Selamat Pagi Kota Semarang!
Di #SemarangTrip hari pertama, kami sudah menginjakkan kaki di Grand Maerakaca, Pasar Semawis, makan di RM Selera Bu Fat, menikmati hidangan mangut kepala Manyung yang terkenal, dan jajan di Leker Paimo yang kondang! Di hari kedua ini, giliran kota-kota di sekitar Kota Semarang yang jadi sasaran kami berdua. List tujuan hari ini:
- Candi Gedong Songo, Bandungan
- Umbul Sidomukti, Bandungan
- Pabrik biskuit Nissin di Ungaran
- Misa sore di Gereja Katedral Semarang
- Makan malam di Nestcology (uhuy!)
Sesuai request istri, kami pun beranjak dari hotel sejak pagi-pagi, agar bisa menikmati suasana di Candi Gedong Songo dan Umbul Sidomukti dengan nyaman, sebelum ramai menjelang siang hari. Karena dari yang kami dengar, arah naik ke Bandungan di weekend mulai padat menjelang pukul 09.00 WIB, jadi kami sudah harus tiba di sana sebelum pukul 08.00 WIB.

Jalanan tol pagi itu cukup lancar, dengan matahari pagi yang sedikit bersembunyi di balik awan, dan kabut yang menyelimuti perbukitan di sebelah kiri kami. Ingin sih, berhenti sebentar untuk mengambil foto pemandangan cantik di sisi kiri jalan tol, tapi lebih baik tidak untuk keselamatan bersama. Alhasil, kami keluar di Gerbang Tol Bawen dan tinggal mengikuti arah petunjuk jalan saja menuju ke Bandungan. Untuk sarapan, kami memilih warung mobil yang banyak dikunjungi warga Bandungan dan para turis lokal, yang ingin menikmati sarapan pagi di daerah Pasar Bandungan. Menunya cukup beragam dan lengkap (dari bubur ayam, lontong sayur, nasi rames, dan banyak lagi), juga enak-enak! Dan murah! Seingat saya, makan berdua plus teh tawar hangat cukup ditebus dengan Rp30.000,- saja. Kalau melintas pagi hari untuk naik ke arah Candi Gedong Songo, setelah belokan ke Umbul Sidomukti, anda pasti dengan mudah menemukan warung mobil ini di sebelah kanan jalan. Recommended untuk sekedar sarapan pagi di area Bandungan!
Di sepanjang jalan menuju Candi Gedong Songo ini banyak kami temukan hotel dan penginapan di kanan dan kiri jalan. Maklum, kawasan Bandungan ini adalah kawasan wisata yang menjual pemandangan dan udara yang sejuk, dan juga lokasi wisata menarik seperti kompleks candi yang terletak di dataran tinggi, yang terdiri dari sembilan candi ini. Candi Gedong Songo!


Kami sampai di area candi ini sekitar pukul 08.10 WIB, dengan parkiran mobil yang masih lumayan sepi dan jalanan yang sangat lancar. Setelah membayar karcis (Rp.5.000,- untuk weekdays dan Rp7.500,- untuk weekend), kami pun mulai berjalan masuk menyusuri jalanan yang menanjak. Karena buat saya ini adalah pengalaman pertama, dan pengalaman kedua untuk istri saya, meskipun tidak sempat naik di kunjungan dia yang pertama, jadi saya belum mempersiapkan diri untuk menjelajah kesembilan candi yang ada di area ini, dengan berjalan kaki. Salah satunya tidak melengkapi diri dengan sepasang sneakers yang nyaman untuk trek menanjak.

