Ini event pertama NGOPI saya, event talk show yang dipakai oleh para blogger, buzzers, dan penggiat dunia digital lainnya untuk saling bertemu (atau biasa disebut kopdar-kopi darat), saling bertukar dan berbagi ilmu tentang dunia digital yang digeluti. Nah, detik.com atau @detikinet atau bagaimanapun mereka disebut sudah demikian berbaik hati mengundang saya, enthusiast di digital marketing ini ke dalam event talk show ‘Lika Liku Buzzers’ ini. Yes, it’s my first time 🙂
And usually, when you’re impressed with a good first impression, it will all goes along well 🙂 I’m impressed, since the crew were preparing the event so well, eventhough it’s only live on web. Thumbs up. And thumbs up goes to the venue. Anomali Coffee-Urban Kitchen Plaza Indonesia 5th floor.
Talk show diadakan di warung kopi, well demikian saya menyebut Starbucks atau tempat lain yang menyediakan kopi-sebagaimana saya juga menyebut resto macam McDonald’s atau KFC sebagai warung-simply because they served rice :D.
Well anyway, Anomali Coffee di Plaza Indonesia ini menyajikan atmosfer gudang kopi dengan dinding semi finished. Pengunjung akan merasakan experience beda di warung kopi lokal ini, merasakan kalau kopi yang mereka minum langsung diambil dari gudang kopi, di–grind dan diseduh langsung di tempat. And honestly, kopi asli Indonesia (Jawa, Toraja, Papua, Aceh, dsb) termasuk kopi yang strong. My favorite!

Back to topic 🙂
Kenapa buzzers sangat menarik buat saya?
Simply karena pengaruh mereka di social media, umumnya twitter dan blog, mereka bisa di-hire oleh brand atau instansi tertentu untuk menyuarakan brand, program, maupun apapun yang mereka rencanakan dalam komunikasi massa via internet. Hire? Yes. They are hired, paid to speak our message. Buzzers adalah key opinion leader (KOL) yang mempunyai job untuk create and triger conversation di social media, create word of mouth or earned media or share of voice. And brand off couse prefer postitive sentiments rather than neutral sentiments, and not expecting negative sentiments.
Lebih menarik lagi, karena saya sebagai pelaku dan enthusiast di digital marketing ini sedang mencoba mendapatkan manfaat dari buzzers dan bloggers dari beberapa aktivasi di dunia digital untuk brand 🙂
Dan orang-orang hebat yang sudah menginspirasi Jumat malam kemarin :
- Lucy Wiryono (@lucywiryono) – Owner @steakholycow
- Dian Adi Prasetyo (@didut) – Blogger & Social Media Love
- Kemas M.Fadhli – Head of Digital Media Department Telkomsel

So, it’s only half the way. Don’t get bored too early with my writings, ok? Let me bored you more…. #kidding
Dari percakapan antara host @karelanderson, ketiga narasumber, dan para undangan akan saya rangkum dalam beberapa note pendek :
–> Buzzers bukan hanya dibayar untuk menyuarakan pesan dari brand, atau menyebut brand/produk itu sendiri. Buzzers seharusnya tidak hard selling. Buzzers harus cerdas dalam menyuarakan konten dengan tujuan mendapatkan awareness dari brand/produk yang disebut
–> Buzzers adalah media. Media yang digunakan brand atau instansi untuk menyuarakan pesannya lewat digital media, bukan melulu twitter, namun menulis review di blog juga disebut kegiatan buzzing.
–> Jumlah buzzers semakin banyak. Jadi buzzers makin challenging, buzzers harus kreatif membungkus pesan yang hendak disampaikan agar tidak mengganggu atau berasa ‘nyampah’ di timeline followers-nya
–> Brand akan berusaha melepas pesan, baik berkaitan dengan merek atau produk seluas-luasnya, selebar-lebarnya.
–> Buzzers punya readership. Buzzers punya identity, informasi yang berharga. Yang membuat dia diikuti oleh user twitter yang lain. Dan seharusnya, dengan menjadi buzzers sebuah brand, buzzers jangan sampai kehilangan identitas tweets-nya atau tulisannya di blog. That’s the reason why their followers still want to have what they say.
–> Buzzers, seperti disampaikan di awal tadi, adalah key opinion leader (KOL), influencers atau pemberi pengaruh lewat percakapan yang dibangun.
