Pontianak Trip, The First Ever (Bagian 3)

Hari Senin pagi dan masih cuti. Nikmat apa lagi yang kau dustakan? 🙂
Semalam sebelumnya, sepulang dari kota Singkawang, sayup-sayup saya dengar dari kamar perbincangan dua kakak beradik, Lauren dan Okta; “Besok oom Yoga mau ngopi ke A Siang ya bang, jam 5 katanya? “

“Hah?! Jam 5 pagi? Udah buka itu warung kopi jam segitu?” tanya saya.

Ternyata warung kopi di Jalan Merapi-Pontianak yang sudah melegenda ini sudah mulai buka pukul 03.00 WIB. “Mulai bersiap-siap buka lah, oom”, kata Okta. Koh A Siang (alias Yohanes Fendi, 62 tahun), pemilik warung kopi merangkap barista utama kedai, mulai meracik kopi sejak sebelum subuh dan istirahat (tutup) sekitar pukul 13.00 WIB. Legenda artinya kondang, kondang artinya ramai dikunjungi penikmat kopinya. Uniknya, Koh A Siang ini selalu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek saat meracik tiap minuman yang dipesan pengunjungnya. Ada candaan kalau kopi A Siang terasa enak karena tetesan keringatnya 🙂

Senin, 10 Juli 2017 (06.29 WIB)

Warung Kopi A Siang, Pontianak

Warung Kopi A Siang, Pontianak
Warung Kopi A Siang, Pontianak
Warung Kopi A Siang, Pontianak
Warung Kopi A Siang, Pontianak

Tapi believe it or not, minuman racikan beliau ini memang enak. Serius! Entah itu kopi susu atau kopi hitam, atau sekedar teh manis atau teh tarik hangat. Sebagai teman minum kopi, di kedai ini juga disediakan aneka jajanan khas Pontianak atau jajanan umum lainnya. Yang disajikan di meja kami ada getuk lindri (dua macam, dengan kelapa parut dan tanpa kelapa parut), roti isi, dadar gulung, tart susu (pinggirannya renyah dan manis legit). Ny. A Siang sendiri yang melayani menyajikan kue-kue teman minum kopi ini. Selain dibantu istrinya, Koh A Siang juga dibantu oleh anak laki-lakinya. Meskipun terbilang sudah terkenal, namun mereka masih menjaga keramahan dalam pelayanan mereka.

Saya perhatikan memang habit orang-orang Pontianak (termasuk di beberapa daerah lainnya), suka dengan kegiatan ngobrol tentang apapun sambil minum kopi. Saya juga perhatikan beberapa pebisnis juga melakukan diskusi bisnisnya di warung kopi ini. Konon di warung kopi ini, penggemarnya sangat beragam. Mulai dari gubernur, politisi, pejabat daerah, pebisnis, atau hanya sekedar pekerja-pegawai biasa. It’s like a melting pot, where everybody can simply just sit and have a nice chit chat over coffee or tea. Nice!

(Selain Warung Kopi A Siang yang hanya satu-satunya ini, di Kota Pontianak ada juga Warung Kopi Aming yang juga tak kalah terkenal dan punya cabang cukup banyak, dan buka sampai malam. Dan tak lupa saya berterima kasih untuk Filipus Mei Diaz Prabowo buat traktirannya!)

Sarapan? Bolehlah coba Kue Kia Theng 899 di seberang warung kopi ini. Apa itu kue kia theng? Jadi makanan khas Pontianak ini berupa potongan/irisan daging dan jerohan babi, telor rebus, dan rice noodles lebar yang disiram kuah kaldu kecoklatan (seperti semur, dominan kecap manis) dengan taburan kacang kedelai rebus, lengkap dengan irisan daun seledri. Saya coba pesan 2 porsi untuk saya dan istri, dan 1 porsi lagi untuk orang tua saya, yang kebetulan duduk berhadapan.

Kue Kia Theng Merapi 899, Pontianak
Kue Kia Theng Merapi 899, Pontianak
Kue Kia Theng Merapi 899, Pontianak

Such a tasty porky dish! Delicious one, I must say. Baru pertama kali mencoba masakan ini, dan langsung suka. Kuah kaldu kecoklatannya yang ringan tidak hanya berasa kecap manis, namun juga ada bumbu dan rempah-rempah lain. Daging yang diberikan dalam 1 porsi juga banyak banget, itu sebabnya kami pesan 1 porsi untuk berdua. Harga 1 porsi kue kia theng komplit dibanderol Rp23.000,- saja, dan boleh dibawa masuk ke area warung kopi A Siang.

