Anda bisa membaca postingan saya sebelumnya tentang review DMSMC 2016 bagian 1 disini.
Setelah sesi Pak Anthony Liem, saya berkesempatan mendengarkan presentasi dari Profesor Richardus Eko Indrajit setelah sesi makan siang. Sesi yang sangat berat untuk seorang presenter yang tampil setelah sesi istirahat ini, tak lain karena kantuk yang pasti menyerang dengan agresif setelah menyantap hidangan dari Hotel Ritz Carlton siang itu. Namun yang saya khawatirkan tidak terjadi, malah selama kurang lebih 90 menit sesi presentasi Prof Eko semua seminar participant fokus dengan materi beliau, yang dibawakan dengan sangat passionate, dibumbui dengan celetukan-celetukan jenaka yang cerdas.

No wonder. Beliau adalah seorang profesor, yang kadar keilmuannya mungkin tidak perlu dipertanyakan lagi. Dan sekali lagi apa yang saya lihat mematahkan persepsi dan pandangan saya akan seorang profesor. Maklum, sebagian profesor yang saya temui semasa studi S2 saya punya karakter yang sangat spesifik sehingga bisa saya jadikan suatu hal yang stereotip; killer/galak, full of judgmental, angkuh, memandang anak-anak didiknya sebagai anak-anak kecil yang baru belajar baca, dan terkadang semaunya sendiri. Namun profesor yang satu ini sungguh berbeda.
Masih tentang topik valuasi start-up, beliau membahas hal yang kurang lebih sama dengan Pak Anthony Liem jika bicara tentang valuasi. Antara art dan science, sisi seni dan ilmiah. Sisi ilmiah disampaikan beliau sebagai: “the intellectual and practical activity encompassing the systematic study of the structure and behavior of the physical and natural world through observation and experiment” atau aktivitas intelektual dan praktis yang mengarah pada proses pembelajaran susunan dan perilaku dari dunia secara alami dan fisik lewat pengamatan dan percobaan. Karakter dari science adalah: berwujud nyata, dapat dihitung dan ditingkatkan, rasional, empiris, (memiliki) standar, sistematis, (ada) indikator, dan objektif.
Sedangkan sisi seni diartikan beliau sebagai: “the expression or application of human creative skill and imagination, typically in a visual form such as painting or sculpture, producing works to be appreciated primarily for their beauty or emotional power”, atau wujud atau pengejawantahan keahlian manusia dalam menciptakan atau berkreasi dan berimajinasi, secara tipikal dalam bentuk visual seperti lukisan, pahatan (patung), dan karya lainnya yang dibuat untuk diapresiasi karena kecantikan dan kekuatan emosional didalamnya”.
Karakteristik seni antara lain: tidak dapat diraba (tidak nyata), tidak dapat dihitung, irasional, (berdasarkan) persepsi, kontekstual, abstrak, (berasal dari) imajinasi, kualitatif, dan subjektif (tergantung pada sudut pandang orang pertama).
Sehingga, dalam melakukan valuasi start-up, menilai kira-kira berapa nilai dari investasi yang perlu digelontorkan angel investor, kedua belah pihak perlu menemukan titik keseimbangannya (equilibrium). Yang dipertimbangkan dari sisi ilmiah: Venture Capital Method, Berkus Method, Scorecard Valuation Method, Risk Factor Summation Method, Cost-to-Duplicate, Market Multiple, Discounted Cash Flow, Valuation by Stage, Price earnings, Comparable Transactions Method, Book Value Method, Liquidation Value Method, First Chicago Method, dan sebagainya. Ingin tahu arti dari masing-masing istilah yang bisa membuat lidah dan otak keriting diatas? Google it yourself!:p
Seni! Art! Yang perlu dipertimbangkan dari ujung lainnya dalam mem-valuasi start-up company antara lain: Pragmatic Imagination, Defensible Dream, Down to Earth Business Impact, dan Realistic Assumption.
Menutup sesi valuasi start-up, Prof Eko menyampaikan tiga hal:
- You can not value what you can not describe
- You can not describe what you can not understand
- You can not understand what you can not explain
Atau, (1) kita tidak bisa menilai apa yang tidak bisa kita jelaskan, (2) kita tidak bisa menjelaskan apa yang tidak kita pahami, dan (3) kita tidak bisa memahami apa yang tidak bisa kita jelaskan.
Bang! Sejak saat itu, fix, Profesor Richardus Eko Indrajit adalah role model saya. Beliau bisa mencapai level dimana beliau berada sekarang, beliau bisa menjelaskan hal yang sangat rumit dengan gambang, jelas, dengan sedikit bumbu humor sehingga ada unsur jenaka dalam kelasnya, yang somehow akan saya bawa ke kelas saya saat mengajar kembali nanti. Dan saya juga harus bisa mengikuti jejak beliau (may God listen to my prayer today!).
Setelah sesi beliau, saya dan rekan-rekan muda dari team marketing Campina, Fitria Atria Tirtawidya dan Mustofa Saadji mengikuti tiga presenter lagi, yaitu: paparan logistik A-Z e-commerce dari start-up company aCommerce Indonesia yang dibawakan oleh Pak Donny Wardhana selaku CCO, lalu paparan tentang Customer, Brand, and (lagi-lagi) Valuation dari Pak Hadi Wenas, CEO Mataharimall.com, dan sesi terakhir diisi oleh Pak Henki Prihatna dari Google Indonesia, yang menyajikan Making Meaning From Data.

Saya menutup tulisan ini dengan video dari Amazon Go, pilot project store yang dibuka oleh Amazon.com (that Jeff Bezos’ online book and everything store) di kota Seattle, Amerika Serikat yang menjadi contoh nyata tentang adanya O2O (online to offline) dan online-cashless society. Enjoy!
Sumber: