Wow! 😮
Sudah sepuluh tahun saya menikah, ternyata. Dan bisa dibilang, selama 10 tahun pernikahan kami, dilalui dengan cukup tenang dan menyenangkan, sebagaimana harusnya semua pernikahan. Ya kan? Dan buat kami berdua (yang belum dikaruniai keturunan), pernikahan adalah tentang bagaimana menjalaninya berdua dengan ikhlas dan penuh rasa syukur. Karena mungkin rezeki dalam pernikahan itu bukan saja melulu tentang anak, namun bisa juga hidup yang menyenangkan, hidup yang jauh dari konflik dan intrik, punya orang tua dan mertua yang keduanya masih sehat, dan keluarga besar yang sangat mendukung karir kami berdua, terutama saya yang banyak maunya. Yang ingin sekolah lagi, ingin melanjutkan studi saya ke program doktoral di SB-IPB, yang masih ada di tahap kedua (akan saya bahas di blog terpisah ya!).

13 April 2008-13 April 2018 🙂
Seharusnya setiap ulang tahun pernikahan jadi hari yang istimewa. Namun memasuki tahun kesepuluh ini, sudah seharusnya dirayakan di tempat yang istimewa (buat saya sepertinya, karena istri saya lebih suka dengan kota Yogyakarta), yaitu di kota Semarang-Jawa Tengah. Seperti yang sudah-sudah, saya selalu merayakan hari ulang tahun saya di kota cantik ini. Salah satu kota favorit saya, selain Malang dan Bogor, tentunya. Dan karena di awal bulan April ini jatuh pada Hari Raya Paskah, yang bertepatan dengan long weekend, kami memutuskan menunda perjalanan #SemarangTrip kami. Malas juga kan, jalan ke luar kota saat long weekend? Macet di beberapa ruas perjalanan, harga hotel yang pasti melambung, dan tentunya keramaian di pusat-pusat keramaian di kota-kota yang kami kunjungi.
13 April 2018, pukul 03.19 WIB.
Kami berangkat dari rumah di Bekasi, dengan odometer mobil menunjukkan angka 25.184 km. Lalu lintas cukup padat pagi dini hari itu di Tol Cikampek. Classic scene these days, since massive development on these roads. Pukul 06.13 WIB kami sudah tiba di Gerbang Tol Palimanan, dimana jalanan cukup lengang selepas lewat Gerbang Tol CIkarang Utama. Dan di pukul 07.02 WIB, kami sudah sampai di Kota Tegal, via Gerbang Tol Brebes (Brexit-Brebes Exit). Seketika saya ingat kalau di perjalanan #homecomingtrip kami Kota Malang di bulan Desember 2017 yang lalu, kami sempat makan pagi di salah satu warung yang saya lihat di sebelah kiri jalan, di jalur Tegal Pemalang KM. 5. Nama Warung Makan Dua Cemara, karena lokasinya ada di bawah 2 pohon pinus (harusnya cemara ya?) besar. Saya teringat dengan masakan cumi hitam, sambal goreng babat, dan krengsengan kaki (dengkil, istilah setempat) kambingnya. Pantas untuk diulangi lagi!



Masakan yang disajikan di warung makan sederhana ini buat saya punya rasa yang istimewa. Sehingga saking istimewanya, saya sempat membungkus 1 porsi cumi hitam yang cukup dihargai Rp10.000,- saja. 1 porsi makan saya (lauk cumi hitam dan sambal goreng kentang), cukup dihargai Rp16.000,- saja. Murah ya? Sudah termasuk teh manis hangat lho! Saat meninggalkan warung makan ini, waktu sudah menunjukkan waktu pukul 07.46 WIB.
Dan touchdown Semarang!