Senin, 10 Juli 2017 (08.21 WIB)

Setelah selasai acara ngopi dan sarapan kami selesai (12 orang), kami memisahkan diri karena tidak langsung pulang, tapi mampir ke Pasar Flamboyan (wet market terbesar di kota ini), dan belanja oleh-oleh di Kaisar Supermarket. Oleh-oleh yang kami buru adalah jajanan (makanan-minuman) buatan luar negeri (Malaysia dan sekitarnya), yang tidak ada di Jakarta, yang kabarnya enak-enak. “Milo buatan Malaysia rasanya lebih enak dibanding Milo buatan Indonesia, Yog!”, kata mbak Uding suatu saat. Supermarket lokal yang sudah lama berdiri ini ada tepat di seberang Geraja Katedral Santo Yosep, yang terlihat sangat megah.

Kaisar Supermarket, seberang Gereja Katedral Santo Yosep-Pontianak

Kota Pontianak ini sudah cukup maju sebenarnya, terbukti dengan adanya Ayani Mega Mall, pusat perbelanjaan terbesar, dimana sudah ada tenant-tenant global (Starbucks Coffee, KFC), Studio XXI, J.Co, Matahari Department Store, dan Hypermart. Not bad!

Senin, 10 Juli 2017 (09.19 WIB)

Salah satu tujuan saya mengajak orang tua (terutama ibu saya) ke kota ini adalah untuk bernostalgia dengan segala kenangan masa kecilnya disini. Sejak usia SD, beliau tinggal di kota ini dan kembali ke Kota Malang saat SMA. Masa kecilnya banyak dihabiskan di daerah Kotabaru, suatu kelurahan di tengah kota Pontianak. Saya sempatkan untuk berjalan-jalan sebentar mengelilingi daerah ini, melihat-lihat lokasi yang dulu jadi lokasi SD beliau (yang sedang direnovasi sehingga tidak terlihat bangunan aslinya seperti apa), dan mampir ke Perumahan Purnama, ke rumah pakde-bude saya (almarhum), salah satu rumah bersejarah. Namun sebelumnya, dekat Kantor Dinas Sosial dan Gereka Keluarga Kudus, kami mampir ke rumah sahabat ibu dulu sejak SD dan SMP, tepatnya di Jalan Seram 2.

Rumah tua Jalan Seram 2, Pontianak

Jujur sih, rumah yang ditinggali sahabat ibu saya ini rumah yang terlihat pas untuk ‘uka-uka’ alias uji nyali. Cukup spooky dari luar, dan terlihat masih asli saat saya masuk ke dalamnya. Beruntung yang empunya rumah ada saat ibu mengetuk pintu pagarnya, dan menyambut hangat kami semua. Saya lupa siapa nama beliau, si pemilik rumah ini, yang terlihat seperti orang dari etnis Tionghoa, namun ternyata beliau ini orang Jawa asli. Dari obrolan kami, saya yakin bisa mengobat sedikit kerinduan akan lingkungan masa kecilnya.

Rumah tua Jalan Seram 2, Pontianak
Rumah tua Jalan Seram 2, Pontianak

Senin, 10 Juli 2017 (09.51 WIB)

Sepulang dari Jalan Seram, kami mampir ke rumah keluarga di Perumahan Purnama, tempat dimana almarhumah kakak perempuan dari ibu saya, bude Edeltrudis Siti Rochmah dulu tinggal dengan keluarga besarnya. Rumah yang temboknya di cat kuning itu terletak pas di sudut jalan, tepat di depan mesjid. Sampai sekarang rumah ini masih terawat dan ditinggali oleh sepupu-sepupu dan keponakan-keponakan saya. Nampak di samping rumah, mobil Suzuki kesayangan almarhum pakde FX. Winarno, yang sayang sekali sudah tidak terawat. Menurut kakak sepupu saya, mobil tersebut sebenarnya masih OK kondisinya. Tinggal dibereskan, sudah bisa jalan kembali. A legacy must be preserved, I said to myself.