Sebenarnya kita bisa menaiki kuda dengan membayar Rp90.000,- per orang untuk berkeliling area candi dengan ditemani 1 orang pemandu merangkap pawang kuda. Namun jika berat kita diatas 80 kg, anda akan dikenakan biaya ekstra, harus membayar Rp120.000,- untuk 1 kali trip. Antara menyiksa kuda sih, kalau berat kita diatas 100 kg dan nekat naik kuda untuk menapaki jalur menanjak berbukit-bukit di lokasi ini (anyway, berat saya masih di kisaran 105 kg saat menulis artikel ini), saat saya melihat bapak-bapak dengan anaknya yang super tambun naik kuda untuk berkeliling area candi. Yup, kasihan kudanya!


Fasilitas cukup lengkap di area candi ini, misalnya toilet bersih yang bisa kita temukan di area-area tertentu dengan airnya yang super dingin. Dan juga penjaja makanan dan minuman yang ada di hampir seluruh area candi, yang sebagian besar adalah ibu-ibu tua, yang membuat saya kagum dengan kekuatan kaki dan nafasnya, yang setiap hari harus jalan menanjak untuk menempati pos-pos berjualan mereka masing-masing. Nafas yang kuat? Yup! Harus punya stamina yang cukup bagus untuk bisa menjelajah seluruh area, dari candi 1 hingga candi 9 dengan berjalan kaki. Istri saya sempat ngos-ngosan saat hendak menuju lokasi candi 2. Dan bisa ditebak, perjalanan kami di area candi ini harus terhenti di lokasi candi ke-3. Hahahahahaha…. Cupu ya? 😀

Namun dari lokasi candi ke-3 saja, pemandangan ke bawah sudah terlihat luar biasa. Saya membayangkan berada di tempat ini saat malam hari, pasti gemerlap lampu kota di bawah saya terlihat sangat cantik! Kami pilih trek khusus kuda untuk turun menuju candi 1 dan gerbang keluar, bukan jalur naik tadi. Lebih cepat, karena hanya 1 arah turun saja, tidak berkelok-kelok seperti jalur naik sebelumnya.
Next, Umbul Sidomukti!



Umbul Sidomukti ini adalah sumber air yang ditampung dalam kolam renang bertingkat (ada 3 tingkat), yang punya pemandangan ke bawah tak kalah cantiknya dengan Candi Gedong Songo. Selain kolam renang bertingkat ini, lokasi wisata alam ini masih punya daya tarik lain, yaitu tempat swafoto dan berfoto diatas ketinggian dengan sepeda seperti yang kita temui di The Lodge Maribaya di Lembang, Bandung atau di Coban Rais di Kota Batu, dan lokasi wisata alam lainnya. Namun buat kami, berenang di siang hari (saat itu pukul 11.30 WIB) dengan air kolam yang dingin menjadi hal yang paling menarik hari itu!
Selesai berenang dan berganti pakaian, kami langsung melanjutkan perjalanan kembali ke kota Semarang, lewat Jalan Semarang-Salatiga untuk mampir ke Pabrik Biskuit Nissin. Makan siang kami hanya satu tas plastik gorengan yang kami beli di pintu keluar tempat wisata Umbul Sidomukti tadi, yang cukup mengisi perut kami. Hehehehehe… Ngirit ya? Biarin! 🙂

Setelah menyusuri jalanan di Bandungan turun ke jalan utama, yang kini terlihat macet-antre lumayan panjang di arah sebaliknya, arah naik ke Umbul Sidomukti/Candi Gedong Songo, sampai juga kami di bangunan pabrik biskuit yang bagian depannya bisa ditemukan factory shop (toko khusus-outlet pabrik), restaurant, dan museum miniatur mesin-mesin pabrik biskuit ini. Alamat lengkap Pabrik Biskuit Nissin: Jl. Raya Semarang Salatiga KM. 23, Babadan, Gedanganak, Ungaran Timur, Semarang, Jawa Tengah 50519. Saya sempat memburu 1 jajanan yang pernah saya temukan di salah satu toko modern market, saya lupa beli dimana saat itu, yaitu kue semprit/sagu keju lansiran Nissin ini. Saya ingat jajanan itu enak sekali! Namun cukup susah mencarinya, karena masih baru keluar sepertinya, sehingga penyebarannya belum merata.

