Bicara Dengan Rasa-To Learn, Unlearn, and Relearn

Learn. Unlearn. Relearn. Belajar terus. Kalau Alvin Toffler mengatakan demikian; “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Bahwa ketidakmampuan orang-orang di abad 21 bukanlah untuk menulis dan membaca, namun ketidakmampuan untuk belajar, mengosongkan pikiran dan diri, untuk dapat belajar kembali. Satu poin yang saya anggap penting adalah kemampuan untuk mau mengosongkan diri (ego) dan pikiran, untuk dapat belajar kembali. Analogi ‘gelas kosong’ memang selalu tepat bila dikaitkan dengan proses belajar ini.

Bicara Dengan Rasa-batch 3 (foto: Daily Meaning)

Dan hari Sabtu, 20 Januari 2018 saya mendapatkan kesempatan untuk belajar lagi. Belajar ngomong. Belajar bicara dengan rasa. Bersama dengan 12 orang lainnya, kami belajar bicara dengan rasa ke mas Alexander Sriewijono, sosok yang sudah saya kenal kurang lebih sejak tahun 2006. Kurang lebih sejak saya kerja di Jakarta, kenal dari TV talk show beliau tentang pengembangan karir, komunikasi di tempat kerja, dan termasuk komunikasi dalam kaitannya dengan hubungan sosial kita sebagai manusia di O Channel, dan radio show-nya di Cosmopolitan FM (Cosmopolitan Career). Praktis ide-ide beliau banyak masuk ke benak saya.

Bicara dengan Rasa-batch 3

Ke-13 orang peserta Bicara Dengan Rasa batch 3 (yup, I missed that first 2 batches) datang dari berbagai latar belakang, meskipun sebagian besar datang dari latar belakang human resource dan sebagian besar adalah perempuan. Di ruangan, laki-lakinya hanya saya, mas Yoga (we share the same name-bekerja di PT. Angkasapura), mas Kenji (project manager Bicara Dengan Rasa), mas Haris (professional recruiter dari Kelly Services) dan tentunya saya sendiri. Ruang workshop yang sangat nyaman tersebut ada di lantai 2 Gedung Wisma Surya Kemang, Lantai No.2, Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan. Kantor Daily Meaning, people & business management consultant, milik Mas Alex.

Bicara dengan Rasa-batch 3 (Daily Meaning office)

Saat ngobrol santai, sesaat setelah saya memasuki ruang workshop, mas Alex bertanya ke saya: “Mas Yoga, kan mas Yoga sudah jago. Kenapa kok masih mau ikutan (sesi Bicara dengan Rasa)?” Wah, saya sempat bingung menjawabnya. Pertama, karena saya tidak pernah merasa jago (dalam bidang apapun), yang ada saya hanya ingin terus belajar dan belajar. Saya jawab, “Wah, saya nggak pernah merasa jago, mas. Saya inginnya belajar terus.”

Bicara dengan Rasa-batch 3

Saya berpegang bahwa selalu ada langit diatas langit, padi makin berisi makin merunduk. Dan kalau kita mengerti akan sesuatu, in return-because we got the idea/knowledge from somewhere-someone else, kita wajib memberikan pengetahuan tersebut kepada mereka yang membutuhkan. Sebagai proses belajar. Sebab, pada prinsipnya kita bisa menyatakan-dinyatakan mengerti akan suatu hal jika kita bisa menjelaskan dengan baik kepada orang lain, sesuai dengan bahasa dan pemahaman dari lawan bicara kita. Saya analogikan dengan menjelaskan suatu ide yang rumit dengan bahasa sederhana kepada seorang anak kecil, hingga ia mengerti. Atau di tempat kerja saya, saya berolah pikir dengan menjelaskan suatu hal yang baru (terkait digital marketing, misalnya) dengan seorang non-digital atau digital migrant.

Bicara dengan Rasa-batch 3 (foto: Daily Meaning)

Karena saat kita bicara biasa, kita hanya mengulang apa yang sebelumnya pernah kita dengar dan baca. Pesan yang disampaikan lewat logika berpikir akan sampai di benak lawan bicara kita. Namun jika kita menambah elemen rasa, kita menciptakan hubungan (connection & engagement) dengan lawan bicara kita. Dan pesan yang kita sampaikan, tidak hanya diterima oleh benak lawan bicara kita, namun juga bisa diterima oleh hati (baca: dirasakan) oleh lawan bicara kita.

