Karena adanya perkembangan di dunia pemasaran digital, mungkin kita tidak lagi seperti menaiki anak tangga satu per satu. Namun bisa jadi menaiki dua atau tiga anak tangga sekaligus. Kinda taking leap of faith! Kita juga tidak tahu dengan pasti apa yang akan kita temui di ‘ujung anak tangga’, berapa banyak anak tangga yang harus kita lewati, semuanya kadang tidak bisa diprediksi secara pasti. Hari ini perusahaan kita menyatakan belum membutuhkan e-commerce site, namun kurang dari seminggu para c-levels menyatakan bahwa sudah saatnya kita mempunyai toko online atau e-commerce site plus aplikasi mobile-nya untuk menunjang bisnis perusahaan.
Semuanya bisa terjadi dengan sangat cepat.
12 tahun yang lalu, siapa sangka bahwa hari ini akan punya ketergantungan terhadap produk dari perusahaan digital global kelas wahid semacam Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, Snapchat, dan masih banyak lagi, yang merubah cara kita berkomunikasi, dan bahkan merubah dengan sangat drastis cara pengelola merek berkomunikasi dengan para pelanggannya, para pemasoknya, para afiliasi, dan para perantaranya. Semua sangat bergantung dengan sesuatu yang dinamakan aplikasi.
Siapa sangka perusahaan seperti Airbnb, Uber, GrabCar, Go-jek bisa menjadi perusahaan properti dan transportasi tanpa asset. Seriously, multi billion US$ company without keeping assets. Airbnb menjembatani supply dan demand antara mereka yang butuh penginapan (tergantung budget masing-masing), dan mereka yang punya asset lebih yang tidak terpakai; rumah, apartemen, villa, atau sebuah kamar kosong di rumah yang letaknya strategis dekat dengan pusat kota. Semua dijembatani sebuah aplikasi, dimana penyewa berinteraksi terlebih dahulu lewat aplikasi, melihat-membaca review dan testimoni properti yang akan disewa, dan deal! Ini suatu bisnis yang believe it or not yang dimasa depan akan mengganggu kenyamanan raksasa perhotelan 🙂
Go-jek! Saya pernah mengulas tentang layanan e-hailing ini di tulisan saya sebelumnya. Bila berkenan, boleh melihatnya disini atau disini. Dan saya ketahui lewat beberapa artikel dan sempat saya tanyakan langsung ke internal Go-Jek, setelah melewati masa ‘kegelapan dan kekacauan’ dengan demonstrasi besar-besaran sopir taksi Blue Bird tanggal 22 Maret 2016 yang lalu, Blue Bird mengajak Go-Jek untuk bekerjasama dalam pengembangan aplikasinya, layanan taksi online Go-Car. Dimana lewat layanan Go-Car, pelanggan setia taksi Blue Bird kini bisa memesan taksi lewat aplikasi Go-Jek. Langkah besar dan sangat tepat sudah diambil oleh Blue Bird untuk tetap eksis di dalam persaingan bisnis tansportasi. Sejenak kita akan melupakan bagaimana kota Jakarta sempat lumpuh karena aksi demonstrasi blokade jalan oleh ribuan armada taksi biru ini, dan mungkin kita akan melihat bagaimana Blue Bird akan merubah skema bisnisnya dalam melayani pelanggannya, meskipun tanpa memelihara asset sendiri. We’ll see!

Open mindedness is all that matter to survive, to stay relevant, to stay profitable and sustainable!
Dan very soon, jika ini terjadi, mungkin juga kita tidak akan melihat lagi taksi Blue Bird sebagai raksasa besar yang begitu mendominasi, namun sudah teramat lamban, karena sudah dimanjakan sekian lama dengan kenyamanan sebagai market leader di bisnis transportasi. Kita akan melihatnya sebagai perusahaan yang tetap punya legacy dan brand story yang kuat, namun tetap punya sustainability di industri-nya, di pasar yang bergerak demikian sangat cepat. Thanks to internet!
Dan beruntunglah perusahaan non-digital yang mau dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ini, adaptif dari awal dan punya open-minded leaders yang mampu memimpin perubahan di dalam perusahaan. Dari perusahaan manufaktur yang selalu dan terbiasa berkomunikasi lewat media massa-konvensional, menjadi perusahaan yang tahu betul cara berkomunikasi lewat media digital. Perusahaan atau merek yang paham bahwa jumlah fans atau pengikut di media digital bukanlah segala-galanya. Dimana yang dikejar oleh perusahaan bukan hanya impresi saja (berapa yang melihat pesan kita) dan reach (berapa orang yang terjangkau pesan kita) saja, melainkan berapa banyak quality leads yang dihasilkan dari awareness di sales funnel, menjadi konversi di online selling channel-nya.
Artinya, dari media untuk berkomunikasi hingga channel untuk menjual produk (dan juga jasanya), perusahaan ini sudah menggunakan multi-platform dan multi-channel. Dari semula, yang dinamakan target audience adalah siapapun yang bisa melihat, mendengar, dan mengakses media, menjadi mereka yang (misalnya) hanya tinggal di Jabodetabek, berjenis kelamin perempuan, usia 25-35 tahun, SES A-B, bepergian dari rumah ke tempat kerja menggunakan sarana transportasi umum, dan aktif menggunakan media sosial.
It’s targeted communication. And it’s a targeted online selling effort.
Dan karena perkembangan dan pertumbuhan digital pula, perusahaan e-commerce atau online seller manapun tidak perlu lagi berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan logistik-nya, dalam kaitan untuk menghantarkan pesanan ke pelanggan. Yang diperlukan adalah kolaborasi, melengkapi apa yang belum dipunyai dan dibutuhkan dengan apa yang disediakan dan sudah diketahui dengan sangat baik oleh pihak ketiga. As a partner.
Open minded, understanding the changes, and collaboration are keys to succeed in digital.
One Comment Add yours