Sebenarnya keinginan membuat tulisan ini muncul karena kebingungan saya mencari sumber inspirasi untuk presentasi dan wawancara proposal penelitian S3 saya, yang rencananya akan dilakukan bulan September 2017 yang akan datang. Bulan depan, man! OMG! 😮
Sesaat sebelum ide ini muncul, jujur selama berbulan-bulan saya clueless, bingung mau bahas apa di proposal penelitian nanti. Yang tentunya, kini saya tidak lagi meneliti suatu perusahaan dengan dinamikanya sebagai variabel-variabel penelitian, namun kini saya meneliti suatu industri, dan hubungan antar industri. Bukan saja satu brand saja, namun berbagai brand yang masuk dalam industri. Dan tulisan ini menceritakan ide penelitian saya, yang didukung oleh beberapa artikel yang saya baca di media-media online yang terpercaya, dari narasumber yang terpercaya pula. Singkatnya, saya ingin melihat lebih dalam, meneliti tentang hubungan antara industri fast moving consumer goods, retail, e-commerce, e-hailing, logistic/express delivery dalam frame digital economy yang dapat saling menguntungkan dan meningkatkan satu sama lain.

Sederhananya seperti ini; era internet membuat perilaku konsumen berubah. Ini yang harus kita ketahui dan sadari, bahwa di luar sana perubahan terjadi demikian massive dan cepat! Konsumen kini mulai gemar belanja online karena banyak keuntungannya, bila dibandingkan dengan belanja secara offline di pusat-pusat perbelanjaan, atau sesederhana belanja di brick and mortar stores. Keuntungannya, tentunya lebih mudah (karena belanja kini bisa menggunakan aplikasi di smartphone-nya, lebih banyak pilihan (dari market place, classified, sampai layanan pesan makanan/minuman yang langsung melayani pengiriman dalam satu aplikasi), lebih praktis dan nyaman (bisa bayar (belakangan atau dicicil nantinya) pakai kartu kredit, transfer via e-banking, e-money, atau bahkan cash on delivery dengan opsi product return jika tidak sesuai harapan), banyak program promosi dan potongan harga, bahkan bebas biaya kirim. Alih-alih belanja di pusat perbelanjaan atau toko-toko biasa, konsumen kini cenderung memilih belanja via online. Beberapa karena alasan diatas. Kenyamanan juga dirasakan oleh konsumen saat mereka menyelesaikan proses check out (payment), pesanan mereka dapat dikirimkan langsung ke alamat rumah, ke kantor (biar nggak ketahuan kalau sering belanja online, tahu-tahu barang sudah rapi tertata di rak lemari), atau diambil saat perjalanan pulang lewat layanan POPBOX, yang kini mulai banyak kita temui di stasiun-stasiun KRL, apartemen, supermarket, pusat perbelanjaan, dan lokasi-lokasi strategis lainnya.

Daya beli itu ada, namun dimana konsumen menghabiskannya, ini yang bergeser. Kita belum membahas topik khusus tentang kegemaran konsumen kini untuk travelling ya? Yang sedikit banyak dipengaruhi oleh media sosial juga, Path dan Instagram misalnya. Media sosial ini kini menjadi ájang pamer’ kegiatan leisure mereka. Entah yang sedang bepergian ke destinasi wisata eksotis, makan di tempat-tempat makan premium, ngopi-ngopi di kedai kopi mahal, dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan industri consumer goods, dan industri retail? Tentunya industri yang terpukul dengan pergeseran ini adalah industri retail, baik yang menyewa lokasi di pusat perbelanjaan maupun yang berdiri sendiri. Industri consumer goods terkena efek karena konsumen mulai meninggalkan belanja dalam bulk di hypermarket dan supermarket, beralih belanja dalam porsi lebih kecil di supermarket maupun minimarket. Dan belakangan saya tahu kalau Hypermart (hypermarket group Matahari) hendak lay off sejumlah karyawannya sebagai imbas penutupan sejumlah gerainya. Ini baru kasus hypermarket, mungkin nantinya akan menyusul juga supermarket yang tutup karena sepi pengunjung, prediksi saya non-gourmet supermarket yang buka di pusat-pusat perbelanjaan. Mungkin sama halnya dengan minimarket, supermarket mengincar lokasi di dekat pemukiman atau perumahan. Alias mendekati konsumen potensialnya, contohnya; Superindo. Strategi ini cukup tepat, karena banyak gerai-gerai Superindo yang dibuka di dekat pemukiman, tepatnya di pinggir jalan yang dilewati warga sekitar sepulang kerja, rata-rata ramai dikunjungi. Di beberapa gerai Superindo pun saya jumpai kotak-kotak POPBOX, dan sesekali ada penggunanya yang mengambil paket pesanan hasil belanja online. Seru juga 🙂
