Digital Marketing And Social Media Conference 2016 (A Late Review-Bagian 1)

Ini adalah keikutsertaan saya yang ketiga kalinya di seminar yang diselenggarakan oleh Marketing Academy, bagian dari Frontier Consulting, holding company yang menaungi Majalah Marketing dan beberapa perusahaan lainnya. Seminar yang saya ikuti, saya saya ajukan ke perusahaan memang tidak pernah jauh-jauh dari dunia digital marketing. Saluran komunikasi pemasaran yang pada prinsipnya sama saja, menghubungkan brand dengan audience-nya lewat media digital untuk penyampaian pesan yang tidak berhenti di satu titik saja, creating awareness (attention), namun lebih jauh menciptakan engagement dan acquisition (change of behavior). Hal yang paling jauh membedakan digital marketing dengan non-digital marketing adalah kemampuannya untuk diukur, dari sejak pesan disampaikan ke target audience (sales leads), audience yang melihat iklan lalu klik link iklan dan masuk ke website (click through), kemudian melakukan sesuatu-melihat-lihat halaman demi halaman di website hingga mendaftar/sign-up menjadi member (engagement), dan pada akhirnya melakukan pembelian dan mengulang melakukan pembelian di kemudian hari (purchase-repurchase).

Di digital marketing ini pula, kita mengenal istilah ZMOT, atau zero moment of truth, yaitu saat dimana calon konsumen berinteraksi pertama kali dengan brand lewat virtual touch points, tanpa memegang-meraba-menyentuh langsung produk yang dijual, yaitu lewat internet. Sebelum pembelian, kita mengenal adanya istilah ZMOT. Lalu bagaimana setelah terjadi pembelian dan konsumsi? Kita juga mengenal istilah UMOT, atau ultimate moment of truth. Saat dimana konsumen membagikan ke jejaring online-nya, pengalaman dengan brand yang dimaksud dengan menceritakan apa yang dirasakan-didapatkan setelah mencoba membeli kemudian mencoba mengkonsumsi produk dari brand yang dimaksud. Apakah kesan yang didapatkan positif (puas), biasa saja (netral), atau bahkan tidak puas (negatif). Informasi yang dibagikan lewat media sosial dan digital platform lainnya akan menjadi informasi yang bisa diakses calon konsumen lainnya sebagai ZMOT.

Nah, secara lengkapnya path to purchase ZMOT yang dikenalkan oleh Aichner dari Google ini dapat diuraikan sebagai berikut: Stimulus-ZMOT-FMOT (first moment of truth)-SMOT (second moment of truth)-UMOT. Stimulus bisa berupa iklan atau pesan yang disampaikan oleh brand lewat media, online dan offline, atau gabungan dari keduanya. FMOT adalah saat dimana konsumen berinteraksi dengan produk dari sebuah brand secara langsung dan mencoba mengkonsumsinya. Sementara SMOT adalah saat dimana konsumen mencoba produk untuk pertama kalinya. Sebelum era digital, ZMOT dan UMOT tidak ada, sehingga bagaimanapun reaksi dan kesan yang diberikan dan didapatkan oleh pelanggan tidak dapat diketahui secara langsung oleh pemilik-pengelola brand. Yang ada hanya Stimulus-FMOT-SMOT saja. Stop.

20161215_083057

Nah, dapat apa saja dari Digital Marketing and Social Media Conference (DMSMC) 15 Desember 2016? Lumayan banyak! Seminar tahun ini mengangkat tema valuasi start-up. Nah, untungnya saya sudah mendapatkan beberapa materi tentang valuasi dan start-up dari seminar e-commerce IESE bulan April 2016 yang lalu. Sehingga istilah-istilah seperti angel investor, unicorn, decacorn, hectocorn, dan beberapa istilah lainnya tidak terlalu asing buat saya untuk mencerna materi yang disampaikan oleh Pak Handi Irawan dari Frontier Consulting (yang kini juga menjadi angel investor untuk beberapa start-up dan mengaku akan mengambil ‘untung’ dari salah satu start-up yang beliau bantu danai siang hari itu), dan dari Pak Antony Liem dari Merah Putih Inc.

20161215_110647
Anthony Liem, Merah Putih Inc.

Unicorn dapat diartikan sebagai start-up company yang memiliki valuasi diatas 1 miliar US$, kebanyakan berasal dari sektor teknologi atau software. Beberapa diantaranya sudah kita kenal dan ada di Indonesia, seperti: Spotify, AirBnB, Uber, dan Go-Jek. Decacorn adalah start-up company yang punya valuasi diatas US$ 10 miliar (Xiaomi dan Snapchat). Sementara hectocorn adalah istilah untuk start-up yang sudah punya valuasi diatas US$100 miliar, seperti Alibaba, Google, Uber, Facebook, Apple, dan Microsoft. Angel investor? Saya ketahui sebagai pihak yang menanamkan investasi ke start-up pemula, dengan menggelontorkan sejumlah dana dari puluhan juta hingga milyaran rupiah, dengan harapan start-up yang didanai bisa menjadi besar dan menghasilkan keuntungan berlipat-lipat. Hal yang biasa dilakukan oleh angel investor sebelum berinvestasi (angel investment) adalah melakukan valuasi atau penentuan nilai start-up yang hendak dibiayai di awal-awal masa berdirinya.

