Halo Yogyakarta!
Setelah 17 jam di perjalanan, diwarnai dengan kemacetan parah di daerah Saradan Mantingan sehingga perjalanan terlambat 3 jam saja, dan beberapa kali sesi istirahat di SPBU, resto, dan rest area sepanjang tol Pandaan-Kertosono, sampai juga di kota gudeg ini. Misi pertama sebelum masuk kota Yogyakarta adalah: cuci mobil! Kebayang dong, bagaimana rupa mobil warna hitam setelah menembus hujan hampir sepanjang perjalanan? 😮
Mobil kembali ‘cling’ luar dan dalam, berkat pelayanan memuaskan dari Sasando Car Wash, tempat cuci mobil yang kami temukan dari Google Search, yang berlokasi tepat di samping Hotel Yellow-Amborukmo, Jalan Laksda Adi Sucipto. You should try their service sometimes while you’re on the way to the city from outside of town, or anytime while you’re in town 🙂

Well, tidak banyak yang kami lakukan sepanjang hari di hari pertama setelah kami sampai di sini selain beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Sebenarnya gatal juga ingin langsung jalan-jalan mengitari kota, yang terlihat mulai padat dengan datangnya turis dari luar kota, yang ingin menghabiskan liburannya hingga merayakan tahun baru di spot-spot romantis kota Yogyakarta.
“Yuk, ke Malioboro! Tapi jalan kaki ya, males kalau bawa mobil. Macet!”, ajak saya ke istri dan keponakan-keponakan. Tanpa pikir panjang, mereka terima ajakan saya. Maklum jarak dari rumah tante saya, di daerah Pathuk (iya, Pathuk tempat belanja bakpia dan oleh-oleh khas Yogyakarta), tepatnya di Jalan K.S Tubun, ke Malioboro hanya perlu jalan kaki 10 menit saja, lewat Jalan Gadean lalu belok ke Jalan Reksobayan, sampailah kami di Jalan Malioboro! Kawasan itu seperti biasa sudah penuh dengan pengunjung.

Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Hamzah Batik. Toko batik yang cukup terkenal, yang terletak di pertigaan antara Jalan Malioboro dan Jalan Reksobayan ini banyak menawarkan pilihan batik, baik bahan maupun pakaian jadi dari beragam harga dan kualitas. You pay what you get. Toko ini terdiri dari 3 lantai, dimana lantai 3 biasa dipakai sebagai tempat pertunjukan, dan pengunjung yang ingin menonton dikenakan biaya tertentu. Mood saya lagi tidak aneh-aneh hari itu, jadi ya fokus mencari batik saja. Siapa tahu ketemu dengan yang cocok. Sambil lihat-lihat (saya biasa kalau pilih-pilih batik sesuai selera saya sendiri-jarang dipilih kan orang lain), saya baru ingat kalau saya belum pernah punya baju batik motif lurik. Nah, tapi batik motif lurik ini biasanya ada di pakaian surjan. Surjan sebagaimana yang kita kenal adalah busana abdi dalem keraton. Semacam seragam keseharian mereka. Kain lurik yang menjadi motif dominan punya makna tersendiri, yaitu kesederhanaan. Konon, semakin besar motif lurik di baju surjan, semakin tinggi jabatan pemakainya.

Selepas belanja batik di toko ini, kami melanjutkan perjalanan menjelajah sisi kiri Jalan Malioboro dari arah Nol Kilometer. Seperti biasa, kaos-kaos khas Malioboro, ber-design spot-spot menarik lainnya di kota Yogyakarta dan sekitarnya sangat mudah kita temui, demikian juga dengan kerajinan tangan lainnya, yang dapat dijadikan oleh-oleh. Perlu kelihaian dalam menawar disini. The simplest rule is: tawar setengah harga dulu, lihat reaksi penjualnya, dan berapa harga kedua-ketiga yang ditawarkan kembali di penjual. Mau deal di angka berapa, tergantung seberapa lihai anda menawar harganya.

Beberapa ratus meter dari toko batik tadi, kami menemukan spot menarik yang berbau vintage, Angkringan Margo Mulyo. Seating area-nya cukup luas, ada beberapa belas meja dengan beberapa bangku di tiap meja. Jangan harapkan ruangannya dingin seperti di cafe ya, tapi cukup sejuk kok. Ada beberapa kipas angin besar di pilar-pilar yang membantu menyejukkan ruangan.