Dan tentang gerai-gerai modern trade ini akan fully menjalankan fungsi O2O-nya, alias offline to online, atau juga sebaliknya. Jadi bukan hanya berjualan sebagaimana layaknya toko kelontong (mom and pop store), namun juga berperan sebagai tempat pengambilan produk yang dipesan via online (pick up point), memesan produk secara online dengan dibantu oleh kasir atau petugas toko lainnya (order point), yang sudah berjalan di gerai-gerai Indomaret. Di gerai-gerai Indomaret, konsumen bisa memesan produk lewat toko online mereka, lewat kasir-kasirnya, dengan cara pembayaran tunai. Yang ketiga, toko-toko offline ini mendapatkan peran tambahan, sebagai delivery point. Maksudnya bagaimana? Jadi konsumen yang belanja lewat website e-commerce sebuah retailer bisa mendapatkan kemudahan pengiriman produk-produk pesanannya langsung ke rumah di hari yang sama dalam hitungan menit atau jam, dimana pesanannya dikirim dari toko terdekat, lewat armada yang dimiliki oleh gerai tersebut. Sebenarnya online grocery shopping ini udah dipelopori oleh Happy Fresh. Ever heard of them? Or have you seen their green box set on motorcycles? Pelanggan Happy Fresh tinggal membuka aplikasi, berbelanja lalu menyelesaikan transaksi disitu. Dan dalam hitungan menit hingga 1 jam, belanjaan sudah sampai di rumah. Praktis bukan? Cek lemari es, buat list apa-apa saja yang sudah habis, lalu buka aplikasi di smartphone, bayar, dan produk grocery, termasuk produk fresh (yang dipilih secera khusus oleh professional shopper atau petugas toko), and the stock is fulfilled. Namun lagi-lagi, untuk online grocery shopping ini, Happy Fresh ataupun pesaingnya sesama start up, Honestbee, harus terus ‘bakar uang’ untuk edukasi dan membiasakan pelanggan. Keempat? Gerai modern trade sebagai returning point. Belanja di toko online mereka, lalu saat dikirimkan ada beberapa barang yang tidak sesuai pesanan dan harapan? Tinggal lapor ke petugas customer care (by phone, aplikasi instant messenger, e-mail, dll) dan produk yang tidak sesuai harapan dapat dikembalikan dan ditukar yang baru (fresh). Dalam konsep O2O ini ada satu istilah, yaitu BA-FA-RA, atau buy anywhere – fulfill anywhere – return anywhere.
Retailer pun kini bertransformasi. Bukan hanya menyediakan tempat yang nyaman untuk berbelanja (seperti Transmart Carrefour), namun juga menyediakan extra service untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan. Keinginan untuk mendapatkan kenyamanan dan kemudahan extra, dan memenuhi kebutuhan mereka. Disaat pelanggan menginginkannya. On demand! Prinsipnya: Those whom willing to go extra miles in giving their customer extra smiles will sustain longer. Kini bisa dilihat kalau hampir semua retailer membuka layanan belanja online, yang kebanyakan masih dianggap sebagai perpanjangan dari toko offline-nya. Sekedar ada, sekedar hadir, sekedar melengkapi. Namun belum saya lihat retailer yang benar-benar membuat toko online-nya bisa membuat pelanggannya mendapatkan pengalaman yang wow! “Well, kalau sekedar ngasih diskon apa bedanya dengan toko sebelah?”, ujar seorang teman saya suatu saat. Padahal bisa jadi suatu saat, para retailer hanya membuka 1-2 toko saja di satu kota (tidak perlu buka per kecamatan), dan ditunjang dengan aplikasi yang dapat mendukung, 1-2 toko tadi bisa menjadi tools buat retailer untuk melayani kebutuhan on demand para pelanggannya lewat konsep O2O tadi; selling-stock keeping-deliver-pick up-return-order.
Pertanyannya, apakah retailer suatu saat akan menghapus sebagian hingga hampir semua gerai offline-nya? Saya pikir tidak. Tidak semua pelanggan suka berbelanja via online. Masih ada (dan akan selalu ada) pelanggan yang suka memegang barang belanjaannya untuk memastikan kualitas dan kesegarannya, masih ada yang menganggap belanja sebagai bagian dari rekreasi, masih ada pelanggan yang late adopter dalam konteks teknologi-lebih suka manual/analog, dan berinteraksi dengan sales promotion girl atau staf toko untuk bertanya apapun saat berbelanja. Atau seperti saya, saya browsing secara offline dulu. Misalnya saat saya mencari sepatu lari yang enak, saya akan mencoba masing-masing merek sepatu yang saya incar di toko alat-alat olah raga, agar ukuran sepatu dapat saya ketahui dengan pasti. Ini saya lakukan karena masing-masing sepatu lari punya standar ukuran yang berbeda-beda. Merek Asics saya bisa pakai size 44, namun di merek Hoka One One saya bisa pakai size 45 atau lebih. Dengan demikian, saat sepatu yang saya incar sedang dipromosikan secara online, saya langsung mencari apakah ukuran saya available atau tidak. I do browse offline, and I sometimes buy it online.
