Siapa sih yang tidak tergoda dengan harumnya mie instan sesaat setelah matang/sebelum diaduk? Harumnya cepat menyebar ke seluruh ruangan, entah itu mie instan yang kuah ataupun goreng.
Saya adalah salah satu penggemar mie instan sejak kecil, dan ingat betul saat Indomie mengeluarkan inovasi terdahsyatnya saat saya masih duduk di bangku kelas 4 SD (sekitar 27 tahun yang lalu), Indomie Goreng. Sesaat saat itu kesukaan saya terhadap Indomie rasa Ayam Bawang, Kaldu Ayam, dan Ayam Spesial (no, I’m not a fan of Indomie Rasa Soto atau Kari Ayam), seketika berbelok sementara ke Indomie Goreng. Salah satunya karena aromanya yang sungguh luar biasa! Sampai saat ini pun, jika ada rekan sekantor yang tahu-tahu pesan dibuatkan Indomie (kuah atau goreng) lewat office boy kantor di sore hari, pasti akan menyebabkan ‘gejolak’ di kantor. Coba saja, aduk mie dan bumbu Indomie Goreng yang baru saja matang, di ruangan. Pasti sebagian besar akan menoleh dan ada yang berseru : “Eh, gue mau dong! Boy, tolong bikinin sekalian yak, double pake telor”. Nah! 😀
Indomie (atau mie instan lain) punya ‘ultimate weapon’ sebagai pemicu selera, yaitu di aromanya.
Dan ada satu pertanyaan lagi yang belum bisa saya jawab, yaitu kenapa Indomie buatan abang-abang di warung Indomie kaki lima (biasanya menyediakan juga minuman hangat semacam Milo, Ovaltine, dan pastinya kopi dengan berbagai variannya) lebih enak dibanding Indomie buatan sendiri? Well, menu yang sederhana saja. Hanya dengan tambahan telor dan sawi hijau, tanpa ada tambahan kornet atau bahkan keju cheddar parut.
That’s my personal Indomie story.
Belakangan ini, di media sosial muncul kata kunci baru : Chitato dengan rasa Indomie Goreng. What a killer combination! Bola salju ini menggelinding sedemikian kencangnya, menjadi viral akibat postingan key opinion leader, yang mendapatkan kiriman berupa paket berisi Chitato rasa Indomie Goreng. Melakukan unpacking, ambil foto, dan posting di media sosial. Sontak semuanya heboh! Pengen coba. Viral Chitato Rasa Indomie Goreng ini dibawa ke dunia offline oleh Indofood (produsen Chitato dan Indomie), lewat penyediaan produk Chitato varian baru ini dengan sangat terbatas di outlet-outlet modern (mini market). Saya sempat kebagian satu bungkus, sempat mencoba. Enak, seperti layaknya Chitato, keripik kentang tipis dengan isi hanya setengah bungkus. Rasa dan aroma Indomie Goreng-nya samar-samar terasa dan tercium. Entah karena benar-benar ada atau karena pikiran saya sudah tersugesti dengan keyakinan bahwa keripik kentang di kemasan ini akan memberikan rasa dan aroma a la Indomie Goreng. Not sure 🙂

Namun setelah saya coba mencarinya lagi di mini market atau super market dimanapun saya lewat seperjalanan pulang saya dari kantor, varian Chitato tersebut sudah susah sekali ditemui. Mungkin masih ada yang ingat dengan strategi yang diterapkan oleh es krim premium dari Wall’s, Magnum beberapa tahun yang lalu. Dimana Wall’s saat itu hanya menyediakan produk es krim Magnum dengan jumlah sangat terbatas. Saat itu saya pernah bertanya ke beberapa pramuniaga toko minimarket, kenapa es krim Magnum jarang sekali ditemukan. Menurut penuturan mereka, delivery man Wall’s hanya mengirim maksimal 1 atau 2 karton saja di setiap pengiriman produk, padahal produk tersebut sedang banyak-banyaknya dicari oleh penggemar es krim. Belum lagi ditambah buzzer-buzzer di media sosial yang memberikan update mereka tentang produk ini, pasang twibon di avatar twitter mereka. Belum lagi komunikasi pemasaran via iklan di media offline yang sedemikian gencar. It’s all recipe for creating consumers’s curiosity and driving their behavior, on steroids!
Kita lihat salah satu viral video-nya dari akun youtube Gofar Hilman ( @pergijauh ) ya!