Bagaimana bisa? Sebuah usaha yang mungkin baru saja berdiri bisa menentukan sendiri nilainya sampai milyaran rupiah? It’s the power of idea. Siapa sangka ide Brian Chesky untuk menyewakan properti (rumah, kontrakan, kamar, vila, dan sejenisnya) lewat internet ke siapapun dengan bebas kini sudah menjadi raksasa yang kita kenal dengan nama AirBnB? Siapa sangka ide Nadiem Makariem untuk memfasilitasi ojek dengan aplikasi mobile bukan hanya untuk mengantarkan penumpang dari titik A ke titik B, namun juga untuk memesan-mengantarkan makanan, minuman, belanjaan, obat-obatan, hingga perias kecantikan dan tenaga bersih-bersih rumah tinggal, bisa menjadi perusahaan yang punya nilai diatas US$ 1 billion? Kita kenal perusahaan tersebut dengan nama G0-Jek. Bisa dibayangkan, jika dimasa awal Go-Jek berdiri ada investor yang menanamkan uang Rp 1 miliar, kini setelah Go-Jek menggurita dan meraksasa, berapa nilai investasi itu sekarang? Hmm… Pasti nilainya fantastis!

Nadine Freischlad (techinasia.com - moderator), Nadiem Makarim (GOJEK), Kaneshwaran Avili (Nida Room),
Nadine Freischlad (techinasia.com – moderator), Nadiem Makarim (GOJEK), Kaneshwaran Avili (Nida Room), di Indonesia E-commerce Sumit & Expo 2016.

Lalu apa itu valuasi? Valuasi (pada akhirnya) adalah nilai yang disetujui oleh (early) start-up company dan investor, atas ide atau usaha yang dimiliki. Pada masa-masa awal (early stage/pre-revenue), yang dilihat oleh calon investor pasa sesi-sesi pitching adalah :

  • inovasi ide
  • latar belakang pendiri start-up
  • most viable product quality
  • ukuran target market (apakah target marketnya luas, atau sempit dengan value/purchase besar?)
  • akses ke monetisasi (singkatnya, bagaimana ide tersebut bisa mendulang uang?)

Jadi di tahapan awal start-up ini, yang banyak dibahas lebih banyak dari sisi art/emosional, lebih banyak tentang latar belakang pendiri start-up meyakinkan investor bahwa idenya akan berhasil menjadikan uang yang ditanam tumbuh berkali-kali lipat di kemudian hari. Jika sudah masuk ke tahapan selanjutnya, yaitu post revenue/profit/scaling, yang dibicarakan sudah bukan lagi tentang ‘art’, namun sudah masuk ke ‘science’.

Lalu untuk penutup bagian pertama dari late review saya atas seminar DMSMC 2016 ini, apa itu start-up?

Dari apa yang saya tahu, saya kurang lebih menterjemahkan start-up sebagai usaha baru yang kebanyakan bergerak di sektor teknologi (pengembangan software, dan sejenisnya), yang berawal dari sebuah ide, dimana jika diimplementasikan dapat menjadi jawaban/solusi atas suatu permasalahan. Kita bisa melihat terjemahan saya dari kasus bagaimana Go-Jek bisa menjadi solusi atas beberapa permasalahan, antara lain: menemukan ojek motor (atau taksi mobil plat hitam) saat itu juga tanpa harus menghubungi operator taksi atau berjalan ke pangkalan ojek di pintu gerbang perumahan, pesan makanan/minuman dari manapun dalam radius kilometer tertentu tanpa harus menghubungi resto yang menjual makanan tersebut, mengirimkan paket dari lokasi A ke lokasi B tanpa menghubungi/mendatangi jasa logistik penghantaran paket, dan masih banyak lagi permasalahan yang bisa diselesaikan dengan aplikasi Go-Jek ini.

Namun agar afdol, mari kita baca pengertian start-up dari Eric Ries dari buku “The Lean Startup: How Today’s Entrepreneurs Use Continuous Innovation to Create Radically Successful Businesses (p. 18)” berikut ini:

“The Lean Startup takes its name from the lean manufacturing revolution that Taiichi and Shigeo Shingo are credited with developing at Toyota. Lean thinking is radically altering the way supply chains and production systems are run. Among its tenets are drawing on the knowledge and creativity of individual workers, the shrinking of batch sizes, just-in-time production and inventory control, and an acceleration of cycle times. It taught the world the difference between value-creating activities and waste and showed how to build quality into products from the inside out. Lean Startup adapts these ideas to the context of entrepreneurship, proposing that entrepreneurs judge their progress differently from the way other kinds of ventures do. Lean Startup uses a different unit of progress, called validated learning. With scientific learning as our yardstick, we can discover and eliminate the sources of waste that are plaguing entrepreneurship.”

(to be continued)

 

 

Sumber :

  1. https://studentpreneur.co/blog/dibalik-berdirinya-airbnb-perusahaan-senilai-100-trilliun-rupiah/
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/GO-JEK
  3. https://startupbisnis.com/mempelajari-konsep-lean-startup-customer-development-script/

 

 

One Comment Add yours

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s