Dan kemudian muncullah Amazon Go, offline store dari Amazon.com yang memungkinkan kita berbelanja dalam toko hanya dengan menggunakan aplikasi Amazon, dimana saat kita ambil produk yang kita inginkan, secara otomatis cart di akun kita akan terisi produk tersebut. Pun, kita melakukan pembayaran atas barang belanjaan kita secara online. Jadi hanya diperlukan tap smartphone kita (via QR code) di sebuah reader saat masuk dan keluar toko, tanpa harus mengantre bayar di kasir. Semuanya bisa dilakukan sendiri, tanpa bantuan manusia. Coba cek video-nya dibawah ini:
Retailer company bertransformasi. Consumer goods company (dan mungkin industri lainnya juga) bertransformasi dengan membuka online selling channel, yang entah sudah diperlakukan secara serius sebagai selling channel, atau sekedar nice thing to have, hanya sekedar membuat mereka terlihat bagus di mata konsumen dan pesaing. Yang mengelola online business-nya secara serius mulai mempertimbangkan membentuk jalur distribusi langsung ke konsumen, memotong biaya dan waktu dalam jalur distribusi itu, mengurangi biaya penyimpanan produk (warehousing cost), dimana dari produsen langsung dapat mengirimkan ke konsumen, on demand. Meskipun akan memiliki dampak terhadap pengurangan tenaga kerja (salesman, merchandiser, driver-dropper-dan sebagainya) yang melakukan pekerjaan yang bersifat repetitif. Namun sisi baiknya, cash flow perusahaan jadi lebih baik. Kenapa?Karena pembayaran dilakukan dengan cara tunai, tidak ada margin (keuntungan) yang harus dibayarkan ke pihak lain (seperti dalam bentuk biaya space rental, rebate, dan biaya-biaya trading term-yang muncul saat hadir di modern market), dan tanpa adanya term of payment (jangka waktu pembayaran) dari modern retailer yang dapat menahan pembayaran hingga minimal 45 hari lamanya.
Lalu bagaimana hubungannya dengan e-hailing dalam skema digital economy? Semua saya bilang saling terkait, saling membesarkan dan menguntungkan. Perlu perusahaan FMCG (non-ditributor) membangun armada delivery man untuk menunjang bisnis on demand ini? Well, kalau didukung daya finansial yang kuat ya sah-sah saja. Namun di era sharing economy ini, bukannya lebih baik berkolaborasi dengan e-hailing company untuk kebutuhan penghantaran pesanan? Karena pola pembeliannya atau order-nya bersifat on demand, agak buang-buang uang juga untuk meng-hire tenaga pengiriman. On demand order better be fulfilled with on demand delivery. Manfaatkan saja jasa e-hailing company seperti GO-JEK, GRAB, UBER, dan sejenisnya.
Logistic company pun banyak yang bertransformasi, membuka layanan express delivery. Lewat lini bisnis ini, mereka tidak lagi membatasi diri untuk memenuhi pesanan pengiriman dalam jumlah besar, namun mereka juga (harus bisa) memenuhi pesanan penghantaran dalam jumlah kecil (ons, gram, kilogram, dan lain-lain). Kenapa?Karena pasarnya ada, dan terus berkembang. E-commerce company membutuhkan armada logistik (skala besar-via mobil hingga truk) dan terutama armada express (skala kecil-via sepeda motor) untuk menghantarkan pesanan pelangannya di hari yang sama. Bisa dilihat di beberapa e-commerce company besar; Tokopedia, Blibli, Lazada, dan Zalora sudah membuka opsi pengiriman produk ya lewat GO-JEK (GO-SEND) dan Ninja Express. Apalagi kalau pelanggan tersebut memesan makanan/minuman yang ia lihat di (misalnya) Instagram, lalu ada opsi membeli dan dikirim di hari yang sama lewat Tokopedia. Sangat memudahkan dan memanjakan.
Semua saya lihat bertransformasi ke arah yang sama. Memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Retailer membuka diri terhadap perubahan untuk tetap profitable dan sustainable, fast moving consumer goods membuka online channel untuk memperkaya selling channel-nya, logistic company membuka lini express delivery untuk memenuhi keinginan pelanggan yang memesan produk dalam jumlah dan ukuran kecil untuk dikirimkan di hari yang sama, e-hailing company hadir untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang belum bisa dipenuhi sebelumnya, sehingga perusahaan semacam GO-JEK, GRAB, dan UBER hadir sebagai solusi. Semua industri tadi saling terkoneksi, saling membutuhkan, dan semuanya ingin tetap survive-sustain-profitable dalam bisnisnya masing-masing. Dan bisa disimpulkan bahwa industri-industri yang terkait diatas hadir dan memperbaiki diri untuk lebih consumer-centric. Disini, kita lihat pergeseran yang terjadi, benar-benar terjadi. Dari business centric ke consumer-centric, karena memang tidak ada pilihan lain.
Referensi :
- Benarkah Daya Beli Masyarakat Turun? (www.kumparan.com)
- Daya Beli Terpuruk, Tetapi Jalan Semakin Macet (www.budiisman.com)
- Penjualan Indomaret dan Sari Roti Tumbuh Melambat, KFC Tetap Stabil (www.katadata.co.id)
- Daya Beli Terpuruk, Tetapi Jalan Semakin Macet (www.ekonomi.kompas.com)
One Comment Add yours