Mungkin kita sebagai pengguna sebagai pengguna smart phone dan mobile device lainnya tidak sadar betapa tergantungnya kita dengan perangkat tersebut. Coba diingat hari ini saja berapa kali kita melongok, melihat layar warna putih tersebut. Kita mencari tahu apakah ada notifikasi yang masuk, yang kemudian setelah kita cek (baca) notifikasi tersebut, berasal dari posting dengan tagging salah satu teman kita di media sosial Path, yang kemudian sejenak membuat kita tersenyum dan bahkan tertawa.
Dari beberapa sumber (salah satunya dari Milward Brown Ad Reaction 2014 di Indonesia), proporsi kita melihat layar smartphone dibandingkan dengan layar-layar yang lain semakin tinggi. Yup, jika dibandingkan dengan layar TV, laptop, dan tablet untuk mengakses informasi. Somehow, smartphone are kinda attached to our hands and fingers. And it felt awkward nowadays if he don’t have that thing near us. Isn’t it? 🙂
Dari aktivitas-aktivitas online yang kita lakukan lewat gadget kita, mungkin kita tidak menyadari bahwa aktivitas kita yang paling sering terjadi di mobile phone kita (dan juga perangkat gerak dengan koneksi internet lainnya) adalah : BACA. Iya, hampir semua aktivitas kita adalah membaca. Entah itu membaca notifikasi, artikel yang kita dapat setelah browsing website – setelah kita mendarat di halaman pencarian Google, e-mail, melihat online shopping sites, dan bahkan saat bermain games. Membaca jadi kegiatan utama kita saat online. Setuju?
Karena itu, timing yang paling tepat yang harus para pengelola merek dapatkan adalah saat konsumen mereka mencari dan membaca artikel. Di bagian kedua ini kita tidak bahas dulu tentang targeting, atau bagaimana advertiser memaksimalkan komunikasi berbayarnya agar pesan sampai ke calon konsumen atau konsumen potensial sehingga besar kemungkinan terjadinya engagement atau action lain yang dikehendaki bisa didapatkan. Yang kita bahas adalah bagaimana merek dan pengiklan bisa mendapatkan perhatian audience atau bahkan targeted audience-nya ditengah persaingan dengan merek dan pengiklan yang lain. Yang membuat tampilan suatu website, misalnya sebuah portal berita lebih banyak terlihat space untuk iklan dibandingkan dengan space untuk konten beritanya sendiri.
Kini, para pengakses berita online seolah-olah sudah hafal dimana posisi-posisi strategis yang biasa digunakan untuk iklan. Di bagian paling atas halaman, samping kiri dan kanan, dan juga di bagian bawah. Otomatis pengakses artikel online akan memperhatikan (baca : mengarahkan matanya) ke titik-titik dimana berita itu biasanya berada. Mata audience akan cenderung skip lokasi-lokasi dimana iklan biasa dipasang. Buat pengelola merek yang pasang iklan banner di website ini tentunya akan rugi. Bagaimana tidak, iklan hanya dilihat (sampai di level exposed atau jadi impression) saja. Di-klik? Belum tentu. Tergantung seberapa appealing-nya copy dan image yang ada di iklan banner/display tersebut. Dan belum membahas gaya membaca netizen yang tidak akan membaca kata-per kata, nau cenderung hanya scanning (membaca sekilas) saja.
Lalu apa yang harus merek dan pengiklan lakukan?
Well, mereka ada pilihan menggunakan native ads atau branded content. Sekali lagi, memanfaatkan moment dimana mereka mencari dan membaca artikel, dan brand bisa tap in, menyampaikan pesannya lewat artikel dan iklan yang menyerupai konten-konten artikel/berita yang ada di sekitarnya.