–> Brand harus tetap menjaga agar namanya atau pesannya tetap dibicarakan, baik di dunia online maupun offline. Di dunia online, digital campaigns, job review, buzzing via twitter akan menjaga brand tepat dibicarakan (brand talkability). Dan tugas brand selanjutnya adalah mendengarkan (listening) percakapan di digital media ini, tracking, lalu respon sentiments (comments, reply, retweet, etc)
–> Tipe buzzers yang dicari oleh brand tentu saja tergantung pada ukuran atau justifikasi yang kuat dari brand akan buzzers yang akan di-hire. Brand butuh buzzers yang punya tipe/gaya percakapan seperti apa?
–> Buzzers bukan hanya dipilih berdasarkan jumlah followers-nya (karena followers bisa dibeli, jumlah followers bisa dimanipulasi dengan followers pulsa), tapi yang lebih penting adalah engagement.
–> Berapa jumlah retweet atau reply atau share atau comment (yes, since hashtags also provided on facebook) yang dihasilkan dari satu kali tweet?
–> @steakholycow menggunakan twitter sebagai media promosi utamanya saat awal-awal berdirinya dahulu karena budget yang terbatas (modal Rp 70 juta habis untuk belanja peralatan, kursi-meja, dan perlangkapan warung yang lain)
–> @lucywiryono dan suaminya, @aafit (mereka punya akun twitter sejak tahun 2008. Gue? Punya dari April 2010 ajah, telat!) menggunakan twitter untuk men-sosialisikan apa itu daging sapi wagyu. Dimana di tempat yang premium bisa disajikan dengan harga sampai Rp 700 ribuan rupiah, namun mereka bisa sajikan daging sapi wagyu asli hanya dengan harga Rp 98.000,- per porsi
–> Pengunjung diperbolehkan melihat langsung daging-nya sebelum disajikan, melihat proses memasaknya, boleh (atau malah di-urge) menulis tentang @steakholycow di media sosial yang dia punya. Karena twitter adalah instant updates, mereka bisa update stock daging setiap saat, mengumumkan kalau stock sudah habis (tutup) via twitter. Dan inilah kekuatan dari social media yang mengantar @steakholycow hingga sekarang.
–> Kekuatan @steakholycow ada pada content. Dan content yang dikomunikasikan adalah : good food-good service. Dan ini cukup untuk membuat WOM yang luas. Dan di tahun 2010, tahun-tahun awal saya punya twitter, saya menemukan @steakholycow sebagai sesuatu yang punya buzz besar dan dibicarakan hampir user twitter asal Jakarta yang saya follow. They’re doing great 🙂
–> Buzzers yang cerdas akan pilih-pilih job mana yang tidak akan berakibat dia nyampah di timeline followers-nya. @didut (blogger & buzzers) cenderung menolak job sebagai buzzers jika content yang ditawarkan tidak ‘pintar’
–> Dari sisi brand, tugas divisi digital adalah mengoptimalkan budget yang di-spend untuk buzzers (blog dan twitter), dan berarti juga memaksimalkan opportunity untuk enlarge their brand talkability
–> Untuk case Telkomsel, digital spending berkisar 10% dari total marketing budget. Budget 10% tersebut diturunkan ke objective-objective campaign di digital media, drive conversation.
–> Penulisan product review atau biasa juga disebut job review oleh para blogger selain bisa membantu optimalisasi search engine, bisa juga membantu ‘menutup’ atau ‘menurunkan’ tulisan dengan sentiment negatif di google search. Artinya, balancing antara positive dan negative statement.
–> Butuh extra effort untuk menetralkan (menurunkan posting dengan negative sentiment terhadap brand-product) bad sentiment di key word maupun tulisan di google page rank, baik via personal aspect maupun financial aspect.
–> Blogger dan tulisannya cenderung bertahan lebih lama dari tweet atau postingan di facebook. And powerful bloggers will generate review with lots of comment, and a good google page rank.
–> Siapa saja bisa jadi buzzers buat apapun. That’s why, becoming buzzers is more challenging nowadays 😉
–> Jika trend menjadi buzzers naik, bagaimana trend menjadi bloggers? Well, for me being blogger is blue ocean, while being buzzers is red ocean. Tingkat kompetisi di blogging lebih rendah 🙂
–> Buzzers dan blogger akan perang di content. Kalau mereka punya content yang bagus dan relevan dengan message dari brand, pasti brand akan cari.
