Ini semua diawali oleh random timeline watching yang saya lakukan via twitter minggu lalu. Saya berhenti di tweet post salah seorang buzzer – blogger kawakan, @ndorokakung yang posting kurang lebih demikian :
“Kepemilikan sebuah produk dari brand tertentu dapat mengangkat social confidence seseorang, bukan begitu?”
Social confidence. Aha!
Sebuah kata yang pernah sesekali saya dengar sambil lalu, namun baru kali ini saya pikirkan dengan sedikit lebih serius. Nah, saya akan coba jelaskan apa itu social confidence dengan kata-kata saya sendiri. Social confidence adalah suatu tingkat kepercayaan diri ditengah-tengah kehidupan sosial seseorang yang bisa jadi ditentukan oleh sesuatu, baik faktor terlihat maupun yang tidak terlihat.
Faktor yang terlihat dan tidak terlihat. Apa saja?
Faktor yang terlihat bisa jadi seperti kepemilikan barang/produk dari merek tertentu, semakin terkenal mereknya-semakin mahal harganya, maka akan semakin tinggi pula tingkat social confidence seseorang. Misalnya : bisa jadi 2 orang yang sama-sama punya gadget berukuran 5 inch punya tingkat social confidence yang berbeda. Karena salah satu pakai gadget dengan brand Samsung, sementara sebelahnya pakai gadget dengan brand Smartfren. Atau, bisa jadi karena awareness yang lebih tinggi, dua produk dengan harga hampir sama – kualitas fitur hampir sama – product performance hampir sama dipandang sangat jauh berbeda saat ternyata dua produk tersebut berbeda merek.
Misalnya gadget yang saya punya sekarang LG Optimus G Pro, yang mungkin oleh orang-orang yang tidak tahu teknologi, tidak paham fitur-fitur seperti besaran RAM, Miracast, NFC, size dan daya tahan baterai, smart video, smart screen, dan tipe prosesor yang ditanam, bahkan seperti quick remote ia tidak pahami benar sebelum belanja gadget. Yang ia tahu hanya apa mereknya, berapa harganya, berapa megapixel kamera depan dan belakang. Itu saja yang ia perlu tahu. Kenapa? Karena ia punya cukup uang untuk membeli gadget tersebut untuk menaikkan status sosialnya, kepercayaan diri sosialnya. Ia hanya tahu Samsung Galaxy S4, atau tahunya gadget yang paling heits adalah Samsung Galaxy Note 2. Padahal, diluar sana banyak banget pilihan gadget yang juga tak kalah ciamik jika dilihat dari sisi fitur, lalu dibandingkan dengan harga. Sebut saja : Sony Experia Z Ultra atau versi sebelumnya, Sony Experia Z, LG Optimus G Pro, atau yang bakal keluar LG optimus G2, Oppo Find 5, Lenovo K900 (endorsed by Kobe Bryant, Los Angeles Lakers #24 himself). Banyak kalau mau teliti apa saja smartphone dengan harga diatas Rp 5 juta yang menawarkan fitur super duper canggih.
So, is it content or value benefit or is it context or social value that you’re looking for? IMHO, second choice is the smartest, while the first ne is the shallow one. Smart of shallow, you decide 🙂
Ia hanya tahu Samsung Galaxy S4 yang tercanggih, dan ia akan beli gadget itu saja. Karena gadget itu bakal mendongkrak social confidence-nya, yang mungkin memberikan extra personal branding, sebagai orang yang high-tech. Tidak lagi dianggap sebagai orang yang gagap teknologi, dari sepintas terlihat dari luar.
Hmmm! Namun coba tanya, smartphone-nya itu bisa dipakai buat apa saja? Selain telpon, sms, LINE, whatsapp, dan facebook. Hehehe.. Bebas bebas aja sih 😉
Seseorang berujar, mengomentari gadget LG saya : “Ih, keren juga handphone lo mas. Coba kalo mereknya dihapus, diganti Samsung. Pasti bakalan lebih keren lagi…” -___-*
It’s funny how a brand could be so successfully determine what and how someone thinking about how gadget should be branded. And Samsung has done amazing in their branding activities. Lawannya pun super duper keren. Apple dan iOs-nya. Dengan komunitasnya yang loyal beserta ekosistemnya. Sementara Samsung (dan kawan-kawannya) hanya brand yang memproduksi gadget ciamik dengan mengadopsi sistem operasi Android lansiran Google, dan berbagi ekosistem dengan produsen smartphone pengguna sistem operasi Android lainnya. Generik.
Oh iya, ga usah bahas Blackberry ya? It’s so last century :p
Lalu, apa faktor tidak terlihat yang dapat meningkatkan social confidence seseorang?
Dari kacamata saya, faktor-faktor tersebut antara lain :
–> Kecerdasan dan expertise seseorang terhadap suatu bidang, sehingga saat diajak diskusi tentang hal yang berbau expertise-nya ia akan banyak mengkontribusikan pemikiran-pemikiran
–> Posisi seseorang di suatu perusahaan, misalnya ia seorang manajer penjualan di sebuah perusahaan. Pasti social confidence-nya naik. Terlebih saat ia bertukar atau memberikan kartu namanya. Terlihat dari senyum dan cara ia memperkenalkan diri. Full confidence!
–> Status pendidikan seseorang. Misalnya, ia adalah seorang profesional yang expert di suatu bidang, yang bergelar master (S2) yang sedang mengejar gelas doktoralnya (S3). Ini akan boost up social confidence-nya dengan luar biasa. Personal branding-nya pun juga akan lebih bagus, bagaimana orang-orang di sekitarnya melihat dia juga akan berbeda setelah tahu siapa dia sebenarnya.
Namun social confidence ini juga mengacu dan dipengaruhi oleh self secure feeling dirinya sendiri. Jika ia nyaman dengan dirinya sendiri, ia akan tetap tenang ditengah-tengah kehidupan sosial, berbaur dengan berbagai tipe dan latar belakang. Dengan adanya faktor-faktor penambah social confidence tersebut, baik terlihat ataupun yang tidak terlihat, ia akan lebih socially secured.
That’s my sharing. Feel free to drop some comments, enrich me 🙂