Lokasi pertama yang wajib kami kunjungi adalah Rumah Makan Selera milik Bu Fat, di Jalan Ariloka, Krobokan-Semarang. Menu utamanya yang saya sudah bayangkan sejak memulai perjalan dari Kota Bekasi adalah Mangut Kepala Manyungnya. Kepala ikan Manyung yang hampir setara besarnya dengan ‘kepala orang dewasa’ ini diasap terlebih dahulu (sehingga meninggalkan aroma khas) sebelum diolah dengan bumbu racikan Bu Fat dan santan kelapa segar. Hasilnya, harum dan sangat lezat. Buat penggemar masakan ikan asap pedas, masakan ini adalah hidangan wajib! Memang agak pricey, satu porsi isi setengah kepala ikan Manyung (dikenal juga dengan ikan Jambal) dibandrol Rp85.000,- s/d Rp100.000,- but believe me, it’s totally worth it!


Saking tergila-gilanya saya ke masakan ini, saya minta ke mbak-mbak pramusajinya ekstra kuah pedasnya. Kuah pedas itu bisa saya hirup saja, saking enaknya sehingga melupakan rasa pedasnya. Yang seperti biasa akan memunculkan ‘himbauan’ dari istri saya, “Awas bajunya, ya!”, sambil menyerahkan kain bandana yang saya pakai menutupi baju saya dari cipratan kuah. Kuah apapun. I’m a mess when eating foods with soup! Berantakan kalau makan makanan berkuah, kuahnya bisa terciprat ke bagian depan baju saya. 1 porsi kepala ikan Manyung tadi, ludes tak tersisa. Hanya tinggal tulang-tulangnya saja di piring saya. Ini wujud apresiasi saya terhadap rezeki yang diberikan buat saya, dan apresiasi saya ke juru masak yang handal di dapur rumah makan ini.
Hari itu warung makan cenderung tidak terlalu ramai. Dan meninggalkan tempat ini selalu meninggalkan rasa tidak enak, karena pasti melihat banyak makanan, terutama mangut kepala manyung ini, ditinggalkan dengan banyak sisa di meja-meja makan. I hate wasting food. Hate it so much!. Maksud saya, kalau tidak habis mbok ya dibungkus saja, dibawa pulang. Kalau tidak punya malu, pasti saya akan minta mbak-mbaknya untuk membungkusnya buat saya makan nanti, entah kapan 😦
Kota Semarang, pukul 13.23 WIB
Check in di hotel bisa menunggu. Karena kami harus mendatangi satu tempat lagi, Leker Paimo yang sudah kondang. Buat penggemar kue leker yang sering kita temui dijajakan di depan sekolah-sekolah dasar, pasti sudah akrab dengan cita rasa kue dadar tipis kering dengan topping meses, susu kental manis, dan pisang ini. Namun Pak Paimo, yang berjualan di depan Sekolah Kolese Loyola di Jalan Karanganyar ini membawanya ke level yang berbeda. Bagaimana tidak, kue leker yang masing berformat ‘tipis kering’ ini disajikan dengan beraneka macam topping, dalam 2 pilihan; asin dan manis. Untuk pilihan asin, Pak Paimo punya pilihan leker premium (harga Rp30,000,-) dengan topping telur-kornet-mozarella-tuna, atau telur-kornet-mozarella-sosis. Mewah kan?


Karena tidak menyantapnya langsung di tempat (masing kekenyangan sepulang dari RM Bu Fat tadi), kami bungkus untuk disantap di hotel sebagai cemilan sore nanti. Dan saya baru sadar, 2 destinasi kuliner saya di Kota Semarang ada di jalan ini juga, yaitu RM Asem-Asem Koh Liem dan Warung Mak Tompo. RM Asem-Asem Koh Liem terkenal dengan asem-asem daging sapi dan makanan khas Semarang lainnya. Sedangkan Warung Mak Tompo, yang pernah diulas oleh Mas Budiono Darsono (pendiri portal detik.com yang kini berkarir di Kumparan), terkenal dengan cumi hitam, udang sambal, petis kangkung, dan aneka makanan khas Semarang lainnya, terletak di dalam gang. Kedua rumah makan ini letaknya berseberangan jalan saja. Ok, next #SemarangTrip kami datangi ya!