Rumah keluarga di Perumahan Purnama, Pontianak
Rumah keluarga di Perumahan Purnama, Pontianak

Hari itu saya kembali merasakan masakan rumah, masakan ibu saya di kota ini. Dari hasil belanja kami di Pasar Basah Flamboyan tadi, kami dapat sotong (cumi-cumi, 1kg hanya Rp45.000,-), sosis babi (hanya Rp100.000,-/kg), kelapa parut dan daging sapi yang kemudian diolah menjadi serundeng (masakan dari parutan kelapa yang disangrai dan dibumbui, dengan tambahan daging sapi). Merasakan kembali masakan yang biasa saya makan di Kota Malang saat pulang kampung. Makan siang yang istimewa!

Senin, 10 Juli 2017 (20.33 WIB)

Nah! Bagaimana dengan makan malam? Kuetiaw dan nasi ayam/campur yang jadi pilihan, dan tidak mungkin kami lewatkan (karena besok sore sudah harus kembali ke Jakarta). Pilihan kami sebenarnya jatuh pada Nasi Ayam Afu di Jalan Gajah Mada, yang sayang sekali sudah tutup. Tapi tenang, masih ada pilihan kedua, yaitu Nasi Ayam Joni (rekomendasi Lauren-keponakan saya), yang terletak tidak jauh, hanya satu deret saja. Sebelumnya kami membeli kuetiaw goreng babi (mie tiaw-sebutan orang Pontianak) di tempat lain, karena kedai nasi ayam tidak menyajikan masakan seperti kuetiaw tentunya. Dari hasil tanya sana sini, munculah rekomendasi Kuetiaw Hong Tian, Jalan H. Abbas, yang ternyata menurut kokoh-nya, kedai Chinese food ini juga buka di kawasan Pademangan, Jakarta Utara. “Bolehlah coba main kesana, sama aja koq rasanya”, demikian kokoh peracik kuetiaw mempersilahkan.

Chinese Food Hong Tian, Jalan Haji Abbas
Chinese Food Hong Tian, Jalan Haji Abbas

Senin, 10 Juli 2017 (20.45 WIB)

Jalan Gajah Mada ini merupakan surganya kuliner non-halal, meskipun bisa juga kita temui kuliner halal yang tak kalah lezatnya. Nasi ayam (yang sebenarnya kandungan ayamnya hanya sedikit saja, didominasi olahan daging babi) disebut juga nasi campur, karena banyak dan beragamnya lauk yang disajikan diatas nasi putih hangat. Isi dari nasi ayam ini antara lain: daging babi masak merah, sosis babi, sayur asin, telor semur setengah, mentimun, dan 1 potong ayam/babi kecap. Nasi yang disajikan bukan nasi hainam seperti yang sering saya coba di Jakarta atau Bekasi, namun hanya nasi putih biasa. Irisan sio bak/daging babi panggang pun tidak saya temukan. Dan diatas nasi campur komplit tadi, tak lupa diberi siraman kuah kental khas nasi campur. Enak!

Sebagai pilihan lain, mereka juga menyediakan nasi kari, yang kebanyakan didominasi masakan ayam dengan bumbu kari, dan beberapa macam sayuran. Untuk satu porsi besar nasi ayam ini dihargai Rp24.000,- saja, dengan segelas es liah teh Rp3.000,- saja. Di depan kedai Nasi Ayam Joni ini juga dijual kwe chap, yaitu sejenis bakmi yang bertekstur sangat lembut seperti bubur, yang disajikan dengan kuah gurih dan kerupuk kulit babi di dalamnya.

Nasi Ayam Joni, Jalan Gajah Mada-Pontianak
Nasi Ayam Joni, Jalan Gajah Mada-Pontianak

Senin, 10 Juli 2017 (21.21 WIB)

Sebelum pulang, harus kunjungi lagi satu lokasi di kota ini, another city landmark. Dan secara random pilihan jatuh pada Taman Alun Kapuas. Alun-alun yang terletak di Jalan Rahadi Usman ini konon kabarnya sempat jadi lokasi prostitusi sebelum dirombak, dirapihkan, diberikan fasilitas parkir modern, dan ditutup pada pukul 22.00 WIB. Lahan parkir mobil sebenarnya terbatas, namun saat kami masuk pukul 21.15 WIB alun-alun/taman kota yang terletak tepat di pinggir sungai Kapuas ini sudah mulai kosong.

