Artikel yang menarik, saya temukan di Majalah Marketing edisi 02/XV/Februari 2015 yang ditulis oleh Pak Harryadin Marhardika (vice director MM-FEUI).

Jika di artikel underdog brand dirupakan dalam format band-band indie yang cenderung punya followers atau fans yang fanatik, karena ide-ide yang disampaikan oleh band-band indie tadi lewat karya-karyanya dirasakan mewakili apa yang dirasakan oleh para fans tadi, atau disebut juga dengan identify mechanism (terwakilinya kisah hidup nyata seseorang oleh sebuah ide), saya lebih suka melihatnya dari sisi brand telco.
Saya seorang user Indosat, market challenger di industri telco, sejak tahun 2002. Sampai dengan hari ini, saya setia menggunakan kartu GSM Mentari, meskipun sudah berkali-kali berganti SIM card. Beberapa alasannya karena SIM card yang over heated, alias ‘kepanasan’ saat dipasang di 2 handset Blackberry yang pernah saya punyai. Well, alasan dulu pilih pakai kartu Indosat instead of XL maupun Telkomsel adalah karena saya percaya saat itu (pemikiran saya saat masih kuliah di Unibraw Malang), bahwa market challenger pasti akan memberikan lebih banyak kepada para penggunanya. Artinya, saya mengharapkan merek nomor 2 atau nomor 3 yang saya pakai bisa memberikan manfaat yang lebih dibandingkan jika saya menggunakan produk dari market leader. Kenapa?
Karena market leader sebenarnya tidak perlu bersusah payah layaknya merek nomor 2 atau nomor 3 dalam meretensi konsumennya. Hanya dengan memberi sentuhan-sentuhan kecil saja, update-update kecil saja, membuka diri untuk komunikasi dua arah dengan para penggemarnya (baca : pengguna), cukup. Namun beda dengan pemain kedua, ketiga, dan seterusnya. Pemain-pemain tersebut akan lebih mengeluarkan effort untuk bukan saja meretensi, namun untuk mengakuisisi pengguna merek nomor 1, nomor 3, dan seterusnya. Masih diingat beberapa tahun yang lalu saat provider telco AXIS menjadi title sponsor event jazz terbesar, Java Jazz 2011. They’ve done so much. Or too much? They’re not even exist today…
Now, about the under dog 🙂
Saya pun menjadi fans klub bola yang pernah berjaya di masa lalu, namun kini prestasinya timbul tenggelam. Under dog. Terakhir meraih piala, Carling Cup (kini disebut Capital One Cup) di tahun 2012 setelah mengalahkan Cardiff City lewat adu penalti. Kenapa koq tidak dukung klub lain yang lebih digjaya saat ini di liga Inggris? Semisal Chelsea atau Manchester City. Tidak akan! Kenapa? Why? Saya sebagai fans lebih suka menjawab how I support Liverpool FC instead of answering ‘why I support’ question. Bagaimana cara saya mendukung Liverpool FC. Mungkin karena itu tadi, identify mechanism yang saya temukan dalam filosofi klub, perasaan senasib sepenanggungan dengan sesama fans. Yang juga saya temukan dalam kekuatan lirik lagu kebesaran Liverpool : “You’ll Never Walk Alone”.
Selalu puas melihat team under dog menang. Bukan hanya Liverpool, namun juga team-team lain saat melawan team yang lebih kuat. Semisal Borussia Dortmund di liga Jerman. Bahkan, saya menjagokan Borussia Dortmund juara liga UEFA Champions musim 2014/2015 ini. Kenapa? Karena hampir sama dengan fans Liverpool yang haus akan gelar juara, fans Borussia Dortmund yang terkenal fanatik dan super loyal tehadap klubnya, sebagian besar dari mereka masih setia mendukung Jurgen Klopp, sang pelatih Borussia Dortmund saat terseok-seok di awal musim ini.