Istri saya sudah memesan kamar hotel untuk 3 hari 2 malam kunjungan kami di kota Semarang ini, dan kami menginap di POP! Hotel Pemuda. Lokasinya cukup strategis, cukup 5 menit berjalan kaki ke Lawang Sewu, dan area car free day di Jalan Pemuda. Jika ingin membeli kebutuhan cukup berjalan kaki ke DP Mall, dan jika kelaparan di tengah malam, kita bisa berjalan kaki ke deretan warung makan di seberang hotel. An excellent choice! Dan pemandangan dari kamar kami pun cukup cantik (walaupun agak spooky juga, langsung menghadap ke salah satu bagian Gedung Lawang Sewu).



POP! Hotel Pemuda ini memang didesain untuk para pelancong dan business traveller yang tidak terlalu membutuhkan fasilitas mewah yang kadang tidak diperlukan. Semua yang ada di hotel ini pun ringkas dan efisien. Saat melihat ruang reception, disitu pun juga kita temukan mesin kopi dan perangkat membuat minuman lainnya, lengkap dengan etalase berpendingin untuk penyimpanan aneka cake dan pastry sebagai teman minum kopi atau teh. Seperti yang diceritakan oleh salah satu crew receptionist, di hotel ini pun tidak ada dapur. Untuk tamu hotel yang memesan kamar dan sarapan, makanan dalam kotak-kotak plastik akan disiapkan di ruang reception ini, dan dapat dinikmati di meja kursi layaknya coffee shop di lounge hotel ini.
Di kamar pun tidak kami temui alat pemasak air seperti halnya di hotel-hotel lain, sehingga jika tamu hotel ingin membuat minuman hangat sendiri, tinggal minta air panas di dispenser yang ada di bagian dalam ruang reception. Buat kami yang bakal menghabiskan pagi/siang hingga malam hari di perjalanan keliling kota, fasilitas hotel semacam ini sudah cukup. Tidak perlu fasilitas seperti kolam renang, fitness center, atau bahkan sauna. No, this time is not a staycation 🙂
Untuk hari pertama di kota Semarang ini, kami ada 2 agenda atau tempat yang ingin kami kunjungi; Grand Maerakaca dan Pasar Semawis. Untuk lokasi pertama, Grand Maerakaca atau disebut juga Puri Maerakaca, adalah hutan mangrove (bakau) yang letaknya dekat dengan garis pantai (ada Pantai Marina dekat lokasi ini), dimana di bagian tepi danau mangrove ini dibangun miniatur bangunan rumah khas dari 36 kabupaten di Jawa Tengah, diambil dari masing-masing kota yang ada. Lengkap dengan miniatur Candi Borobudur, Masjid Agung Semarang, Masjid Agung Demak, dan masih banyak lagi. Yang tentunya masing-masing kabupaten memiliki keunikan tersendiri. Bayangkan, jangankan Indonesia, dalam satu propinsi Jawa Tengah saja beragam. Masa harus dibuat seragam semuanya. Ibarat kue, Indonesia itu seperti kue lapis yang warna-warni (semacam ombre cake lah), masa mau dibuat kue pandan yang warnanya hijau saja? Saya sih nggak rela. 😮



Dan bisa ditebak, karena tahu lokasi ini dari akun Instagram @seputarsemarang, maka pasti banyak anak muda yang datang untuk berswa foto bersama teman-temannya. Memang lokasinya cukup menarik, dengan biaya masuk yang sangat terjangkau (Rp10.000,-/orang) dan juga makanan dan minuman yang juga sangat terjangkau. Saat saya membeli 2 minuman dingin untuk menikmati udara sore hari yang cerah di tepi hutan mangrove ini, ibu-ibu peracik minuman dan mas-mas pramusajinya pun sangat ramah.