Apa itu native ads? Native ads bisa diartikan sebagai suatu jenis iklan online yang terlihat menyerupai bentuk dan fungsi dari platform dimana iklan tersebut dipasang. Di berbagai kasus, native ads yang lazim juga disebut sebagai sponsored content, dapat berbentuk seperti artikel atau video, dibuat oleh pengiklan dengan maksud yang jelas, yaitu untuk mempromosikan produk. Atau bisa juga diartikan sebagai bentuk media berbayar dimana ads experience menyesuaikan dengan bentuk alami media yang dilihat atau dirasakan oleh audience (user experience). Kita bisa juga menyebutnya sebagai ‘iklan bunglon’. Misalnya apabila halaman portal berita tersebut menggunakan image sebagai icon artikel-artikel-nya, maka native ads akan tampil selayaknya salah satu berita atau artikel di portal berita. Sehingga pembaca tidak menyadari bahwa berita yang ia klik adalah iklan dari suatu merek tertentu. Setelah di-klik, akan langsung diarahkan ke landing page atau halaman tertentu dimana audience diharapkan melakukan action.

Jika kita lihat di gambar diatas, maka native ads bisa menyerupai artikel yang ada di masing-masing media online tersebut. Jika artikel menggunakan image, maka native ads akan tampil selayaknya artikel yang lain. Tidak ada bedanya dengan artikel-artikel yang lain. Namun jika native ads muncul di portal berita dimana artikel tampil tanpa image, sehingga sekilas akan tampil sama halnya dengan artikel. Sehingga kemungkinan native ads di-klik dibandingkan iklan banner akan lebih besar.
Nah, bagaimana dengan branded content?
Branded content dapat diartikan sebagai salah satu bentuk iklan online yang menggunakan konten atau artikel yang dibuat untuk mempromosikan merek, yang khusus dibuat untuk merek tersebut. Branded content ini seringkali digunakan dalam native marketing, dimana di beberapa bagian mempunyai kemiripan dalam penampilan dengan content marketing, meskipun berbeda dalam teknik penyampaiannya. Lain dengan embedded marketing dimana pesan merek dimasukkan dalam konten artikel, dalam branded content, konten dimasukkan ke dalam merek.
Misalnya, artikel di halaman http://www.fimela.com berjudul : “Setiap Hari Senin, 5 Ritual Kecantikan Ini Wajib Kamu Lakukan! Sekilas nampak seperti artikel kecantikan biasa, namun jika kita (well, jelas bahwa ‘artikel’ ini ditujukan untuk kaum hawa, yang dibuat lebih appealing dengan bentuk tips yang bermanfaat) klik dan baca artikel ini, akan muncul produk yang disarankan untuk ritual kecantikan di hari Senin ini, dengan penyebutan merek, jenis produk, dan sebagainya. Dengan membaca artikel ini, selain pembaca mendapatkan informasi yang bermanfaat tentang kecantikan, begitu sampai pada tulisan tentang produk dan merek yang dimaksud, benak pembaca akan mengasosiasikan image ‘tetap cantik’ dengan produk tadi. Jadi artikel-artikel yang dibuat khusus untuk merek ini juga sangat membantu usaha optimasi keyword atau kata kunci di mesin pencari (misalnya Google), sehingga kata-kata kuci yang dimaksud akan diasosiasikan dengan merek yang dimaksud.
Buat pengelola merek, punya ratusan atau bahkan ribuan artikel branded content yang tersebar di jaringan portal berita online jelas menguntungkan. Karena selain meningkatkan searchability merek dan produknya, branded content bisa meningkatkan juga positioning produk dan merek atas satu tag line, dengan sering menyebut kata kunci tersebut di dalam artikel-artikel branded content. Misalnya : sebuah produses es krim menerapkan strategi SEO dengan branded content ini, dengan membuat artikel dengan kata kunci ‘es krim asli Indonesia’.
Antara native ads dan branded content ini punya kelebihan masing-masing. Keduanya sama-sama berbayar. Native ads sama halnya dengan beriklan di Google, seperti halnya display network (banner) dan adwords (iklan baris). Dan branded content membutuhkan media untuk penyampaian atau atribusi konten, dan bisa difokuskan ke beberapa segmen konsumen atau pembaca saja. Hanya saja, native ads cenderung bersifat short term (ada keterbatasan pada biaya per click), sedangkan branded content bisa berlangsung efeknya lebih lama karena artikel akan tersimpan dan akan tetap muncul saat pengguna internet mencarinya lewat kata kunci di kolom search.
Menggunakan kombinasi dari keduanya dalam strategi komunikasi tentunya akan sangat baik, namun bila harus memilih salah satu, anda akan pilih native ads atau branded content? 🙂