Kata ‘seamless‘ saya gambarkan sebagai tidak adanya jahitan/keliman di celana atau kemeja kita, karena itu tidak akan terasa apabila diraba. Mulus! Kata seamless dewasa ini dekat sekali dengan frictionless, alias tanpa gesekan, apabila kita bicara konteks omni-channel, atau istilah kerennya O2O-offline to online. Frictionless dan seamless juga saya bayangkan sebagai pengalaman yang dirasakan oleh seorang konsumen yang merasakan tidak adanya perbedaan saat belanja di online, mengembalikan atau tukar barang yang tidak ia inginkan di toko offline suatu brand. Atau serangkaian pengalaman lain yang ia rasakan saat berinteraksi dengan brand tersebut dalam konteks membeli. Retailer brand yang sering menggaungkan omni-channel ini antara lain: MatahariMall.com, Sephora, dan Alfacart (dulu). Satu level lebih rendah adalah multi-channel. Ini terjadi saat brand yang sudah mengelola toko offline membuka online channel, namun masih beda divisi-belum terintegrasi. Akibatnya, konsumen masih merasakan beda saat berinteraksi dengan retailer brand tersebut. Ia mengalami friction saat hendak menukarkan produk yang ia beli di internet (entah lewat online channel resmi brand atau lewat lapak e-commerce lain) di toko-toko brand tersebut. “Kita beda divisi, bu. Mohon maaf ibu tidak bisa menukarkan produk tersebut di toko, coba hubungi customer care kami saja” ujar seorang perwakilan brand di toko tersebut.
Padahal apa bedanya? Ibu tersebut sudah memilih brand tersebut diatas brand yang lain. Namun saat ia mencoba mendapatkan pelayanan ekstra, ia merasa berbicara dengan brand yang lain. Ini yang idealnya jadi perbedaan yang paling mencolok antara omni-channel dan multi-channel. Terletak di seamlessness dan frictionless-nya.

Dan tema ini yang dibawa oleh TERAPINN, event organizer yang menjalankan seminar e-commerce bertajuk SEAMLESS Payments-E-commerce-Retail di Pullman Hotel Jakarta, 10-11 Oktober yang lalu. Jadi seminar ini dibagi menjadi beberapa track besar;
- PAYMENT (tentang P2P Payment, Mobile Money, Fraud & Security, Blockchain & Cryptocurrency, Cross Border & Remitance, Regulation, B2B Payment, dan inovasi di bidang financial technology lainnya).
- E-COMMERCE (tentang Business Model & Trend, Data & Analytics, Discovery & Customer Journey, Disruptive Startups and Brands, Digital Marketing Trend, Cross Border E-commerce, UI & UX Design, Warehousing & Logistics).
- RETAIL (tentang Merchandising & Pricing, Retail Strategy: Local vs Global, Inventory Management, Smart Malls, Click and Collect, O2O, Designing The Future Store, Human Capital, dan Proximity Retail).
Dan lagi-lagi saya dapat kesempatan untuk menimba ilmu tentang digital marketing, dan khususnya e-commerce dari event ini. Perusahaan saya mengirimkan 2 delegasi, saya dan seorang lagi seorang senior manager, seorang expert di bidang sales, distribution, dan tentunya supply chain management. Kami punya interest masing-masing, sesuai bidang yang kami tekuni masing-masing. Saya memilih track E-commerce dan Retail-Trade, sementara beliau fokus di track Retail-Logistics. Kami berdua tidak memilih track Payments, karena harus menggunakan waktu sebaik mungkin, mengingat semua pembicara di masing-masing track berjalan secara bersamaan sesuai jadwal masing-masing. And beside, financial technology which included in payments is not our specialty at the moment. 🙂
Saya pernah mengikuti seminar dan workshop tentang e-commerce sebelumnya, yaitu IESE (Indonesia E-commertce Expo and Summit) 2017 di ICE-BSD bulan April yang lalu. Namun pelaksanaan jauh berbeda, di IESE 2017 kami harus menunggu berjam-jam untuk kehadiran Chief RA, sebutan untuk Menkominfo Rudiantara, yang saat itu membuka acara. Pembukaan acara delay hingga beberapa jam, sehingga bisa ditebak banyak agenda acara yang berubah di hari pertama tersebut.