Beliau bercerita kalau lokasi wisata ini sangat ramai menjelang matahari terbenam. “Sekitar jam 4-6 sore mas, anak-anak muda pada datang kesini buat selfie-selfie”, ujar ibu-ibu penjaga cafe. “Tempat paling ramai buat selfie ya pas di jembatan ini, dan di jembatan yang keliling hutan bakau itu”, terangnya melengkapi. Saat saya berkunjung, pihak pengelola sedang melengkapi tempat ini dengan fasilitas tambahan berupa pasar apung, dari perahu-perahu yang diparkir atau ditata di salah satu pinggir danau, tepat di depan anjungan-anjungan kota-kota di Jawa Tengah, dan pasti akan menambah cantiknya lokasi ini menjelang dan di malam hari ya?
Menjelang Maghrib, kami bertolak dari Grand Maerakaca ini menuju lokasi terakhir hari ini, Pasar Semawis. Pasar malam yang hanya buka di akhir pekan saja ini (Jumat-Minggu malam) berlokasi di Jalan Gang Warung No. 50, Kauman, Semarang Tengah, Kranggan, Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah 50139. Atau lebih mudah disebut daerah Pecinan, Semarang. Karena ada di area Pecinan, jadi jangan kaget kalau di kios-kios makanan dan minuman yang berjejer di kanan dan kiri jalan ini banyak menjajakan menu non-halal ya? Lebih baiknya, bertanya dulu ke penjualnya, apakah makanan yang dijajakan halal atau tidak sebelum membeli. Dan informasi tentang makanan dan minuman apa yang disajikan pasti terpasang dengan jelas koq.



Jadi jajanan apa saja yang kami coba di Pasar Semawis ini? Well, kalau perut belum terasa penuh akibat makan siang di RM Mangut Kepala Manyung di Bu Fat dan 2 porsi Lekker Paimo tadi, pasti lebih lapar mata! Dijamin! Semua jajanan di pasar malam ini terlihat enak-enak dan menggiurkan. Kami coba telur gulung dengan saus khusus (saya lupa apa sausnya, teriyaki kalau tidak salah), sate kulit ayam dan sate punggung (rongkong/iga) ayam ukuran jumbo dengan saus teriyaki, yang masing-masing dihargai Rp5.000,- dan Rp10.000,- per potong. Gila, gede-gede banget ini sate! Yum! Selain 2 jajanan tadi, kami juga sempat mencoba Hiwan Tahu. Apa itu Hiwan Tahu? Ternyata semacam bakso ikan (beberapa varian) dengan kuah kaldu tulang babi. Saat kami mencobanya, menurut mbak-mbak penjualnya, makanan ini khas RRT, yang dibawa oleh kakek sang penjual makanan sendiri ke Indonesia. Cukup murah, untuk satu mangkok Hiwan Tahu komplit dihargai Rp20.000,- saja, plus saya pesan khusus tulang iga babi yang dipakai sebagai bahan kaldu sebagai teman makan. 3 potong besar tulang iga babi cukup dihargai Rp5.000,- saja. What? “Goceng aja nih, mbak?” tanya saya ke mbak-mbak penjualnya, tidak percaya. 😀





Malam itu cuaca Semarang sedang cerah-cerahnya, sehingga hawanya pun cenderung gerah. Jalan-jalan di sepanjang Pasar Semawis pun sanggup membuat kami berkeringat. Tekadnya sih, sesampainya di hotel kami ingin mandi sebelum tidur, agar tidak lengket-lengket di badan dan agar lebih segar saja 🙂
Hari pertama dari #SemarangTrip sudah selesai, besok akan lanjut jalan-jalan kami ke daerah Muntilan-Ungaran. Ke Candi Gedong Songo, Sumber Air Umbul Sidomukti, dan beberapa tempat lainnya! Simak terus jalan-jalan kami di hari ke-2 untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke-10 tahun ini! 🙂
Referensi tambahan:
- Pasar / Warung Semawis, Surga Wisata Kuliner di Semarang | Link berita: http://exploresemarang.com/pasar-warung-semawis-surga-wisata-kuliner-di-semarang/ | Diakses pada: Rabu, 23 Mei 2018 pukul 10.31 WIB.
- Makanan yang Wajib Anda Coba Saat Berburu Kuliner di Semawis Semarang | Link berita: https://travel.kompas.com/read/2017/06/19/150300627/makanan.yang.wajib.anda.coba.saat.berburu.kuliner.di.semawis.semarang | Diakses pada: Rabu, 23 Mei 2018 pukul 10.33 WIB.
6 Comments Add yours