Amin.

Perjalanan saya masih panjang. Nanti kalaupun saya dinyatakan lulus, masih ada babak ketiga, yaitu fase dimana saya akan melamar beasiswa (rencananya melamar beasiswa LPDP) setelah saya pegang letter of acceptance, surat keterangan diterima dari SB-IPB. Masih ada proses panjang, termasuk proses seleksi berkas, proses wawancara dan tanya jawab kembali dengan pihak pemberi beasiswa. Saya perkirakan, kalau semuanya lancar, saya baru bisa memulai perkuliahan di tahun 2019. At the age of 39. Doakan saya ya!

10 Comments Add yours

  1. nyonyasepatu says:

    Semoga berhasil ya

    1. haryoprast says:

      Thank you, mbak Noni! 🙂

  2. alfinestaa says:

    menginspirasi mas. saya juga sekarang freshgrad yg baru kerja 3 bulan.. kalo udah 2 tahunan mau coba ambil S2/program insinyur..

    1. haryoprast says:

      Carry on with your dream 🙂 Sukses ya!

  3. Mego Widi Hakoso, S.IP says:

    Keren Pak Calon Doktor, cukup menginspirasi, semoga sehat dan lancar.

    Saya alumni dari Univ. Brawijaya yg sedang menempuh S2 di Jakarta dan sebagai pegawai swasta juga.

    Dan saya juga ingin lekas kuliah Doktoral.

    1. haryoprast says:

      Hi Pak Mego 🙂
      Thank you atas apresiasinya pak. Sayangnya di percobaan pertama saya gagal euy, masih perlu elaborate & pertajam lagi materi di proposal penelitian. Akan bertapa dulu dan mencoba kembali di tahun depan, mumpung umur masih dibawah 40 tahun. Sukses buat studi S2-nya, dan nanti buat rencana lanjut S3.

  4. wirosasono says:

    Halo mas. Hebat! Semoga tahun ini diberikan kabar gembira untuk program Doktoralnya. Hari inipun saya sedang mempersiapkan untuk S3, namun diluar kota. Ada bisikan, untuk escape sementara dari Jakarta. Dan, semoga juga di tahun ini diberikan jalan.

    Terima kasih mas, sudah menginspirasi.

    1. haryoprast says:

      Sukses buat S3-nya mas! Semoga diberikan pertolongan dan kelancaran 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s