Dapat! Saya senang setelah mendapatkan biskuit Sagu Keju Nissin ini, dan jajanan tersebut langsung menemani perjalanan kami berdua kembali ke kota Semarang. Bukan iklan, tapi jajanan ini memang enak banget. Penggemar sagu keju atau kue semprit (istilah saya dulu di kota Malang, menyebut jajanan yang kebanyakan berbentuk huruf ‘S’ ini) pasti suka!
“Laper nggak?” tanya saya ke istri. “Gak laper, masih kenyang. Tadi udah makan gorengan mulu kan?” “Hehehehe.. Kalau gitu kita beli-bungkus lumpia aja ya?”, tanya saya lagi. “Ya sudah, boleh!”, sahut istri saya.
Yes, lumpia! Makanan khas Semarang yang tidak boleh dilewatkan! Menurut saya ada 2 versi. Versi 1, yaitu versi original yang isian lumpia nya masih didominasi rebung dan telur ayam, dan ada isian lain seperti daging ayam atau daging udang cincang, namun rebung masih mendominasi. Favorit saya!

Versi kedua, lumpia isi daging ayam atau seafood. Lumpia sejenis ini kita temukan di Lumpia (atau lunpia) Gang Lombok (yang paling terkenal), dan Mbak Lies di Jl. Pemuda, Gang Grajen No.1. Ini sih saya juga suka, karena rasa isiannya yang komplit dan enak. Tapi kalau saya harus memilih, saya cenderung ke lumpia isi rebung, yang dinikmati lengkap dengan acar mentimun, daun bawang, kuah kanji warna coklat kental, dan cabe rawit! Full condiment! Kami pesan 2 buah (Rp12.000,-/piece) untuk dimakan bersama di hotel.

Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan di Kota Semarang sore ini dengan beribadah dahulu, misa hari Sabtu sore di Gereja Katedral Semarang, yang disebut juga Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci, yang terletak tepat di seberang Tugu Muda dan Lawang Sewu, bersebelahan dengan Kampung Pelangi Semarang, yang pernah kami kunjungi di bulan Desember 2017. Bangunan gereja yang masih kental suasana kolonial ini, sangat terjaga keaslian dan kebersihannya. Ruangan gereja sudah dingin karena alat pendingin yang sudah terpasang di beberapa bagian, membuat semakin nyaman umat yang beribadah sore itu. Ibadah dimulai pukul 17.30 dan selesai pukul 18.45 WIB.
“Makan malam dimana kita?”, tanya istri saya. “Tenang, lihat saja. Aku sudah punya lokasi yang asik!” jawab saya. Kami belum sempat merayakan hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-10, yang jatuh di tanggal 13 April yang lalu, 1 hari sebelumnya. Jadi mungkin ini kesempatan untuk merayakannya berdua. Dan tempat kami merayakannya sudah saya rencanakan sebelumnya, di Nestcology Land of Gastronomy. Cafe milik Ernest Christoga, putra dari desainer kebaya kondang Anne Avantie ini, merupakan cafe/resto pertama di Semarang yang menggunakan seni memasak teknik molecular gastronomy, yaitu studi ilmiah mengenai gastronomi, atau lebih lengkapnya adalah cabang ilmu yang mempelajari transformasi fisikokimia dari bahan pangan selama proses memasak dan fenomena sensori saat mereka dikonsumsi (Nah, bingung kan? Saya juga!). Ilmu ini dicirikan dengan penggunaan metode ilmiah untuk memahami dan mengendalikan perubahan molekuler, fisikokimia, dan struktural yang terjadi pada makanan pada tahap pembuatan dan konsumsi.