Namun di acara ini cukup sederhana pembukaannya, tidak perlu mengundang pejabat-pejabat besar untuk acara seremonial (Chief RA diketahui berhalangan hadir, bisa juga datang sangat terlambat, untuk memberikan key note speech and show still go on, right on schedule). Acara berjalan on time! Ini yang sangat saya hargai. Yang membuka juga bukan seorang menteri, namun cukup perwakilan, seorang bule dari TERAPINN, dengan pidato pembukaan singkat. Dilanjut dengan penyampaian materi oleh Malikkan Kotadia, mentor dari Finlab. Slide yang cukup menarik dari beliau ditampilkan di gambar dibawah ini:

Di era user generated content, kita tidak harus menyediakan konten untuk dinikmati para pengguna platform kita, melainkan kita berikan kebebasan untuk pengguna kita, mengisi konten di platform yang kita sediakan. Sehingga tak heran, raksasa retailer terbesar di dunia, Alibaba.com tidak mengelola satu pun inventory. Perusahaan taksi terbesar di dunia, Uber, tidak memiliki aset mobil taksi satu pun. Demikian juga dengan Whatsapp, perusahaan jasa telekomunikasi terbesar, tidak punya satu pun infrastruktur telekomunikasi. Semuanya platform based. Hebat bukan? Dan kita sekarang ada di era tersebut. Make the most out of it!

Presenter kedua adalah rekan baik saya, seorang petinggi FMCG yang beralih ke dunia teknologi. Bergabung dengan Google Indonesia, lalu berpindah ke Oracle, dan saat ini berkarya di Facebook Indonesia, memegang jabatan sebagai Industry Lead – Travel & E-Commerce. Satu hal yang baru saya dapat dari presentasi beliau, bahwa konten yang kita, brand, sebar di Facebook sebenarnya dikonsumsi dalam waktu yang sangat cepat, rata-rata 1,7 detik saja. Hal ini terpengaruh oleh kebiasaan kita mengkonsumsi media dengan cara scrolling cepat layar smartphone kita.

Selepas sesi Kurniawan Santoso, panggung kemudian diisi oleh diskusi panel tentang peran bank dalam lingkup masa depan inovasi disruptive (agak ribet ya?). Hadir 4 expert dari dunia finance and banking, dipandu oleh Pak Gervasius Samosir (Solidiance).

Satu keyword, well two actually, yang sering disebut dalam diskusi panel ini adalah digital economy. Apa itu digital economy? Dari sebuah referensi, ekonomi digital adalah sebuah fenomena dimana terjadi pengurangan biaya transaksi, asimetri informasi ( terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya), yang mengarah pada ekonomi berbagi (sharing economy). Dan tentunya dibahas fenomena GO-JEK yang menjadi contoh nyata dari sharing economy, kecenderungan konsumen yang memilih tidak memiliki motor karena repot dan sebagainya, terkait dengan pola pemakaian yang semakin on demand sekarang.
Ini menarik, generasi baby boomers, generasi X, dan irisan antara generasi X dan generasi millennials, generasi xennials, masih beranggapan bahwa kepemilikan kendaraan pribadi (motor dan/atau mobil) menjadi hal yang penting. Suatu hal yang prestisius, yang membanggakan dirinya dan keluarganya (terutama orang tuanya). Yang menjadi sebuah tolok ukur bahwa ia sudah mapan. Nah, gererasi yang lebih muda memandang berbeda kepemilikan kendaraan pribadi ini. Dari sebuah diskusi, mereka mengaku tidak mau repot. Karena dengan memiliki kendaraan pribadi, mereka harus merawatnya, membawa ke bengkel untuk servis berkala, mengurus perpanjangan STNK, membayar pajak kendaraan, dan masih banyak lagi. Ditambah harus menyiapkan lahan khusus untuk parkir jika mereka membeli mobil. “Lagian gw bisa pesan Uber atau GO-JEK kapanpun gw butuh mas, ngapain pake nyicil motor segala?” jawab salah satu rekan saya. “Iya, ada GO-JEK ini. Ngapain gw harus nyicil motor? Mau pesan makanan juga bisa lewat mereka koq”, sahut rekannya menguatkan pendapat temannya. Pola pemakaian kendaraan yang on demand ini juga dipercaya jadi pemicu kurang bergairahnya pasar otomotif, terutama sepeda motor.