Well, itu karena sudah terlanjur sayang dengan Liverpool FC. Namun, bagaimana jika saya bukan fans bola yang fanatik? Tetap, saya tidak akan menemukan keseruan bila mendukung team-team yang selalu menang dan langganan juara saat ini. Semisal : Barcelona, Real Madrid, ataupun Bayern Muenchen. Tidak ada unsur naik-turun, tidak ada perasaan tegang, harap-harap cemas agar tidak kemasukan gol di menit/detik akhir, dan sebagainya. Saya rasakan ini seperti hidup. Bukan begitu? 😉
Now, let’s talk about under dog brand vs. top dog brand in digital marketing…
Kita coba lihat lagi dari kategori dairy frozen food, es krim. Campina vs. Wall’s. Campina Ice Cream, produsen es krim lokal dari Surabaya, Indonesia melawan Wall’s, produsen es krim multinasional dari Unilever. Sebuah contoh yang pas untuk mewakili underdog vs. top dog. Seperti dilihat di artikel ini, market share Wall’s di Indonesia adalah 73,7% sedangkan Campina ada di posisi kedua dengan market share sebesar 24,6% seperti yang dituturkan Bapak Adji Andjono, National Sales & Marketing Manager PT. Campina Ice Cream Industry tanggal 24 Februari 2015 kepada http://www.beritasatu.com. Perbandingan ini juga cukup mewakili sisi budget yang dihabiskan untuk komunikasi merek. Spending Wall’s jauh lebih besar dibanding spending Campina untuk komunikasi merek.
Namun bagaimanapun juga, punya keterbatasan dalam sumber daya membuat Campina harus ekstra kreatif, mengeksplorasi apa yang mereka punya di dalam organisasinya beserta peluang-peluang yang ada untuk tetap terlihat di mata konsumen, para penggemar es krim. Untuk bisa tetap bersaing dengan pesaing utamanya di Indonesia. Stay relevant in order to sustain. Doing low budget high impact activities, measurably and effectively.
Dunia komunikasi digital menjadi pilihan yang tepat, untuk komunikasi merek. Bukan hanya karena affordable, namun juga karena dapat menjangkau audience yang sangat luas, dapat menjangkau targeted-focused audience, dapat ditelusuri (tracked) sehingga fully measurable dan accountable. Di dalam pengelolaannya, harus ada beberapa orang yang paham akan digital marketing di dalam internal organisasi (biasanya di marketing communication atau brand management), jika bekerjasama dengan digital agency selaku pihak ketiga. Dan yang terpenting, organisasi harus berani spend budget di komunikasi digital, sebagai faktor pendorong atau oomph factor, yang mendorong pesan agar menjadi viral.
Kita fokuskan perhatian dan pembahasan lebih lanjut pada underdog brand saja, Campina Ice Cream.

Sebagai penguat tulisan, saya ambil bagian penting dari artikel tersebut ; bagaimana sebuah merek dapat membangun sebuah narasi underdog melalui digital marketing? Ada 3 aspek yang harus diperhatikan dalam merancang narasi underdog brand tersebut, yaitu (pembahasan tentang merek ini saya masukkan di bawah masing-masing point 1-3) :
1. Narasi underdog brand harus dikomunikasikan melalui semua saluran digital marketing seperti website perusahaan, akun media sosial, dan kanal digital lainnya.
Saat ini, Campina Ice Cream yang mulai eksis di dunia digital sejak tahun 2011 dengan membuka akun facebook fanpage Campina Ice Cream sudah punya beberapa digital asset, antara lain : corporate website, e-commerce microsite, 2 microsite khusus brand, 4 facebook fanpage (3 akun brand, 1 akun activity), 4 akun twitter (3 akun brand, 1 akun activity), 2 akun blog, dan 1 akun instagram.
Salah satu tujuan komunikasi merek yang dilakukan lewat akun media sosial perusahaan, selain untuk menciptakan awareness terhadap merek, menciptakan engagement lewat komunikasi dua arah dengan user (custmer and consumer), juga menciptakan lead atau impression ke e-commerce website, mengundang netizen untuk klik masuk ke e-commerce website, menjadi website member, untuk selanjutnya menciptakan conversion. Transaksi via online channel di website e-commerce, ice cream and ice cake online store milik Campina. Saat ini, hanya Campina perusahaan es krim nasional di Indonesia yang punya divisi khusus home delivery dengan metode pemesanan secara online, yang bisa melayani pesan antar ice cream dan ice cake antar kota-kota besar di Pulau Jawa dan beberapa kota besar di luar pulau Jawa.
2. Narasi harus dibangun diatas 2 pondasi utama, yaitu hambatan dari pihak eksternal, khususnya mengenai terbatasnya sumber daya yang dimiliki ; dan kekuatan internal, yaitu gairah atau semangat untuk menang dan kebulatan tekad ketahanan diri, dan semangat untuk mengejar mimpi walau hambatan terus menghalangi perjalanan merek tersebut.
Seperti disampaikan sebelumnya tentang keterbatasan yang ada di internal Campina terkait budget untuk komunikasi merek, hal ini menjadikan Campina selalu ekstra kreatif, dan efisien dalam budget spending lewat low budget high impact activities. Menyadari posisinya perusahaannya sebagai market challenger, para personel Campina punya semangat yang tinggi untuk tetap kompetitif. Tetap melahirkan varian-varian es krim baru, karena memang seharusnya di kategori ini, produsen harus selalu excite the market. Es krim saat ini masih merupakan impulse product, dimana keputusan pembeliannya tidak direncanakan. Muncul dengan tiba-tiba.
