Well, perhelatan Java Jazz Festival yang ke-10 ini adalah Java Jazz yang ke-9 buat saya. Artinya, saya tidak pernah absen nonton event rangkaian konser jazz yang digelar sejak tahun 2006. Sejak tahun-tahun awal saya bekerja di Jakarta, Java Jazz saya yang pertama tentunya masih ada di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan-Jaksel. Terus menerus demikian sampai tahun 2009, event dipindah ke JI Expo – Kemayoran. Yak, pindah ke arena Pekan Raya Jakarta – PRJ, demikian lebih gampang dikenal orang.

Saya ingat saat perhelatan Java Jazz Festival yang terakhir di JCC, tempat demikian sesak oleh orang, dan tentunya panas. Kurang nyaman. Saya ingat batal nonton Rene Olstead saat itu, gara-gara sudah tidak bisa masuk lagi di alah satu hall. Namun sebelum itu, buat saya, pengalaman pertama nonton Java Jazz yang paling saya ingat. Kenapa? Karena saat itu, saya masih menjadi karyawan di masa-masa awal meniti karir, masih sebagai management trainee, berani beli tiket Java Jazz yang buat anak perantauan seperti saya lumayan mahal, Rp 350.000,- kalau tidak salah saat itu, tahun 2006. Namun semua itu terbayar, karena saya, penggemar Jazz yang berasal dari kota Malang, Jawa Timur, bisa menyaksikan langsung Incognito, Al MacKay All Stars aka Earth Wind and Fire Experience, dan masih banyak lagi secara langsung. Saya sempat ternganga-nganga saat itu. Tidak percaya saya menonton Bluey cs (Incognito, dengan lead vocalist-nya Maysa Leak saat itu).
Well, ini tahun ke-9 saya nonton. Dan tahun ketiga saya nonton secara gratis. Koq bisa? Bisa dong!
Karena perusahaan tempat saya bekerja sekarang menjadi salah satu sponsor event jazz tahunan terbesar di Indonesia, dan bahkan di Asia ini selama 3 tahun berturut-turut. Well, it’s a brand or marketing stuffs. Don’t ask whether or not the sponsor got the profit from this marketing effort. Nothing to compare 🙂
Itu tadi tentang artis jazz asing yang kebanyakan (buat telinga saya) kurang banyak yang terkenal.
Masih ada lagi sih… Dari penuturan salah satu pejabat teras Java Production, mereka gagal membawa sejumlah nama besar ke perhelatan Java Jazz tahun ini. Pharrell Williams, Jamiroquai, dan Jesse J (nama yang terakhir agak meragukan sebagai artis jazz) disebut-sebut sempat sampai masuk tahap negosiasi, namun akhirnya gagal tampil. Well, benar tidaknya saya tidak tahu juga. Yang pasti, usaha untuk menaikkan level artis jazz dalam negeri cukup berhasil.
Stage-stage dan hall-hall dimana artis-artis besar Indonesia tampil, dimana tidak semuanya jazzy, sukses dibanjiri penggemar yang kebetulan di hari tersebut datang. Tulus, Raisa, Be3, Tribute to Chrisye, Agnezmo, Afgan feat Vina Panduwinata tergolong artis-artis yang hall-hall dimana mereka bermain disesaki pengunjung. Yang paling saya ingat adalah saat Tulus tampil di Hall Garuda Indonesia. Saya berhasil masuk awal, namun saat mencoba keluar dari hall yang sudah penuh sesak itu, diluar sudah mengular antrean penonton yang hendak masuk. Hingga petugas crowd control harus menutup pintu, tidak memperbolehkan penonton yang mengantre  tersebut untuk masuk. Ramai parah, kalau kata anak muda. Demikian juga saat Raisa dan Be3 tampil.
Untuk Be3 (dulu AB Three), yang digawangi Nola, Chintya Lamusu, dan Widi, saya acungi jempol! Suara mereka bertiga masih prima saat menjangkau nada-nada tinggi, dan cukup mengobati rasa kangen akan lagu-lagu mereka dulu. Yang jujur saya akui ikut mengantar saya menuju proses dewasa (agak lebay kalau yang ini). Juga berlaku pujian untuk penampilan Marcell, Elfa’s Bossas, dan Ruth Sahanaya.
Satu lagi legenda yang saya tonton hari ini, Dian Pramana Poetra and Twilite Orchestra. Yang ini istimewa! Mereka pastinya sudah saya kenal sejak SD, namun berhubung sense of music saya belum ada saat itu, saya malah menilai musik mereka aneh. Dulu..
Nah, dari penuturan sederhana saya tadi, nampak perbedaan antara tahun lalu dan tahun ini bukan? Tampak pada porsi artis dalam negeri yang lebih banyak, lebih banyak diminati juga, dan jadi tuan rumah di acara konser musik di negeri sendiri. Cukup membanggakan sebenarnya. Penonton Java Jazz Festival dari negara-negara tetangga pun cukup banyak. Mereka jadi bisa lihat dan apresiasi betapa Indonesia dengan Java Jazz Festival-nya sanggup jadi tuan rumah di negeri sendiri, dan menjadi salah satu bench mark dalam perhelatan musik jazz. Hebat!
It’s greatly appreciated.
One Comment Add yours