Bicara dengan Rasa-batch 3 (foto: Daily Meaning)

Kembali ke learn-unlearn-relearn tadi, dari sebuah artikel yang sampat saya baca, proses berkembang ini sama halnya dengan seorang pelukis mural yang ingin memperbaharui lukisan di sebuah tembok. Dimulai dengan proses melakukan pengelupasan cat, agar cat dasar yang melapisi tembok dapat menempel dengan sempurna, kemudian ia akan mengaplikasikan karya barunya di situ. Proses pengelupasan cat (termasuk pengaplikasian cat dasar baru) butuh alokasi effort 70%, sedangkan pengaplikasian karya mural barunya, hanya butuh 30% saja dari effort-nya. Nah, dari analogi ini, bisa dipahami bahwa proses unlearn perlu alokasi effort yang lebih besar.

Bicara dengan Rasa-batch 3

“Masa iya sih, saya harus mengesampingkan cara-cara yang sudah pernah saya lakukan sebelumnya (dan berhasil)? Masa saya harus belajar lagi?”  

Mungkin susah buat orang yang punya mental blocking seperti digambarkan dengan ucapan diatas untuk mau berubah. Mau berbenah diri, mau unlearning. But believe me, everyone on that room that day, left their mental blocking egoism behind. We all want to unlearn things we had before in the way we speak and communicate with others, making more connection with others. Because the more we connected (plugged), the more we have.

Berolah rasa. Dari sesi demi sesi berjalan sangat seru, dari belajar menemukan koneksi antara kita, topik yang kita bicarakan, dan lawan bicara. Kemudian belajar menemukan inspirasi dalam diri kita, sebelum dapat menginspirasi orang lain lewat komunikasi yang kita jalin, dan dilanjutkan dengan belajar touching heart, bukan hanya reaching head saja. Salah satu contoh yang diberikan yang paling saya ingat adalah saat kami ditunjukkan gambar donat. Yang terlihat menggiurkan dengan warna warni topping-nya.

Mas Alex bertanya: “Ini gambar apa?”, dan serentak kami menjawab: “Donat!” 😀

Pertanyaan yang dapat dijawab oleh anak TK dengan mudah. Lalu diulang lagi pertanyaannya, “Ini apa?” plus ditambah pertanyaan, “Yang nanya siapa?”, dan case-pun diberikan. Misalnya yang bertanya ini seorang kakek yang sudah menderita diabetes akut, yang kebetulan tidak saja bertanya benda apa yang ada di hadapannya kepada cucunya, namun juga menyatakan keinginan untuk mencoba donat tersebut.  Mbak Sonia, seorang karyawati di PT. Telkom, diberikan kesempatan mas Alex untuk menjawab dengan rasa. Dan jawaban beliau pun brilliant!

Bicara dengan Rasa-batch 3 (foto: Daily Meaning)

“Kek, ini donat. Tapi maaf ya kek, kakek tidak boleh makan donat ini. Kakek masih mau kan tetap sehat dan melihat Sonia menikah nanti?” Wow! Jadi, kalau kita bicara biasa, tentunya mbak Sonia akan berkata, “Kek, kakek nggak boleh makan donat dulu, diabetes kakek nanti makin parah lho!”. Feel the difference? 🙂

Bicara dengan Rasa-batch 3

Sesi Bicara dengan Rasa berlangsung selama 3 jam, dan ditutup dengan foto-foto bersama, dan masing-masing dari kami berfoto dengan mas Alex dengan latar belakang mural Ikigai dan tembok berwarna hitam dimana kami menempelkan kertas warna-warni berbentuk hati berisi apa harapan kami dari mengikuti sesi ini.

Bicara dengan Rasa-batch 3 (foto: Daily Meaning)

It’s such a heartful session, thank you Mas Alex and Daily Meaning team!

Sumber:

  1. Learn, Unlearn And Relearn: How To Stay Current And Get Ahead, Margie Warrell | Link: https://www.forbes.com/sites/margiewarrell/2014/02/03/learn-unlearn-and-relearn/#312f724d676f | Diakses pada: Selasa, 23 Januari 2018 pukul 06.00 WIB.
  2. Goodreads.com. Link: https://www.goodreads.com/author/quotes/3030.Alvin_Toffler | Diakses pada: Senin, 22 Januari 2018 pukul 15.30 WIB.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s