Sudut Pandang Digital Marketing #1 : Cukup Create Awareness Saja atau Sampai Create Online Sales?

Sebenarnya kejadian ini sudah agak lama terjadi, tanggal 6 April 2016 yang lalu di salah satu sudut Bale Pare-Kota Baru Parahyangan, saat saya bertemu dengan Pak Lucas Miraldi, owner dari digital agency klik-web (web master, web developer) di kota Bandung, seorang yang saya anggap jago di digital marketing. Kami partner, saya dari korporasi dan beliau dari digital agency, namun kadang seperti guru dan murid.

Bagaimana tidak?

Beliau banyak mengajarkan saya tentang dunia pemasaran berbasis media digital ini. Sebenarnya hubungan client-digital agency ini sungguh sama-sama menguntungkan. Di satu sisi, saya sebagai orang korporasi dan seorang pembelajar di bidang pemasaran (dan segala aspek yang melekat di dalamnya, termasuk media tempat bicara dengan audience – pelanggan/konsumen), saya banyak mendapatkan banyak ilmu. Yang sangat applicable ke dunia yang saya geluti sekarang ini.  Dan di sisi yang lain, Pak Lucas mendapatkan keuntungan dengan adanya orang di dalam sebuah korporasi, yang belajar menangani digital channel-nya secara in house, dan mendapatkan ‘mainan’ baru berupa e-commerce website, untuk kemudian dikembangkan menjadi sebuah selling channel yang secara strategis akan dipikirkan dan dipersiapkan untuk menjadi tulang punggung penjualan sebuah korporasi. Ide apapun (fresh and new ones) akan cepat dimengerti dan menjadi new project untuk dieksekusi.

 

Meraki

 

No kidding, tulang punggung penjualan!

Kembali mengulik di sisi Pak Lucas Miraldi atau digital agency tadi, butuh orang yang ada di dalam korporasi yang bisa membantu ‘menularkan’ pengetahuan dan wawasan tentang digital marketing ini ke internal perusahaan, ke pemangku kepentingan dan pengambil keputusan. Yang unfortunately, kebanyakan dari pengambil keputusan ini saat ini masih digital migrant, or worseNon-digital people. Honestly, I imagine them as dinosaurs with short existence of time, whom no longer has relevant knowledge and not quite fast enough to make themselves relevant among those buzzing youth! Well, it’s all about people with different point of view, actually.

Yang masih mendewakan media komunikasi massa – offline. Secara sederhana, orang yang berada dalam korporasi tadi, yang menjalankan operational day to day  digital channel perusahaan, bila mengerti betul apa yang dikerjakannya, apa resikonya, apa yang menjadi barriers dan bagaimana mengatasi barriers-obstacles tadi, akan jadi persuader ke para pengambil keputusan. Para pengambil keputusan (CEO, CMO, and other C-levels) yang kebanyakan saat ini kurang paham dengan hal-hal yang berbau digital harus dibuat yakin dengan apa yang akan dilakukan. Mereka harus well informed akan KPI (key performance indicator) apa saja yang harus dicapai, agar campaign atau activation yang dilakukan dapat dikategorikan berhasil.

KPI-KPI ini biasanya berupa :

  1. Pertumbuhan fans-followers – KPI ini adalah ukuran yang saya anggap sudah purba. Kenapa? Kita bisa dapatkan (misalnya) 1.000 fans di Facebook, 3.500 followers baru di twitter,  1.500 followers baru di Instagram. Then what? Feeling like earning a trophy out of it? Pfffttt!!
  2. Tingkat keterkaitan atau engagement rate dari fans followers terhadap akun-akun media sosial yang kita kelola, terhadap postingan-postingan kreatif yang kita buat. Bisa klik di foto yang kita post, like-love, share, comment, retweet, reply, love, dan sebagainya. Buat saya ini yang seharusnya jadi ukuran utama, karena percuma punya ratusan ribu fans kalau engagement rate-nya rendah. Jangan-jangan anda ngomong dengan fake – inactive fans – followers. Atau (scarrier reason) and tidak memahami siapa lawan bicara anda. Anda selaku pengelola lalu-lintas komunikasi merek anda di media digital tidak  tahu tipikal fans-followers anda ; dari demografi mana mereka berasal, dan sebagainya. Alias asal lempat konten tanpa melihat dan mengerti mereka ini paling suka diajak ngobrol tentang apa.
  3. Kreatifitas dalam pembuatan konten yang dilempar, yang tentunya sebelum di-post harus mendapatkan approval dari pengelola komunikasi merek di media sosial. Biasanya approval diberikan oleh Brand Manager, Marcomm Manager, Digital Marketing Manager, atau bahkan Social Media Manager-Specialist. Wah, kalau perusahaan sudah punya Social Media Manager tentunya komunikasi di media digital sudah berjalan dengan sangat baik hingga sudah punya spesialis di bidang komunikasi digital seperti yang disebutkan diatas. Sehingga jika ada postingan ‘nyeleneh’ dari sebuah merek yang memancing kontroversi, buat saya yang patut ditanyai pertama adalah si penanggung jawab komunikasi merek di sisi korporasi.
  4. Kualitas eksekusi digital campaign yang dibuat oleh digital agency, dimana di tiap-tiap digital campaign yang dibuat pasti ada KPI-nya. Berapa banyak jumlah view atau impression, besarnya click through, dan sebagainya.