–> Baik buzzers dan blogger pasti punya rate card, alias tarif per tweet/paket tweet. Atau per tulisan-blog post. Buzzers pasti punya rate card tinggi jika ia mempunyai engagement rate tinggi
–> Challenge buat brand yang menggunakan buzzers, buzzers tidak dibayar per tweet. Namun dibayar per engagement, artinya dia dibayar dari berapa jumlah response (reply-retweet-share) yang muncul dari tiap tweet yang dia buat.
–> Buzzers harus pakai/merasakan produk yang akan di-buzz atau dikomunikasikan via twitter/blognya? Well, itu tergantung pada masing-masing buzzer-nya, menurut penuturan @lucywiryono. Ada buzzers yang cukup bertanggung jawab dengan pilah pilih job buzzing dengan mecoba dulu product/services yang akan dikomunikasikan. Ada juga buzzers yang asal terima job, target tweet tercapai, selesai 😦
–> Dari sisi brand, semua aktivitas beriklan di dunia offline (TV, radio, billboard, dsb) dapat ditangkap percakapan-opini-response-nya via dunia digital.
–> Kenapa brand spending semakin besar di dunia digital? Karena kecenderungan untuk melihat layar kecil yang lebih personal via mobile device makin tinggi, termasuk googling activity untuk mencari tahu apapun seketika itu juga semakin tinggi.
–> Gencarnya aktivasi di dunia digital juga harus seimbang di dunia nyata. Tidak ada yang bisa menggantikan senyum raham, jabat tangan hangat, dan kata-kata yang tulus dalam customer service dan public relation. Harus balance.
–> Review notes diatas mencatat tentang buzzers via blog dan twitter dengan menggunakan akun pribadi – artis, selebtwit, dan sebagainya. Bagimana peran akun pseudonim dalam dunia buzzer? Ternyata cukup berpengaruh, simply karena engagement yang bagus dan content-nya sendiri. Tak heran akun pseudonim punya followers hingga jutaan user twitter (terlepas itu real or fake accounts)
–> Untuk buzzing product, @lucywiryono share beberapa tips :
1. Perlu berpikir cerdas untuk membawa content/brief dari brand yang bisa jadi panjang lebar, kedalam 140 karakter di twitter
2. Ulik kehidupan sehari-hari yang dekat dengan kita, lempar opini ke followers, biarkan mereka berpendapat, berikan feed cak. Ajak mereka ngobrol dengan kita tentang materi yang kita lempar
3. Setelah didapat response dari followers, lempar materi brand yang ingin di-buzz
4. Tujuannya agarkegiatan buzz tweet dari tiap buzzers terlihat alami (natural), tidak dipaksakan. Pasti terihat berbeda dari identitas tweets dari buzzers tersebut. Misalnya : topik utama tentang Moto GP, mendadak bicara tentang flushing toilet
5. Jangan perhitungan, jangan pelit-pelit. Utamakan long term business relationship dibanding short team relationship dengan brand atau siapapun yang menggunakan jasa kita.
Catatan saya cukup banyak ternyata…
Dan jika diihat, para undangan kebanyakan mencatat materi talk show dengan tablet atau gadget-nya masing-masing. Dan sepertinya hanya saya yang mencatat secara manual di buku catatan, I’m a bit old fashioned? Probably! Namun yang perlu saya high light adalah, karena terlalu sering menulis dengan keyboard, jari saya jadi kaku jika diajak menulis dengan tangan. Alhasil, tulisan persis cakar ayam sekarang 😀
Perlu banyak menulis dengan tangan lagi nih.. 😉
Nah, mungkin itu review saya dari Lika Liku Buzzers di event talk show @detikinet hari Jumat, 28 Juni 2013 yang lalu. For sure, event ini banyak memberikan values dan knowledge buat saya di dunia saya sendiri, baik professional maupun personal. So, thanks a lot @detikinet for the event, free tasty brownies and croissant, and not forgetting free hot capuccinno 🙂
Tulisan dari inet.detik.com bisa juga diilihat disini –> http://inet.detik.com/read/2013/06/28/210225/2287698/1169/follower-sedikit-mau-jadi-buzzer-bisa-kok
2 Comments Add yours