Seperti angkringan lainnya, kios-kios dalam kedai ini menyajikan makanan khas, seperti nasi kucing (nasi yang dibungkus kecil-kecil-cukup untuk 3 suapan saja) dengan aneka lauk di dalamnya, nasi bakar, sate-satean (otak-otak, telur puyuh, ceker dan kepala ayam, bakso ikan, bakso sapi, jeroan sapi, tempe-tahu mendoan, telur puyuh ceplok, dll), minuman sederhana (es teh, es jeruk, jeruk panas, dsb), dan satu lagi; kedai yang menyajikan kopi secara khusus.

Terlihat mereka punya syphon filter, alat drip, dan beberapa alat lain. Kopinya dibuat manual, tanpa mesin kopi canggih di warung-warung kopi premium. Sepertinya enak, tapi sayang malam itu sebaiknya tidak minum kopi. Saya masih butuh waktu lebih untuk istirahat.

Dan seperti kedai angkringan lainnya, semua makanan yang akan disajikan pasti dihangatkan dahulu di atas bara api. Bara api tersebut juga digunakan untuk memanaskan air dalam ceret besar, yang akan dipakai untuk minuman panas atau hangat yang dipesan pengunjung. Selain menjual makanan dan minuman khas angkringan, kedai ini juga menjual suasana lay back Malioboro khususnya dan Yogyakarta pada umumnya. Jendela-jendela besar ada di bagian yang menghadap ke jalanan, membantu sirkulasi udara. Harga standar saja, tidak mahal kok. Saya rekomendasikan tempat ini untuk sekedar duduk santai ngobrol ngalor ngidul sambil cemal cemil, atau bisa juga untuk makan besar. Terserah anda 🙂
“Lumpia enak nih!” ujar saya. Lah, tapi kita kan lagi di Yogyakarta? Bukan di Semarang. Emang ada kedai lumpia yang enak di Malioboro? “Ada, itu di seberang. Depan Hotel Mutiara”, ujar istri saya. Dan memang kedai yang lebih tepatnya gerobak ini ramai oleh pengunjung (baca : antre). Untuk yang makan lumpia di tempat, cenderung lebih cepat mendapatkan pesanannya, namun untuk mereka yang beli untuk dibungkus-bawa pulang, harus sabar menunggu. Beruntung tak lama setelah kami pesan (dicatat nama pemesannya), sampai juga 4 buah lumpia dengan condiment parutan bawang putih, bawang daun, acar mentimun, dan cabe rawit. Per biji, lumpia depan Hotel Mutiara ini dijual Rp4.000,- (lumpia biasa), untuk yang spesial (dengan tambahan telor puyuh di dalamnya), dihargai Rp4.500,- saja.
Perjalanan keliling Malioboro diakhiri dengan masuk ke Malioboro Mal. “Dasar anak kota, nggak bisa lihat mall, pasti ngajak masuk!”, kelakar saya. Saat hendak masuk ke mall, cuaca masih cukup cerah. Nah, saat kami keluar mall (menjelang mall tutup), Malioboro dan sekitarnya hujan deras!
Mau menunggu? Atau naik taksi? Ah, beruntung saya ingat masih ada GO-PAY credit Rp36.000,- di akun GO-JEK saya. “Pesan GO-CAR aja lah. Masa mau nunggu hujan reda?” ide saya, yang tidak menunggu lama langsung diiyakan oleh rombongan, istri dan kedua keponakan saya. Ongkos taksi online dari Malioboro Mall hingga Blok Pathuk cukup mahal, Rp24.000,-

Namun harus kami maklumi, karena cuaca sedang hujan deras, dan jalanan di sekitar Malioboro sedang macet-macetnya. Yang penting bisa sampai ke rumah dengan selamat, dan kering! Besok agenda jalan-jalan cukup padat, sudah ada di catatan kami: Sarapan pagi di Warung Kopi Klotok, jalan-jalan di Taman Nasional Gunung Merapi, berfoto di The Lost World Castle (Kaliurang), mengucap doa dan rasa syukur atas tahun 2017 yang penuh berkah dan makna di Taman Doa Maria Ratuning Katentreman lan Karaharjan-Gantang (Magelang), lalu makan malam sehat di Resto Jejamuran, Jalan Magelang.
Let’s sleep and start to explore Yogyakarta early in the morning!
Sumber:
- Surjan dan Beskap. Link: https://www.kompasiana.com/elhasani_enha/surjan-dan-beskap_552af6e4f17e617a5ad623b7 | Diakses pada: Selasa, 9 Januari 2018 pukul 21.01 WIB
- Surjan Terdiri Beragam Motif, Berikut Maknanya. Link: http://krjogja.com/web/news/read/893/Surjan_Terdiri_Beragam_Motif_Berikut_Maknanya | Diakses pada: Selasa, 9 Januari 2018 pukul 21.01 WIB.
2 Comments Add yours