Namun untuk beberapa produk, pembeliannya sudah termasuk planned buying. Diantaranya produk es krim literan (take home/out home products) dan ice cream cake. Untuk sub kategori take home, pembeliannya sudah mulai direncanakan, masuk grocery shopping list saat belanja bulanan atau mingguan di supermarket. Untuk ice cream cake saat ini pembeliannya juga termasuk planned buying. Konsumen Campina yang membeli ice cream cake baik via offline channel maupun online channel membeli produk ini untuk merayakan sesuatu. Misalnya ulang tahun, perayaan hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Juga lebih banyak untuk diberikan ke orang lain, para kolega-keluarga-sahabat-orang terdekat, sebagai parcel. Juga untuk saat-saat istimewa.
Karena sudah ada dan dikenal sejak 43 tahun yang lalu, Campina Ice Cream punya kekuatan internal di para karyawannya. Sebagian besar unit usaha dikelola secara inhouse. Hanya untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu menggunakan pihak ketiga. Untuk divisi logistik, sales, dan distribusi di Pulau Jawa dikelola sendiri. Hanya di luar pulau Jawa, Campina mempercayakan kepada distributor. Bahkan, untuk pengiriman pesanan ice cream dan ice cream cake via layanan home delivery ke alamat pemesan dikelola sendiri oleh team logistik dan distribusi. Hal ini menjadikan proses bisnis menjadi controlable dan manajemen mendorong para personel yang ada untuk terus bertumbuh dari dalam.
Dan sesuai visi misi Campina sendiri : “menjadi salah satu produsen es krim dan makanan beku yang terbaik dan terbesar di Indonesia, dengan senantiasa mengutamakan kepuasan para pelanggan, menjunjung tinggi komitmen kepercayaan para pemegang saham dan para karyawan. Serta memegang teguh prinsip usaha yang bersahabat dengan lingkungan”. Visi misi ini yang diresapi dan diimplementasikan oleh segenap karyawan yang ada dalam kesehariannya lewat 5 core values : suka cita dalam bekerja, aktif mencapai hasil sempurna, lestarikan sumber daya, adaptif dan berjiwa muda, dan menghargai setiap orang. Kelima nilai inti (core values) ini disingkat : SALAM CAMPINA.
3. Narasi underdog brand akan jauh lebih menarik ketika dibangun dari perjalanan sedari awal. Alur cerita dapat dituliskan dengan berfokus terhadap perjalanan merek dari waktu ke waktu hingga keberhasilan saat ini.
Campina Ice Cream sudah eksis sejak tahun 1972, saat es krim ini pertama kali dibuat di sebuah garasi di kota Surabaya oleh founding father-nya, Bapak Darmo Hadipranoto. Lebih lengkap bisa dibaca disini. Dan sampai hari ini masih tetap eksis sebagai salah satu produsen es krim nasional ditengah persaingan bisnis yang semakin ketat di tahun 2014, dan dipercaya akan lebih ketat lagi di tahun 2015 seiring dengan akan masuknya beberapa merek es krim dari luar negeri.
Materi yang disampaikan diatas, yang saat ini dibawa oleh team digital – marketing communication Campina sebagai konten reguler di komunikasi digital, baik lewat social media, dan kanal digital lainnya. Tak jarang dalam konten yang disampaikan, Campina membawa kenangan masa kecil para penggemar es krim dengan mengunggah beberapa foto-foto produk yang sudah lama tidak diproduksi lagi, namun masih diingat dengan baik oleh para penggemar es krim di Indonesia.
Dan untuk membawa mereka lebih dekat lagi ke Campina, perusahaan ini juga membuka program ice cream factory visit. Dimana semua orang dari rentang usia 5 sampai dengan 50 tahun bisa berkunjung secara cuma-cuma ke pabrik es krimnya yang berlokasi di Jalan Rungkut Industry 1 No. 15-17 Rungkut Surabaya, Jawa Timur. Untuk informasi seputar program factory visit Campina bisa dibaca disini.
And that’s the story 🙂
Sharing dan analisis yang menarik.
Saya suka tulisannya mwnggunakan banyak link untuk menguatkan cerita.
Salam kenal
Luki transwish
Business&development manager
Transwish indonesia
http://www.transwishindonesia.com
Thank you, Pak Luki.
Salam kenal juga 🙂