Sepertinya, Chitato menerapkan strategi yang sama. Buat konsumen penasaran, berusaha mengalamai first moment of truth mereka di toko, dengan melihat langsung, meraba, memegang produk tersebut, melihat harganya (produk ini dibanderol Rp 7.500,- per pack di Pulau Jawa) dan membawanya ke kasir untuk selanjutnya mengalami second moment of truth. Saat mereka membuka kemasan Chitato rasa Indomie Goreng, mencium aromanya untuk pertama kali, dan mencoba menggigit kepingan keripik kentang untuk pertama kali.
Hal yang terjadi sebelumya sudah pasti demikian dahsyat, stimulus datang bertubi-tubi, hingga konsumen berusaha mencoba mencari informasi tentang produk tersebut di internet. The zero moment of truth (ZMOT). Moment ini didapat dari review dan testimoni konsumen yang lain (baik itu key opinion leader atau konsumen biasa yang membagikan pengalamannya lewat media sosial), yang membagikan kesan yang didapat setelah mencoba pertama atau kedua kalinya, atau disebut ultimate moment of truth (UMOT). Yes, ultimate moment of truth from one consumer will be other consumer’s stimulus and also their zero moment of truth!
Dan kini muncul hashtag #TimKuah dan #TimGoreng, dimana lewat hashtag ini, netizen diminta untuk mengekspresikan kegemaran mereka akan varian Indomie apa yang lebih mereka sukai. Indomie rebus/kuah, atau Indomie goreng. Personally, saat ini saya mengkategorikan saya dalam #TimKuah. Kenapa? Karena imajinasi sesaat hendak menyantap Indomie kuah rasa Ayam Spesial, lengkap dengan sawi hijau dan telor ayam rebus didalamnya, dengan kuah tidak terlalu banyak sehingga menghasilkan rasa yang sedikit asin, menghabiskannya sesuap demi sesuap, sampai pada satu suapan kuah terakhir… Di saat hujan turun. Itu dia!
Chitato Rasa Indomie Goreng tadi sudah sedemikian dahsyatnya menciptakan perbincangan, mengantarkan pada tahapan komunikasi pemasaran kedua untuk Indomie, yang di Q1 2016 ini meluncurkan Indomie Goreng Rasa Kuah, dengan pilihan Rasa Soto dan Ayam Bawang. Hashtag yang diatribusikan oleh para penggiat media sosial (salah satunya teman baik saya, @monstreza ) lewat #TimKuah lawan #TimGoreng ini juga mampu menciptakan perbincangan yang cukup ramai di media sosial, baik twitter maupun facebook. Bahkan ada penggemar berat salah satu varian Indomie (sebut saja Bagas, seorang die hard fan Indomie Goreng) sampai sedemikian ekspresifnya menunjukkan kefanatikannya akan produk dan varian tersebut. Dan pasangan suami istri yang cek-cok hingga membuat heboh satu kompleks perumahan.

Well, awal tahun ini, Indomie (dengan bantuan Chitato juga) berhasil membuat buzz yang luar biasa. Terlepas itu enak atau tidak, disukai atau tidak oleh konsumen, terus mengkonsumsi varian baru Indomie Goreng Rasa Kuah atau kembali ke asal dengan Indomie Goreng klasik atau beragam rasa Indomie klasik versi kuah, kita akan melihatnya bersama-sama di Q2 hingga Q3 tahun 2016 ini. Persaingan bisnis di kategori produk mie instan ini cukup ketat, namun Indomie tetap menjadi pemimpin pasar. Disusul oleh Mie Sedap (Wing’s Food), dan tak melupakan dua merek mie instan legendaris lainnya yang juga dimiliki oleh Indofood, Supermie dan Sarimi, yang tentunya masih punya penggemar tersendiri. Inovasi saya lihat tetap dilakukan Indomie untuk menjaga excitement pasar di kategori ini. Sebelum ini, Indomie mengeluarkan produk mie instan untuk anak-anak, yaitu Indomie My Noodles. Dan tahun sebelumnya, mereka mengeluarkan varian Indomie dengan cita rasa Asia, Laksa Singapura, Bulgogi Korea dan Tom Yum Thailand. Varian-varan mie instan dengan kategori Taste of Asia tidak terlalu menghasilkan buzz yang besar dan mem-viral, mungkin karena rasanya yang tidak terlalu familiar di lidah konsumen Indonesia dibandingkan dengan rasa-rasa standar Indomie yang sudah ada. Sekali dua kali mencoba, dan konsumen kembali ke varian Indomie favoritnya masing-masing.