Selain itu menu makanan Nestcology Land Of Gastronomy ini hadir dengan konsep open kitchen, dimana pengunjung bisa langsung melihat proses memasak menu yang menjadi pesanannya tepat di tengah-tengah restoran. Batin saya, “Asik bener warung makan ini!” setelah melihat interior dan eksterior restoran, yang terletak di daerah Candi, yang merupakan bagian tinggi dari Kota Semarang. Ada di daerah perbukitan, sehingga selain makanan dan suasana yang homey dan cozy, restoran ini juga menawarkan pemandangan kota Semarang dari atas bukit. Kerlap-kerlip lampu jelas terlihat dari lantai 2 restoran ini. Namun sayang sekali, kami tidak kebagian tempat duduk di lantai 2, sudah penuh. Sehingga kami mengambil tempat duduk yang ada di lantai 1, dengan latar belakang masih suasana kota Semarang di malam hari di balik jendela kaca.



Good food, good ambiance, good service-good view, good concept! Demikian saya, orang awam menilai restoran ini. Dan apa yang saya lakukan ini adalah aktivitas share, atau UMOT-Ultimate Moment of Truth, dimana saya yang puas dengan makanan-suasana-pelayanan dari restoran ini, membagikan pengalaman saya lewat blog ini, dengan harapan para pembaca blog ini dapat merasakan values yang saya dapatkan dari bersantap di restoran ini. Kalau saya ke Kota Semarang lagi untuk acara tertentu (ulang tahun, atau ulang tahun pernikahan misalnya), saya pasti akan datang ke restoran ini lagi, mencoba menu yang lain.

Demikian #SemarangTrip hari kedua! Masih ada hari selanjutnya, hari Minggu! Alias hari untuk olahraga, checking out dari POP! Hotel Pemuda, belanja oleh-oleh di Jalan Pemuda dan Jalan Pandanaran, sarapan gule kambing Bustaman, lalu kembali ke Planet Bekasi!

Hari berpamitan dengan Kota Semarang. Namun sebelum pulang, tidak lengkap rasanya kalau belum mencoba gule kambing racikan asli Semarang, dari sebuah kampung pengrajin gule kambing dan hidangan khas lainnya, Kampung Bustaman. Kampung yang ada di sekitar Jalan MT. Haryono Semarang ini, terkenal dengan sebutan kampung gule atau kampung kambing. Tak lain dan tak bukan karena kampung ini menjadi sentra industri pengolahan kambing, mulai dari tukang jagal/kelet, tukang masak bumbu gule, sampai tukang jualan gule kambing yang banyak ditemukan di kampung ini.
“Kampung Bustaman memang identik dengan kambing. Sebagian warganya menggantungkan hidup dari usaha yang berkait dengan binatang itu. Ada yang menjadi juragan, tukang kelet (tukang potong), tukang kerok, pengepul kulit, penjual bumbu gulai, sate, dan tengkleng. Ada pula pemilik warung yang menjajakan olahan daging kambing. Pokoknya komplit!” ujar Ny. Saidah, seorang warga, yang menuturkan bahwa bisnis kambing di Kampung Bustaman sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Pelopornya tiga orang, yakni Ny. Klenteng, H. Ibrahim, dan H. Marzuki. Pada masanya, mereka adalah juragan besar yang mendatangkan kambing dari luar daerah, seperti Ungaran pada hari pasaran Wage, Ambarawa saat Pon, Salatiga ketika Legi, dan Boyolali setiap Kliwon.
Lantas apa keistimewaan gule Bustaman?
Seperti lazimnya gulai kambing, Gule Bustaman disajikan bersama sepiring nasi putih hangat. Namun, ada yang beda dalam penyajiannya, dan itu menjadi ciri khas gulai tersebut.


Pertama, bagian tubuh kambing yang digunakan hanya kepalanya, seperti lidah, telinga, dan mata. Bagian-bagian itu tidak dicampur menjadi satu bersama kuah. Para pembeli dapat memilih bagian-bagian tersebut sesuai selera masing-masing. Jika memilih telinga, misalnya, penjual akan mengambil bagian tersebut dan memotongnya kecil-kecil menggunakan pisau atau gunting. Setelah itu baru disiram kuah gulai. Sedangkan ciri kedua Gule Bustaman, tak dibuat menggunakan santan.