Ada satu quote menarik yang dibawakan oleh Muliadi Jeo, President & CEO dari Icube, provider e-commerce consulting. “Digital is no longer the shiny front end of the organization-it’s integrated into every aspect of today’s companies” (Rhys Grotssman-Russel Reynold Associates). Perusahaan kini banyak yang klaim sudah mesuk ke era digital, hanya dengan memiliki website atau saluran media sosial (dan lalu merasa keren sendiri), padahal saya percaya harus lebih dari itu. Semua aspek di perusahaan harus saling terkoneksi, tidak lagi bekerja dalam ‘silo‘ yang terpisah, yang pada akhirnya perusahaan bisa melayani customer dan consumer-nya secara seamlessly, tidak lagi ada sekat pelayanan antara pembelian online dan offline, termasuk penyelesaian laporan keluhan, penukaran barang, dan masih banyak lagi.
Ada pertanyaan dari Muliadi Jeo ke audience-nya; “Lebih baik mana, buka online channel sendiri atau ‘nitip’ ke lapak orang, misalnya Tokopedia, Blibli, dan sejenisnya?” Sebagian besar menjawab, “Dua-duanya!” Dan jawaban ini pastinya make sense. “Jika belum punya e-commerce site sendiri, ya lebih baik buka online channel di e-commerce orang lain. Buka official store di sejumlah e-commerce company yang terpercaya.” Make sense, karena sambil mengelola official store, pengelola brand bisa belajar behavior pelanggannya sendiri di e-commerce tersebut. Dan pada akhirnya, membangun dan mengelola e-commerce channel-nya sendiri. Hal ini dulu pernah kami lakukan dengan membuka official store di Multiply.com (ever heard of them?), belajar mengelola permintaan konsumen, mengelola stock, delivery, dan sebagainya di e-commerce site yang sudah tutup di tanggal 6 Mei 2013 tersebut. Dan kemudian kami membuka e-commerce channel sendiri di tahun 2013, dan tetap bertahan-bertumbuh hingga saat tulisan ini dibuat.
Di panggung-panggung luar ini, masing-masing tenant yang semuanya adalah tech company diberikan waktu untuk memberikan presentasi tentang digital marketing dan e-commerce dilihat dari expertise masing-masing, dan diberikan kesempatan untuk ‘jualan’ di akhir sesi. Somewhat complimentary of joining the event. Ingin lihat seperti apa penampakan di dalam ballroom Pullman Hotel tanggal 10-11 Oktober yang lalu? Here it is…



Selepas sesi Muliadi Jeo ini, saya melangkah masuk ke track Retail-Trade di ruangan terpisah (Warhol Room), dimana pembicara pertama di hari itu adalah Rifai Taberi dari Air Asia. Rifai Taberi menjelaskan tentang kiprah Air Asia dari awal berdirinya di bulan September tahun 2001. Ditandai dengan dibelinya maskapai ini dengan harga 1 Ringgit Malaysia oleh Tony Fernandez dan Datuk Din, dengan konsekuensi mengelola hutang milyaran US$-beroperasi dengan hanya 2 pesawat terbang. Maskapai ini kemudian menjadi pionir ticketless airways di benua Asia di April 2002, dan memperkenalkan online booking via website di bulan berikutya. Hingga bulan Juni 2015, mereka meluncurkan mobile apps-nya sendiri. A seamless traveling experience, pesan mereka.

Presenter kedua di track Retail ini adalah Arnab Ganguly dari Kanmo Retail Group, topik yang beliau bawakan adalah “Overcoming Trust Issues with E-consumers Issues While Maximizing The Use of Their Data” Beliau membahas potensi dan permasalahan pasar e-commerce di Indonesia. Meskipun penetrasi internet sudah mencapai 51% (tertinggi Brunei 86%-data Hootsuite/We Are Social), namun trust issue di belanja online masih kuat. Menurut Arnab, kini ada 14 alasan mengapa konsumen masih takut belanja online. Diantaranya:

- Website e-commerce non-compatible dengan perangkat smartphone secara umum.
- Takut informasi kartu kredit yang dibagikan disalahgunakan.
- Tidak bisa melihat fisik barang dan bangunan fisik toko.
- Ragu kalau nanti produk yang dibeli tidak sesuai harapan.
- Tidak bisa memantau pesanan yang dikirimkan (order tracking).
- Tidak adanya fasilitas layanan live chat untuk berkomunikasi.
- Tidak bisa retur barang yang tidak sesuai harapan.
- Biaya terlalu tinggi (packing cost, delivery cost, etc).
- Diminta untuk mendaftar-mengisi form yang panjang.
- Proses check out yang panjang.
- Website/apps sering crash.
- Opsi layanan atau metode pembayaran tidak cukup banyak.
- Problem di payment gateway (crash, balik ke halaman sebelumnya, dsb).
- Produk yang dipesan ingin dikirim di hari yang sama.