Taman yang tidak terlalu  besar ini cukup ramai dikunjungi warga kota di malam hari, dengan dekorasi lampu di beberapa tempat cenderung membuatnya romantis. Setelah melangkah masuk ke dalam taman, kami menemukan perahu-perahu kecil yang ternyata untuk berjualan makanan dan minuman, dan kapal berukuran sedang dengan dekorasi lampu di lantai 1 dan 2, dengan perlengkapan masak di lantai 1, yang ternyata dapat dinaiki untuk berkeliling menyusuri Sungai Kapuas. Harga per orang untuk naik kapal wisata ini cukup murah, Rp15.000,- saja. Penumpang perahu bisa juga memesan makanan ringan dan minuman hangat untuk menemani perjalanan wisata mereka langsung di dapur lantai 1, atau lewat waitress.

Taman Alun Kapuas, Pontianak

Tanpa pikir panjang, kami pun naik perahu wisata tersebut. “Buat pengalaman lah, mumpung di Pontianak”, ujar saya. Karena ingin pemandangan yang bebas dan luas, kami memilih duduk-duduk lantai 2 perahu wisata, mumpung cuaca sedang cerah. Tidak lama setelah kami duduk, perahu pun berangkat menyusuri Sungai Kapuas yang lebarnya sekitar 250 meter dan kedalaman 20 meter tersebut. Sempat saya coba bandingkan pengalaman menyusuri sungai saat itu, dengan pengalaman menyusuri Singapore river yang saya dan istri lakukan beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya bisa-bisa saja pemerintah kita menjadikan sungai yang merupakan salah satu urat nadi perekonomian dan transportasi Propinsi Kalimantan Barat ini sebersih dan secantik sungai di negara tetangga, tapi… Ah sudahlah! Pasti kembalinya ke masalah mental. Mental tidak buang sampah sembarangan , mental menghargai kebersihan dan menjaga lingkungan hidup, mental menghargai orang lain, mental disiplin, dan bla bla bla.. 😮

Kapal wisata Sungai Kapuas
Kapal wisata Sungai Kapuas
Kapal wisata Sungai Kapuas

Di kejauhan, dari sisi kiri kapal wisata, terlihat masjid Jami’ Pontianak dan beberapa meriam besar yang dibunyikan saat bulan Ramadhan. Terbayang riuhnya suasana pinggir Sungai Kapuas saat meriam-meriam besar tersebut dinyalakan 🙂 Perjalanan dengan kapal wisata cukup lama sebenarnya. Setelah berjalan sekitar 30-45 menit, tepat setelah melintasi bawah Jembatan Sungai Kapuas, kapal wisata kami pun berputar arah kembali ke Taman Alun Kapuas. Pengalaman ini saya pikir sebanding koq dengan biaya yang harus dikeluarkan, lebih malah 🙂

Jembatan Sungai Kapuas
Jembatan Sungai Kapuas

Dan untungnya kami mengiyakan ajakan naik perahu wisata tersebut, karena ternyata perjalanan melintasi Sungai Kapuas tersebut adalah yang terakhir untuk hari itu. Rasanya cukup pengalaman hari Senin, 10 Juli 2017 itu berkeliling kota Pontianak, untuk tidak hanya  berwisata, namun juga napak tilas sejarah keluarga, terutama mengenang masa kecil ibu saya bersama-sama.

Simak cerita saya di Pontianak di hari pertama dan hari kedua, juga cerita saya di hari keempat #PontianakTrip disini.

 

Referensi tambahan:

  1. Warung Kopi Asiang, Inilah Penjual Kopi Tanpa Baju.. (travel.kompas.com)
  2. Tiga Kedai Kopi Rekomendasi di Kota Pontianak (minumkopi.com)
  3. Kopi A Siang, Hanya Pagi Sampai Siang (efenerr.com)
  4. Kwe Kia Theng 899 (wisatakulinerpontianak.wordpress.com)
  5. MENGUNJUNGI SI CANTIK PASAR FLAMBOYAN (atemalem.com)

3 Comments Add yours

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s