Tagar atau hashtag #TimKuah lawan #TimGoreng berhasil mengangkat merek Indomie di dunia digital, dan seketika mampu membuat trigger yang bisa memicu terjadinya sales spike dan juga increase of the awareness. Menciptakan rasa penasaran (curiosity) yang mendorong konsumen menggerakkan jempolnya untuk mengalami zero moment of truth (ZMOT), dan menggerakkan kakinya ke mini market terdekat untuk mengalami first moment of truth. Saya pun mengalami hal ini, setiap kunjungan saya ke mini market maupun ke super/hyper market, pandangan saya selalu tertuju ke rak makanan ringan, untuk mencari Chitato Rasa Indomie Goreng, dan rak mie instan untuk mencari varian Indomie Goreng yang baru. Saya sudah mengalami zero moment of truth, untuk Indomie Goreng Rasa Kuah ini.
Itu tadi bagaimana cara creating and increasing brand awareness, creating and increasing sales and affecting consumer behavior towards brand via digital. Untuk menggerakan konsumen untuk membeli (dan membeli lagi) dan menciptakan demand untuk Indomie secara offline? Kita perlu belajar pada Pak Subiakto ( @subiakto ), pakar branding di Indonesia yang berhasil menciptakan engagement antara brand Indomie dengan Ramadhan di tahun 1995. Ibaratnya, dulu konsumen sudah hafal kalau iklan Indomie edisi Ramadhan sudah muncul di TV, itu artinya sebentar lagi akan masuk bulan suci Ramadhan. Mungkin ada yang masih ingat jingle khas-nya :
Hari ini kita puasa
Menjalankan perintah agama
Kita sahur dengan Indomie/buka puasa dengan Indomie
Indomie seleraku…
Dari artikel yang lengkapnya bisa dibaca disini, dikatakan Pak Subiakto bahwa “Ramadhan itu event besar. Pesta besar bagi umat muslim. Indonesia punya umat muslim terbesar di dunia. Tapi, Ramadhan belum ada yang ‘menguasai’”, beliau menegaskan kembali. “Kalau campaign Ramadhan ini dijalankan secara konsisten, maka Indomie bisa memiliki event Ramadhan. Dan inilah sejatinya branding”.
Iklan Indomie tersebut mengudara dan melegenda selama 10 bulan suci Ramadhan, yang artinya dari tahun 1995 hingga tahun 2005, brand Indomie berhasil ‘menguasai’ festive season Ramadhan hingga Idul Fitri. Bisa dibayangkan, selama sepuluh tahun tersebut, iklan dan jingle-nya terekspos ke berapa generasi? Berapa karton Indomie terjual selama sepuluh tahun masa emas tersebut, di masa festive season Ramadhan – Idul Fitri? Seberapa kuat brand image Indomie sebagai top of mind di kategori mie instan di benak konsumen? That’s awesome!
Itu tadi contoh dua hal yang berbeda dalam mengkomunikasikan merek, dari media yang digunakan dan cara yang digunakan untuk berkomunikasi, yang bertujuan untuk create – increase brand awareness, then create-increase sales, dan driving consumer behavior. Dari yang belum tahu menjadi tahu, dari yang sudah tahu, menjadi ingin lebih tahu, dari yang lebih tahu menjadi yang pertama kali mencoba merasakan-mengkonsumsi yang paling awal di jejaring sosialnya, sehingga menjadi trend setter atau early adopter, dari sharing pengalamannya dengan brand atau produk tersebut lewat media sosial, ter-indeks oleh Google sehingga informasi yang dibagi bisa menjadi referensi buat calon konsumen lain yang belum mencoba dan kebetulan mencari informasi lewat internet, hingga menciptakan pelanggan atau konsumen baru, dan demikian seterusnya.
Diluar sehat atau tidaknya mie instan, efek buruknya terhadap tubuh kita, semuanya kembali kepada kita masing-masing. Saya percaya semua itu punya manfaat asal tidak berlebihan. Saya pribadi pun juga tidak akan sering-sering makan mie instan, maksimal dua kali dalam sebulan sudah cukup. Mie instan diluar polemiknya terhadap kesehatan, tetap menjadi comfort food buat kita. Saat sore hari menjelang pulang kantor, saat hendak sarapan namun nasi dan lauk belum siap, atau saat hujan tiba. Coba, siapa yang bisa menolak pesona mie instan kuah panas, dengan telor dan sawi hijau, dengan condiment irisan cabe rawit di saat hujan deras? 😉
Saya. Nggak nolak 😀