Secara singkat KPI-KPI di dalam hubungan digital agency dan korporasi atau merek bisa digambarkan dari poin 1 sampai dengan 4 diatas. Pertanyaannya, apakah setiap digital activation atau digital campaign selalu bisa menciptakan penjualan? Atau setidaknya punya andil dalam peningkatan penjualan? Bukan hanya ukuran-ukuran consumer awareness saja.

Well, memang sangat tergantung pada tujuan activation atau campaign itu sendiri. Apakah hanya bertujuan menciptakan dan meningkatkan consumer awareness (kesadaran konsumen) terhadap merek dan berbagai macam titik sentuh merek lewat media digital, ataukah sekaligus menciptakan peluang untuk terjadinya penjualan? Karena saya orang sales yang kemudian belajar tentang marketing, saya akan pilih keduanya. Kenapa harus berhenti pada satu ukuran awareness saja, kalau kita bisa lanjutkan ke penciptaan sales lead, yang kemudian bisa dikembangkan menjadi penjualan yang lalu menjadikan online channel ini sebagai kontributor besar (di kemudian hari) untuk penjualan perusahaan secara umum.

But first… You have to create yourself an online store for your products/services. Online store atau e-commerce website inilah yang menjadi means of sales anda. Dan e-commerce website ini yang harus anda komunikasikan dengan baik, within your marketing/communication budget, lewat strategi-strategi pemasaran digital yang ada. Anda bisa memilih beriklan di media sosial, beriklan di Google (adwords atau display networks), membuat branded content di jaringan berita online yang memuat produk/layanan anda yang bisa didapatkan dengan mudah lewat e-commerce website anda, meningkatkan searchability anda lewat  strategi keyword di blog post anda di halaman artikel website perusahaan, melakukan e-mail marketing untuk tujuan retensi pelanggan lama dan mendapatkan pelanggan baru, dan cara-cara lainnya baik berbayar maupun organik.

Apapun yang anda lakukan di media digital, in my humble opinion jika hanya berhenti pada peningkatan consumer awareness saja, tidak akan mendapatkan klimaks. Atau mencapai orgasme, kata Pak Lucas saat kami bertemu beberapa waktu yang lalu. Somehow, kami berdua bisa mendapatkan pemikiran yang sama. Sambil bercanda, kami setuju pada sebuah sudut pandang dimana kita (dari sudut pandang laki-laki) sudah berhasil mendapatkan perhatian seorang wanita yang disukai (cantik, tinggi, langsing, seksi, menggairahkan, dan ukuran standar lainnya) setelah melakukan serangkaian kegiatan persuasi  hingga mengeluarkan sejumlah biaya tertentu (bisa dibaca : beriklan) untuk mendapatkan perhatian wanita tersebut.

Lantas, setelah berhasil mengajak wanita tersebut pulang kemanapun kita mau, kita hanya sampai pada tahap making out saja. Setelah selesai making out (tidak sampai making love), kita minta wanita tersebut pulang. Sambil bercanda kami berujar, “Tanggung banget, nggak sampai orgasme dong ya?” 😀

Nah, ibarat digital marketing activities yang sudah dari awal dirancang untuk menciptakan dan meningkatkan penjualan, maka dari top of the sales funnel akan sampai pada bottom of the funnel. Sales! Artinya tidak berhenti, tidak selesai di tengah-tengah funnel. Dari creating sales lead, hingga bisa di-create next purchase dan meningkatkan basket size dari purchase tersebut. It’s like an over and over orgasm!

Again, it’s just a metaphor to visualize or describing all of our points. Hanya penggambaran saja, betapa budget yang kita keluarkan harus dapat kita pertanggung jawabkan imbal balik atau ROI-nya. Buat saya ukuran seperti views, impressions, click through, free content downloads (catalog), dan sebagainya tidak cukup dianggap sebagai ROI dari kegiatan kita di digital.

You may have your own opinion. Feel free to comment, thank you 🙂

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s