“Santan diganti bubuk kelapa yang bisa dibeli di toko-toko bahan makanan, sedangkan bumbu lainnya adalah kemiri, bawang merah, bawang putih, serai, gula jawa, dan daun karakele,” jelas Bibit, pedagang Gule Bustaman yang mangkal di Jalan M.T. Haryono, sekitar 25 meter arah selatan ujung Kampung Bustaman.
Kini, jumlah pedagang Gule Bustaman di kampung bekas kediaman salah seorang keturunan Kyai Bustam Terboyo itu mencapai puluhan orang. Mereka menggelar dagangan di beberapa tempat di Kota Semarang, di antaranya kompleks Kota Lama, Pecinan, Jalan MT Haryono, dan Pasar Langgar. Untuk menjajakannya, para pedagang menggunakan pikulan bambu atau angkringan.

Dan seperti yang kami coba di salah satu warung gule yang sempat saya incar untuk saya datangi sejak #SemarangTrip edisi pertama, Spesial Gule Kambing Pak Sabar-Bustaman di belakang Gereja Blenduk-Kota Lama Semarang ini sama persis dengan yang dideskripsikan. Kuahnya tidak menggunakan santan sama sekali, cenderung light dan bening dengan taburan bubuk/parutan kelapa. Namun dari isian gule yang saya dan istri pilih, ya ‘nggak light-light amat’, saya pilih full daging kaki kambing dan istri saya pilih daging jeroan full. Kebayang dong, iso-limpa-babat-jantung-paru kambing bersatu dalam 1 piring gule? Yum! 🙂 Rasanya? Kuah kaldunya gurih, saat saya mencobanya tanpa tambahan apa-apa. Saya penggemar berat bawang merah dan bawang putih mentah untuk lalap. Alhasil, saya tambahkan beberapa sendok irisan bawang merah, beberapa sendok kecap manis, kucuran jeruk lemon, dan sambal untuk mendapatkan sensasi rasa yang saya inginkan. Dagingnya pun empuk! Meskipun saya pilih kaki kambing yang dominan urat dan kulit, sama sekali tidak ada perlawanan. Harganya? Lumayan light di kantong kok. Coba deh! 🙂

Kenyang Yog? Kenyang lah! 😀
Mari kita pulang! Dan tepat pukul 11.38 WIB kami beranjak dari Kota Semarang menuju Kota Bekasi kembali. Dan setelah menempuh 1.032 KM kami pun sampai dirumah, saat jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Capek, penat, semuanya terbayarkan dengan apa yang kami dapatkan selama perjalanan. Live is about collecting moments. And life is about enjoying the journey, not only the destination.
Referensi lain:
- Nestcology, Menu Masakan Teknik Molecular Gastronomy | Link berita: http://exploresemarang.com/nestcology-land-of-gastronomy/ | Diakses pada: Rabu, 23 Mei 2018 pukul 10.35 WIB
- Gastronomi Molekuler | Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Gastronomi_molekuler | Diakses pada: Rabu, 23 Mei 2018 pukul 13.47 WIB
- Kampung Kambing, Kampung Bustaman | Link berita: http://portalsemarang.com/kampung-kambing-kampung-bustaman/ | Diakses pada: Kamis, 24 Mei 2018 pukul 08.59 WIB
- Gulai Bustaman dan Kisah Kampung Jagal Semarang | Link berita: https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kuliner/956229-gulai-bustaman-dan-kisah-kampung-jagal-semarang | Diakses pada: Kamis, 24 Mei 2018 pukul 08.59 WIB
Aku juga gak kuat naik sampai ke candi no 9. Capek bgt