Dan informasi keraguan atau ketakutan akan belanja online ini juga dilengkapi dengan slide tentang alasan keranjang belanja yang dibiarkan (abandoned shopping cart), tidak diselesaikan ke pembayaran. 5 alasan terbesar adalah:
- Ada biaya tambahan yang membuat harga akhir lebih tinggi dari yang diharapkan konsumen (56%).
- Hanya browsing dan coba lihat saja (37%).
- Menemukan penawaran harga lebih murah di website lain (36%).
- Secara umum, harga terlalu mahal (32%).
- Navigasi dalam website terlalu rumit (25%).
Secara khusus saya memang mengikuti sesi demi sesi di ruangan Retail-Trade ini, dengan harapan saya bisa mendapatkan cukup informasi yang aplikatif yang bisa mendukung keseharian saya di tempat kerja. Sesi-sesi selanjutnya juga tak kalah menarik, seperti sesi yang menghadirkan dua wanita cantik, satu berperan sebagai narasumber (Valencia Tanoesudibjo-CCO Nusantara Sarana Outlet, MNC Group) dan satu lagi berperan sebagai host (Feliciana Wienathan, Google Indonesia). Well, from the Tanoesodibjo family name, you can guess from which family that lovely young girl on the right side came from 🙂

Topik bahasan talkshow ini adalah tentang: “Tapping New Media: How To Make Editorial and Community-Building Works For You.” For such young age, this girl likely already know how to run a company. Valencia berbagi tips tentang bagaimana tap into community dan engage ke mereka lewat content marketing dalam mengembangkan lini e-commerce busananya, BrandOutletID.
Dua sesi terakhir di track ini diisi oleh Felicia Gautama dari travelio.com dan Ian Dewar dari The North Face.

Untuk presentasi pertama, lebih ke perkenalan produk dari startup ini. ‘Rumus’ yang saya anggap selalu berlaku pada pembentukan startup digital apapun adalah: solusi vs. problem. Dan travelio.com menawarkan solusi kepada para pemilik asset property di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, baik itu rumah maupun apartemen yang tidak dihuni, untuk mereka kelola, dan menyewakannya kepada para traveller atau siapapun yang ingin menyewa asset ini baik harian, mingguan, maupun bulanan. Jadi, jika anda memiliki ruangan apartemen fully furnished yang tidak/jarang dihuni, anda bisa mendaftarkan asset anda tersebut ke website mereka, dan mereka akan mengelolanya untuk anda, sekaligus menemukan penyewa dengan pembagian 70%-30%. Pengelolaan disini termasuk kebersihan dan perawatan asset anda, dimana anda menyerahkan pass key/kuncinya ke mereka. Bagaimana dengan ruangan apartemen yang kosong? Mereka akan mengisinya, dan mengelolanya untuk anda, sekaligus menemukan penyewa dengan harga yang sama menariknya. Pembagiannya tentu saja beda, 60%-40%. Namun bagaimanapun juga, persentase ini masih tergolong deal yang bagus, bukan?
Solutions to problems? Pemilik apartemen akan tetap membayar biaya bulanan (kebersihan, keamanan, listrik, air, dll) untuk space yang ia beli bukan? Terlepas ruangan apartemennya anda tinggali setiap hari atau tidak, biaya masih tetap muncul. Dengan menitipkan ruangan apartemen yang tidak anda huni tersebut ke mereka, semua biaya akan tertanggung, ditambah asset anda akan tetap produktif. Solusi yang menarik!

Presenter terakhir adalag Ian Dewar dari The North Face, produsen perlengkapan berpetualang dari Amerika Serikat, yang konon sudah berumur 50 tahun. Konten dari presentasi Ian adalah tentang personalized marketing, dengan menghadirkan pesan yang tepat, untuk pelanggan yang tepat, di saat dan tempat yang tepat. Dan dengan pendekatan ini, The North Face dapat menjadi lebih dekat dengan pelanggannya, lewat effort sebagai berikut:
- Be your brand.
- Reward customers who believe in your brand.
- Localize content and products.
- Help customer shop where they want.
- Make existing program better.
- Be everywher your customers are.
And today’s key highlight is about giving a seamless and frictionless exprerience to your customer or consumer, to buy (fulfill-return/exchange) your products (and services) anywhere they want, whether it’s through your offline or online store. Period.
Sumber:
- Wikipedia. Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Asimetri_informasi (diakses pada: Selasa, 17 Oktober 2017 pukul 08:26 WIB)
- TERRAPIN website and mobile apps
- Travelio.com website
- Kompas.com. Link: http://tekno.kompas.com/read/2013/04/26/14295497/situs.multiply.indonesia.akan.ditutup (diakses pada: Selasa, 17 Oktober 2017 pukul 15:10 WIB)
One Comment Add yours